Menuju konten utama

Dr. Moewardi & Ide Fusi Organisasi Kepanduan Indonesia

Selain berkutat dengan pendidikan, Moewardi juga mengasah diri dalam kepanduan. Mendorong fusi organ-organ kepanduan bumiputra.

Dr. Moewardi & Ide Fusi Organisasi Kepanduan Indonesia
Header Mozaik Dr Moewardi. tirto.id/Tino

tirto.id - Ketika membicarakan tentang gerakan kepanduan, nisbi jarang orang menyebut nama Dokter Moewardi. Siapa Bapak Kepanduan—atau lebih lazim disebut Pramuka—di Indonesia? Nama yang bakal langsung disebut adalah Sultan Hamengkubuwono IX.

Tidak salah memang. Namun, jangan nafikan begitu saja nama Moewardi yang secara historis memiliki peranan penting dalam penyatuan organisasi kepanduan di Indonesia.

Siapakah Dokter Moewardi? Dia merupakan salah satu Pahlawan Nasional yang aktif dalam bidang kepanduan, kedokteran, hingga kelaskaran.

Moewardi lahir di Desa Randukuning, Pati, pada 30 Januari 1907. Ayah dan ibunya adalah pasangan M. Sastrowardojo dan Rupeni. Sang ayah pernah menjabat sebagai kepala sekolah dasar bumiputra di Desa Jakenan.

Dari profilnya, kita bisa menerka bahwa beliau adalah seseorang yang sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Maka tak heran Moewardi mendapatkan pendidikan yang bagus sejak kecil, mulai dari Europesche Lagere School (ELS), Hollandsch-Inlandsche School (HIS), hingga School tot Opleiding voor Inlandsche Aarsten (STOVIA).

Menurut Ataswarin Moewardi—anak ke-3 Moewardi—dalam Ayahku Pahlawanku (1995), Moewardi berhasil lulus pendidikan dan ditabalkan sebagai dokter THT pertama di Hindia Belanda pada 1 Desember 1933.

Moewardi dalam Kepanduan

Selain sukses dalam hal akademik, Moewardi juga aktif dalam organisasi kepemudaan. Kepanduan menjadi bidang pilihannya untuk mengembangkan diri. Pada awal abad ke-20 saat itu, terdapat organisasi Nederlandsche Indische Padvinders Vereniging (NIPV) yang diakui secara resmi oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Mulyono dan Sutrisno Kutoyo dalam biografi Dr. Muwardi (1980) menyebut Moewardi menjadi anggota Spoorzoeker semasa bersekolah di ELS. Organisasi ini merupakan salah satu cabang NIPV.

Namun, dia tidak betah disana. Moewardi tidak suka pada sifat gerakannya yang sangat Belanda-sentris. Dia, misalnya, harus melakukan sumpah setia sebagai pandu kepada Kerajaan Belanda.

Karenanya, Moewardi lantas mencari tempat lain untuk berkarya. Dia lalu bergabung dalam Jong Java Padvinderij (JJP) yang merupakan organ kepanduan resmi dari Jong Java. Pada 1926, Moewardi terpilih menjadi Kepala Pasukan JJP.

Di bawah kepemimpinannya, kuantitas anggota JJP meningkat pesat. Kepemimpinannya juga menciptakan banyak aturan baru dan mendirikan Pandoe Putri pada 5 Februari 1927.

Dalam Kongres JJP di Solo pada 1929, organisasi ini memutuskan untuk memisahkan diri dari Jong Java. Nama organisasi pun turut berubah menjadi Pandu Kebangsaan. Moewardi sekali lagi ditunjuk sebagai Ketua Umum gerakan ini.

Sejak itulah, Moewardi mengusung visi tentang penyatuan organisasi-organisasi kepanduan di Hindia Belanda. Visi ini dapat pula dilihat dalam prinsip yang ditulis Moewardi dalam Kitab Peringatan Jong Java.

Pandu yang satu adalah saudara pandu yang lain. Oleh karena itu, seluruh pandu harus menjadi satu,” demikian gagas Moewardi.

Visi penyatuan organisasi kepanduan bumiputra ini juga merupakan implementasi dari semangat Sumpah Pemuda 1928, di mana Moewardi juga turut serta menghadirinya.

Penyatuan Organ Kepanduan

Langkah konkret Moewardi untuk mengadakan fusi gerakan kepanduan Indonesia dapat dilihat di artikel yang terbit di De Indische Courant edisi 20 Desember 1929. Artikel berjudul “Jeugd en politiek Fusie van inheemsche Padvinderijen” itu menceritakan tentang penyelenggaraan konferensi penyatuan kepanduan di Indonesia.

