Menuju konten utama

Draf UKP-PPHB Dikritik: Dinilai Tak Transparan & Abaikan Hak Korban

KKPK kritik draf Perpres soal Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM berat (UKP-PPHB) melalui mekanisme non-yudisial.

Draf UKP-PPHB Dikritik: Dinilai Tak Transparan & Abaikan Hak Korban
Pegiat HAM yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (2/8/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) soal Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (UKP-PPHB) melalui mekanisme non-yudisial ditolak keras oleh Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK). Mereka menilai draf tersebut tidak transparan dan berpotensi menjauhi rasa keadilan bagi korban.

Koalisi KKPK itu terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti KontraS, ELSAM, AJAR, IKOHI, KontraS Surabaya, Pamflet Generasi, Indonesia untuk Kemanusiaan, Paduan Suara Dialita, SKP-HAM Palu Sulteng, KontraS Aceh, Rumah Belajar Poso, SPKP HAM Aceh, dan beberapa individu akademisi dan warga sipil lainnya.

Peneliti ELSAM, Miftah Fadhli, menyoroti beberapa hal bagaimana pembahasan rancangan aturan tersebut berpotensi sulit memberikan keadilan yang substantif bagi korban-korban pelanggaran HAM masa lalu. Salah satunya mengenai tidak adanya partisipasi korban dan masyarakat sipil secara efektif dalam membahas rancangan itu.

“Sehingga kita perlu mendesak pemerintah untuk membahas rancangan secara akuntabel dan transparan ke berbagai pihak yang berkepentingan, terutama korban dan masyarakat sipil,” kata Fadhli dalam konferensi pers koalisi, Rabu (24/3/2021).

Fadhli juga mengatakan ada beberapa prakondisi yang harus dipenuhi sebelumnya jika Presiden Joko Widodo membuat satu mekansime pemulihan yang efektif kepada para korban. Yang pertama adalah mekanisme pengungkapan kebenaran (truth seeking) dengan membentuk sebuah komisi independen yang terdiri dari korban dan masyarakat sipil.

“Komisi harus diberikan mandat yang luas untuk mengungkap peristiwa di masa lalu, termasuk kejahatan-kejahatan yang terjadi di masa lalu. Laporan komisi juga harus bisa diakses kepada publik, sehingga publik bisa tahu apa yang terjadi di masa lalu,” kata dia.

Setelah komisi melakukan pengungkapan kebenaran, Fadhli mengatakan pemerintah harus melakukan permintaan maaf resmi kepada korban dan keluarga atas peristiwa yang terjadi di masa lalu. Kata dia, permintaan maaf adalah salah satu bentuk pemulihan yang sifatnya “kepuasan” (satisfaction).

“Dengan adanya permintaan maaf resmi dari negara, pengalaman korban dan keluarganya atas rasa sakit dan pedih di masa lalu diakui dan diharapkan bisa mengeliminasi stigma dan prasangka yang dialami oleh korban selama ini,” kata dia.

Ia menambahkan, “Pemerintah juga perlu mengambil langkah untuk memproses kasus-kasus itu secara ajudikatif, artinya mekanisme peradilan harus berjalan efektif dengan melibatkan institusi peradilan yang resmi. Sehingga ini menjadi bentuk tindak lanjut dari mekanisme pengungkapan kebenaran oleh pemerintah."

Koalisi mengacu pada laporan Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) yang menyebut 15 kasus pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum ditindaklanjuti secara menyeluruh oleh pemerintah. Di antara kasus-kasus tersebut, ada yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM—namun belum ditindaklanjuti proses hukumnya oleh Kejaksaan Agung—dan terdapat kasus-kasus yang belum ditangani sama sekali.

Koalisi menilai pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang akuntabel, transparan, dan partisipatoris untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi.

Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa proses yang ditempuh telah memenuhi standar dan kualifikasi umum yang diatur dalam berbagai instrumen HAM internasional dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat.

“Masyarakat sipil menilai proses pembahasan Ranperpres UKP pemulihan yang dilakukan oleh Pemerintah selama ini tidak terbuka dan berpotensi mengabaikan hak-hak korban, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip pemenuhan hak atas pemulihan korban,” kata Fadhli.

Baca juga artikel terkait KASUS PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz