Menuju konten utama

Drama Baru Krisis Venezuela akan Berakhir ke Mana?

Beberapa negara terpecah dalam mendukung Presiden Maduro atau Guaido sebagai oposisi, tapi yang pasti Amerika mendukung oposisi.

Drama Baru Krisis Venezuela akan Berakhir ke Mana?
Dalam aksi menuntut presiden Venezuela Nicolas Maduro untuk mundur dari jabatannya, pemimpin oposisi Venezuela Juan Guadio mendeklarasikan dirinya sebagai presiden sementara sampai pemliu dapat terselanggara, Caracas, Venezuela (23/1/19). AP Photo/Fernando Llano

tirto.id - Krisis di Venezuela semakin pelik, dari urusan perut hingga politik. Semua bermula dari jatuhnya harga minyak pada 2016. Ketika itu, minyak dunia anjlok hingga titik terendah selama 12 tahun terakhir. Di saat bersamaan, inflasi ikut naik secara dramatis, mencapai 800 persen. Ekonomi Venezuela pun mengalami kontraksi parah, melebihi yang dialami AS selama Depresi Besar, atau dari Rusia, Kuba, dan Albania usai kejatuhan komunisme.

Keadaan diperburuk dengan budaya korupsi yang begitu masif di tubuh pemerintahan, kesalahan pemerintah yang membuat konsesi dengan elite-elite industri (banyak di antaranya berafiliasi dengan oposisi), serta faksionalisasi dalam PSUV (partai penguasa).

Yang terjadi berikutnya adalah malapetaka di banyak sendi. Pengangguran meningkat yang mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan militan dengan tujuan hendak mengubah sistem politik dan model ekonomi dari sosialis. Perselisihannya kian tajam hingga mengobarkan aksi persekusi kepada lawan politik. Warga sipil yang tak tahu apa-apa kerap jadi korban.

Sementara kelangkaan pangan menggejala, di samping kelangkaan barang kebutuhan pokok lainnya. Untuk sesuap nasi, orang-orang rela melakukan apa saja. Kriminalitas kemudian turut merajalela, sehingga menyingkirkan rasa aman di antara para warga. Tak kaget bila jutaan orang memilih cabut dari dalam negeri menuju negara-negara tetangga untuk mencari kehidupan yang layak.

Dinamika tersebut membuat tekanan politik terhadap rezim Presiden Nicolas Maduro, yang berkuasa sejak 2013, semakin berkobar. Tujuannya hanya satu: meminta Maduro meletakkan jabatan karena dianggap tidak kompeten, sekalipun ia baru saja dilantik untuk masa jabatan yang kedua.

Tekanan terbaru dari pihak oposisi muncul pada Rabu (23/1), manakala puluhan ribu orang turun ke jalanan Ibu Kota Caracas. Aksi itu dipimpin oleh Juan Guaido, politikus muda sekaligus Ketua Majelis Nasional. Di tengah kerumunan massa, Guaido berteriak lantang mengkritik Maduro yang dianggapnya diktator, culas, dan perampas kekuasaan. Tapi, yang paling berani ialah ketika ia melantik dirinya sendiri sebagai “presiden sementara”, sembari menyerukan adanya pemilihan yang lebih adil dan demokratis di masa mendatang.

Intervensi Amerika

Tak dinyana, klaim Guaido didukung oleh AS. Presiden Donald Trump. Dalam keterangan resminya, Trump mengakui Guaido sebagai presiden sementara Venezuela.

“Saya akan terus menggunakan secara penuh pengaruh ekonomi dan kekuatan diplomasi Amerika Serikat untuk mengupayakan restorasi demokrasi Venezuela,” tulis Trump.

Caracas seketika memberi tanggapan. Dari atas balkon Istana Miraflores, di hadapan massa pendukungnya, Maduro menyebut deklarasi sepihak Guaido sebagai upaya kudeta yang dipimpin Amerika.

“Upaya kudeta yang dilancarkan di negara ini adalah langkah paling tak bijak oleh imperialisme dan antek-anteknya di tubuh oposisi Venezuela,” kata pemimpin koalisi sosialis Gran Polo Patriotico Simon Bolivar itu.

Selain itu, Maduro juga memutus hubungan diplomatik dengan AS. Ia pun memberi status “persona non grata” kepada para diplomat AS dan menetapkan tenggat 72 jam bagi mereka untuk meninggalkan Venezuela.

Dukungan Trump kepada Guaido bisa dibaca sebagai upaya intervensi politik. Nyatanya, tidak kali ini saja AS mencoba ikut campur dalam ontran-ontran yang terjadi di Venezuela.

Pada Agustus 2017, Trump, di depan para wartawan, menegaskan bahwa pemerintahannya memiliki banyak opsi untuk mengatasi krisis di Venezuela, termasuk di dalamnya tindakan militer. Setahun kemudian, Trump dilaporkan mengadakan pertemuan dengan perwira militer AS dan mantan perwira Venezuela untuk membahas rencana kudeta.

AS diketahui telah berselisih dengan Venezuela sejak awal 2000-an. Kala itu, kebijakan pemimpin sosialis Hugo Chavez mengancam kepentingan ekonomi AS dan ditengarai dapat mengurangi pengaruh politik Washington di Amerika Latin.

Dengan cadangan minyak yang dimiliki Venezuela, Chavez ingin menciptakan institusi baru di luar orbit AS sekaligus meraih dukungan dari pemerintah kiri lainnya di wilayah Amerika Latin. Pada 2002, pemerintahan George W. Bush mendukung usaha kudeta terhadap Chavez. Namun, dukungan tersebut gagal mendongkel Chavez dari kekuasaan.

Keterlibatan dalam krisis Venezuela menjadi gambaran kebijakan luar negeri AS di Amerika Latin yang dikenal kotor. Sejarah mencatat, AS terlibat dalam kudeta di Guatemala (1954), Cile (1973), hingga Panama (1989). Semua terangkum dalam Operasi Burung Kondor.

Kendati sudah diterapkan sejak akhir 1960-an, Operasi Burung Kondor baru diinisiasi secara resmi pada 1975 di Santiago, Cile. Saat itu, para kepala intelijen, pimpinan militer, serta pejabat pemerintah berkumpul dalam sebuah forum untuk merumuskan strategi guna melenyapkan pengaruh kiri di Amerika Latin. Negara-negara yang hadir antara lain Argentina, Cile, Uruguay, Paraguay, Brazil, serta Bolivia.

Operasi Burung Kondor lahir sebagai respons atas kemenangan gerakan kiri di Amerika Latin pada dekade 1960-1970-an lewat pemilu. Melihat fenomena tersebut, AS, yang tengah gencar-gencarnya melancarkan propaganda anti-komunisme (serta tak ingin kepentingan politiknya di Amerika Latin diusik), mulai cemas. AS lantas mengajak, mendanai, dan mendukung terciptanya operasi gabungan beberapa negara Amerika Latin untuk menghalau pengaruh kiri.

Mulanya, Operasi Burung Kondor ditujukan sebagai sarana tukar informasi intelijen antar negara. Seiring waktu, operasi ini berubah menjadi organisasi yang mengidentifikasi, mencari, serta melenyapkan siapapun yang dipandang memusuhi pemerintahan sayap kanan maupun kediktatoran militer fasis yang didukung CIA serta Menlu AS, Henry Kissinger.

Menurut sejawaran Universitas New York, Greg Grandin, dalam bukunya berjudul Kissinger's Shadow: The Long Reach of America's Most Controversial Statesman (2015), Kissinger menyarankan kepada menteri luar negeri rezim junta militer di Amerika Latin untuk bertindak cepat dalam menangkal pengaruh kiri. “Apabila harus ada yang diselesaikan, lakukan dengan cepat,” tulis Grandin menirukan ucapan Kissinger.

Operasi Burung Kondor, pada akhirnya, berandil dalam menghilangkan 30 ribu warga Argentina selama Perang Kotor, menggulingkan presiden sosialis Allende dan mengerek Jenderal Pinochet di Cile ke kursi kekuasaan, hingga menewaskan tokoh oposisi Orlando Letelier dalam ledakan bom mobil di Washington DC.

Pengakuan AS Punya Efek Terbatas

Dalam perspektif hukum internasional, sebagaimana ditulis Stefan Talmon lewat “Recognition of Opposition Groups as the Legitimate Representative of a People” (2013), dikenal dua jenis pengakuan terhadap suatu pemerintahan: politik dan hukum.

Pengakuan politik bersifat fleksibel—dapat dibuat dalam berbagai kondisi—serta cenderung lebih politis. Pengakuan ini tak menciptakan kewajiban hukum apapun bagi negara yang mengakui kehadiran kelompok oposisi. Untuk alasan tersebut, pengakuan politik hanya memiliki efek praktis yang terbatas.

Di lain sisi, pengakuan politik tidak serta merta mengubah kedudukan pemerintahan non-oposisi yang “tidak diakui”. Hak-hak yang didasarkan pada hukum internasional masih melekat pada mereka. Ini bisa dilihat dari kasus rezim Assad di Suriah yang tetap menjalankan kontrol atas kedutaan besar Suriah di luar negeri, sekalipun rezim mereka tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai pemegang kendali pemerintahan yang sah.

Sedangkan pengakuan dalam konteks hukum berarti adanya penetapan status hukum kepada kelompok oposisi yang diakui. Penetapan ini menimbulkan munculnya konsekuensi yang mengikat secara hukum. Salah dua hal yang harus dipenuhi untuk memperoleh pengakuan hukum ialah kontrol efektif terhadap suatu wilayah serta memiliki peraturan sendiri untuk menjalankan roda pemerintahan.

Lantas bagaimana dengan kehadiran kelompok oposisi di Venezuela? Jika dilihat dari penjelasan yang ada, pengakuan yang diberikan AS dan sekutunya baru pada taraf pengakuan politik. Pengakuan ini belum menganulir status hukum pemerintahan Maduro.

Akan beda hasilnya apabila kelompok oposisi berhasil menguasai titik-titik strategis di Venezuela. Bisa jadi, setelah itu, pengakuan secara hukum dapat diberikan kepada kelompok oposisi dari negara-negara internasional. Namun, untuk merealisasikan hal tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan mengingat sampai sekarang pengaruh Maduro cukup kuat tertanam di tubuh militer dan Majelis Konstituante Nasional.

Terlepas dari hitung-hitungan di atas, yang jelas, konsep pengakuan sendiri apabila tidak diterapkan secara tepat justru malah bisa melanggengkan konflik di negara bersangkutan. Skenario paling buruk: pengakuan terhadap kelompok oposisi dapat memunculkan perang sipil.

Infografik Campur Tangan Sam di krisis Venezuela

Infografik Campur Tangan Sam di krisis Venezuela

Efek Bolsonaro?

Menariknya, terpilihnya Jair Bolsonaro sebagai presiden Brazil turut memperkuat tekanan politik yang ditujukan kepada Maduro di Venezuela. Bolsonaro, dalam video yang dipublikasikan pada 18 Januari 2019, bersumpah akan mengembalikan demokrasi di Venezuela agar masyarakat dapat hidup dengan bebas.

“Saya yakin solusinya akan segera datang,” ujar Bolsonaro, ditemani Miguel Ángel Martín, salah satu dari beberapa pemimpin oposisi Venezuela yang diasingkan Maduro, sebagaimana diwartakan The Guardian.

Bolsonaro merupakan pemimpin sayap kanan yang mengambil alih kekuasaan di Brazil sejak 1 Januari 2019. Sejak terjun ke kontestasi pilpres, Bolsonaro memegang teguh prinsip untuk menjadikan Brazil “kembali hebat”, seperti halnya yang dilakukan idolanya, Trump, saat pilpres AS 2016.

Jualan Bolsonaro selama kampanye pilpres adalah memperbaiki perekonomian dalam negeri, memberantas korupsi, serta menegakkan aturan hukum setegak mungkin dengan cara mengembalikan Brazil ke era diktator militer yang dipimpin oleh Presiden Joao Goulart (1 April 1964 hingga 15 Maret 1985). Anggapan Bolsonaro: era otoritarianisme di Brazil sebagai contoh dari bagaimana seharusnya negara menegakkan hukum untuk menekan angka kriminalitas.

Rupanya, kampanye ini sangat efektif. Rakyat Brazil yang kadung muak dengan kebobrokan pemerintah selama dipimpin Dilma Rousseff dan Michel Temer karena ekonomi tak kunjung membaik dan korupsi justru makin menggila, melihat sosok Bolsonaro sebagai harapan. Terlebih, dibanding politisi lainnya, rekam jejak Bolsonaro tergolong bersih dari korupsi.

Pesan-pesan nasionalistik tersebut juga merembet sampai luar perbatasan Brazil. Bolsonaro, misalnya, menolak pemberlakuan Perjanjian Paris tentang pengendalian iklim global, mengancam keluar dari PBB yang disebutnya sebagai “pertemuan orang-orang komunis,” serta lebih memprioritaskan kesepakatan bilateral alih-alih multilateral.

Pendekatan serupa turut dipakai Bolsonaro dalam menanggapi sengkarut di Venezuela. Berbeda dari para pendahulunya dari partai kiri (2003-2016) yang dikenal menjalin relasi hangat dengan negara penghasil minyak itu, Bolsonaro cenderung lebih keras. Pasalnya, konflik di Venezuela turut menyumbang kekacauan di Brazil dengan adanya lonjakan pengungsi di daerah perbatasan. Bolsonaro berkali-kali menjadikan Venezuela sebagai contoh kegagalan pemerintahan yang dikomandoi pemimpin kiri.

Bagi AS, terpilihnya Bolsonaro adalah berkah. Dengan adanya Bolsonaro, AS seperti memperoleh amunisi tambahan untuk terus menekan rezim Maduro di Venezuela yang seringkali digambarkan sebagai bagian dari troika of tyranny dengan Kuba dan Nikaragua. Kesamaan pola pikir di antara kedua negara ini tak pelak berpotensi menciptakan aliansi sayap kanan yang kokoh di kawasan Amerika Latin, bersama sekutu lain macam Argentina dan juga Kolombia.

Sekarang, yang harus ditunggu, adalah ke arah mana bandul akan semakin bergerak?

Baca juga artikel terkait KRISIS VENEZUELA atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Politik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Suhendra