Inisiator konferensi para pandu itu adalah Pandu Kebangsaan yang dipimpin Moewardi. Fusi organ-organ kepanduan itu didasari oleh dua asas, yaitu nasionalisme dan religiositas.

Pada perkembangannya, hanya organisasi kepanduan berhaluan nasionalis saja yang setuju untuk melebur menjadi satu. Fusi itu akhirnya tercapai pada 13 September 1930, di tandai dengan berdirinya Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).

KBI merupakan fusi dari tiga organisasi, yaitu Pandu Kebangsaan (PK), Pandu Pemuda Sumatera (PPS), dan Indoneisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO). Selain Moewardi, ada pula Soeratno dan Soegandi dari PK, Soewardjo Tirtosoepono, dr. Soeparlan, dan Pentor dari INPO, serta Bahder Djohan, dr. Nazir, dan dr. Sjagat Yahya dari PPS yang turut andil dalam proses pembentukan KBI.

KBI sendiri mendeklarasikan diri berasaskan kebangsaan dan tidak berpolitik. Meski hanya disokong oleh tiga organisasi, KBI tetap berupaya untuk mengajak organisasi-organisasi lain di Indonesia untuk bergabung.

KBI kemudian rutin menyelenggarakan jambore guna menyusun peraturan dasar tentang kepanduan yang bersifat universal di Indonesia, mulai dari penyusunan syarat-syarat menjadi pandu, fiksasi tingkatan golongan pandu, penentuan seragam pandu, dan sebagainya.

Lain itu, KBI juga menerbitkan majalah Pandoe yang pimpinan redaksinya dipegang oleh Moewardi. Tentu saja, tulisan-tulisan Moewardi kemudian jamak mewarnai majalah ini. Contohnya seperti tulisan tentang nasionalisme dan humanisme kepanduan yang terbit dalam edisi 10 Desember 1932 dan tulisan tentang pentingnya menjaga kesehatan ketika berkemah di edisi 10 Mei 1933.

Infografik Mozaik Dr Moewardi

Infografik Mozaik Dr Moewardi. tirto.id/Tino

Penyelenggaran Perkino

Moewardi juga mencetuskan ide tentang perkemahan para pandu bumiputra. Ide ini kemudian mewujud dalam gelaran All Indonesian Jamboree pada 26 April 1930. Untuk mengatur pelaksanaannya, dibentuklah Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI).

Penyelenggaran All Indonesian Jamboree setiap tahun tentu tidak mulus. Pasalnya, BPPKI mesti berhadapan dengan berbagai rintangan, seperti perpindahan kepengurusan internal, pergantian rencana tempat penyelenggaran, hingga kondisi perpolitikan di Hindia Belanda dekade 1930-an yang tidak stabil.

Terdapat pula pergantian nama acara dari All Indonesian Jamboree menjadi Perkemahan Kebangsaan Indonesia Oemoem (Perkino). Alasannya, nama Perkino dianggap lebih cocok dengan semangat nasionalisme dan cita-cita kebangsaan Indonesia. Pergantian nama ini terjadi dalam Konferensi BPPKI di Bandung pada 1938.

Jambore dengan nama baru Perkino akhirnya terselenggara pada 19-23 Juli 1941 di Yogyakarta. Selama lima hari itu, BPPKI membikin beberapa acara-acara khas kepanduan, seperti menyalakan api unggun, demonstrasi bakat para pandu, perlombaan materi kepanduan, malam pentas seni, hingga diakhiri dengan pawai keliling Kota Yogyakarta.

Selain para remaja anggota kepanduan, juga hadir beberapa tamu penting, seperti Gubernur Yogyakarta Dr. L. Adam dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Acara Perkino bisa dibilang sukses. Reportase rinci atas penyelenggaraan acara ini juga terbit di majalah Pemimpin edisi Juli-September 1941. Hal ini tentu tidak bisa lepas dari peranan penting KBI di bawah kepemimpinan Moewardi. Dialah pencetus penyelenggaran Perkino.

Muhamad Gilang dalam riset berjudul Dokter Muwardi: Dari Pemimpin Barisan Pelopor Jakarta hingga Tokoh Oposisi 1945-1948 menyebutkan bahwa Perkino ini termasuk peristiwa penting dalam sejarah kepanduan di Indonesia. Pasalnya, inilah embrio dari cikal bakal persatuan seluruh pandu yang ada di Indonesia hingga kemudian berkembang menjadi Pramuka di zaman ini.

Baca juga artikel terkait PRAMUKA atau tulisan lainnya dari Amanda Lathifah Laksmana Putri

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Amanda Lathifah Laksmana Putri
Penulis: Amanda Lathifah Laksmana Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi