Menuju konten utama

DPRD DKI Minta Naik Gaji Saat Kemiskinan Meningkat karena Pandemi

Kemiskinan di Jakarta naik. Orang-orang susah karena pandemi. Tapi DPRD DKI malah usul gaji dan tunjangan mereka naik.

DPRD DKI Minta Naik Gaji Saat Kemiskinan Meningkat karena Pandemi
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta periode 2019-2024 mengucap sumpah jabatan saat pelantikan di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (26/8/2019). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww.

tirto.id - DPRD DKI mengusulkan kenaikan tunjangan untuk legislator tahun depan. Rencana ini lekas ditolak banyak pihak, mengingat pandemi COVID-19 telah membuat banyak orang hidup lebih susah, apalagi situasi di ibu kota bisa dibilang salah satu yang terparah. Mereka dianggap telah kehilangan empati.

Dalam rencana kinerja tahunan (RKT) 2021, 106 anggota anggota dewan diberikan anggaran sebesar Rp888,68 miliar dalam setahun. Jadi masing-masing anggota dewan mendapat Rp8,38 miliar, terdiri dari pendapatan langsung, pendapat tidak langsung, dan kegiatan sosialisasi serta reses. Itu artinya, dalam sebulan setiap anggota DPRI DKI Jakarta bisa mengantongi penghasilan Rp698,65 juta.

Jika hanya pendapatan langsung yang dihitung, setiap anggota DPRD DKI menerima gaji dan tunjangan sebesar Rp173,25 juta--belum dipotong pajak penghasilan (PPh). Angka ini naik dibanding tahun ini yang jumlahnya Rp129 juta perbulan--Rp111 juta setelah dipotong PPh.

Ketua Komisi Pemerintahan DPRD DKI Jakarta Mujiyono bilang kepada reporter Tirto, Rabu (2/12/2020), usul kenaikan tunjangan muncul pertama kali dalam rapat pimpinan gabungan panitia khusus RKT 2021 dan revisi tata tertib dewan. Semua fraksi setuju pada 16 November, termasuk Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang 'balik badan'.

Dalam dokumen daftar hadir yang dikirim Mujiyono, Anggara Wicitra Sastroamidjojo jelas memberikan tanda tangan. Namun, pada 30 November, DPW PSI menginstruksikan kepada fraksi agar menolak rencana tersebut.

Ketua DPW DKI PSI Michael Victor Sianipar mengatakan pada dasarnya ingin kegiatan anggota mendapatkan dukungan yang memadai lewat APBD. "Namun, katanya melalui keterangan tertulis, Senin (30/11/2020), "perhitungan biaya harus mengedepankan asas kepantasan, kewajaran, dan peraturan perundangan yang berlaku." "Tidak elok jika hak-hak anggota DPRD mengalami kenaikan di saat pandemi COVID-19 terjadi dan banyak orang sedang kehilangan pekerjaan atau mengalami penurunan pendapatan."

Mujiyono heran dengan sikap muka dua PSI ini. "Pada saat rapat, kami dan PSI setuju. Kami bingung kenapa PSI tiba-tiba berbalik arah jadi nolak. Kalau mau menolak, ya, dari awal," katanya. "Sebelumnya juga banyak kebijakan yang mereka tentang, tapi pada akhirnya mereka nikmati juga sekarang."

Dua kenaikan tunjangan yang diusulkan anggota dewan adalah tunjangan perumahan, dari Rp 60 juta menjadi Rp105 juta; dan tunjangan transportasi dari Rp21 juta menjadi Rp35 juta. Total kenaikan tunjangan mencapai Rp51 juta per orang. "Setelah dipotong pajak kenaikan jadi Rp51 juta," jelas Mujiyono.

Politikus Partai Demokrat itu mengaku usul tunjangan direncanakan naik karena belum pernah ada penyesuaian sejak tiga tahun terakhir. Dia juga bilang ini telah mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta peraturan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Kendati demikian, semuanya masih dalam pembahasan. Usulan akan dievaluasi Kemendagri. Jika dianggap terlalu tinggi, pusat bisa menguranginya. "Kemendagri juga akan melihat kenaikan tersebut apakah sesuai dengan kondisi sekarang saat pandemi. Jadi belum tentu disetujui usulan kami," jelasnya.

Tak Patut

Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai kenaikan gaji dan tunjangan di tengah pandemi COVID-19 adalah usul yang tidak etis, sulit dicerna, lagi tak masuk akal. "Bagaimana bisa DPRD masih punya nafsu memperkaya diri di hadapan fakta kesulitan ekonomi yang dialami warga yang diwakili?" kata Lucius kepada reporter Tirto, Selasa (1/12/2020).

Alih-alih naik, menurutnya anggaran untuk legislator dapat turun karena banyak kegiatan yang bisa dihapus. Misalnya kegiatan-kegiatan tatap muka. "Seharusnya banyak mata anggaran yang justru bisa dialihkan untuk keperluan lain jika pembahasan memperhitungkan betul kebutuhan riil masyarakat."

Anggaran-anggaran yang Lucius sebut masih ada semua. Rinciannya sebagai berikut:

Pendapatan langsung

-Uang representasi Rp2.250.000

-Uang paket Rp 225.000

-Tunjangan keluarga Rp315.000

-Tunjangan jabatan RP3.262.500

-Tunjangan beras Rp240.000

-Tunjangan komisi Rp326.250

-Tunjangan badan Rp130.500

-Tunjangan perumahan Rp110.000.000

-Tunjangan komunikasi Rp 21.500.000

-Tunjangan transportasi Rp35.000.000.

Total Rp173.249.250 per bulan/Rp2.078.991.000 per tahun

Pendapatan tidak langsung (1)

-Kunjungan dalam provinsi Rp14.000.000

-Kunjungan luar provinsi Rp80.000.000

-Kunjungan lapangan komisi Rp 14.000.000

-Rapat kerja dengan eksekutif Rp6.000.000

-Tunjangan sosperda Rp 16.800.000

-Tunjangan ranperda Rp 4.200.000

-Tunjangan sosial kebangsaan Rp 8.400.000.

Total Rp 143.400.000 per bulan/Rp1.720.800.000 per tahun

Pendapatan tidak langsung (2)

-Bimtek sekwan (luar daerah) Rp 60.000.000

-Bimtek fraksi (luar daerah) Rp 60.000.000

-Tunjangan reses 144.000.000.

Total Rp264.000.000 per tahun

Kegiatan sosialisasi dan reses

-Sosialisasi rancangan perda Rp 40.000.000 per bulan

-Sosialisasi perda Rp 160.000.000 per bulan

-Sosialisasi kebangsaan Rp 80.000.000 per bulan

-Reses: 960.000.000 per tahun.

Total 4.320.000.000 dalam satu tahun.

Lucius menilai anggota DPRD DKI sejak awal memang berniat betul hendak menaikkan anggaran karena menyelenggarakan rapat di Puncak Bogor, Jawa Barat, alih-alih Jakarta. "Ada nafsu untuk mencari keuntungan. Ini terlihat sebagai praktek koruptif yang dilegalkan," katanya.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan menjelaskan beberapa pos yang menurutnya tidak tepat. "Kegiatan sosialisasi raperda, perda, kebangsaan harusnya tidak dialokasikan untuk masing-masing anggota dewan, tapi kolektif per dapil dan dikelola setwan, sehingga bisa lebih efisien," kata Misbah kepada reporter Tirto, Selasa.

Selain itu, di masa pandemi, anggaran untuk kunjungan juga bisa dikurangi atau bahkan dihapus. "Kunjungan kerja luar kota bisa lewat online."

Sama seperti Lucius, karena mencederai rasa keadilan warga yang masih bergelut dengan kemiskinan dan pandemi serta banyaknya anggaran yang dikeluarkan negara untuk menangani dampak bencana, rencana kenaikan harus dievaluasi total.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira pun menyatakan demikian. "Kalau DPRD DKI menaikkan tunjangan dan gaji, bisa dibilang kehilangan empati," kata Bhima kepada reporter Tirto, Selasa. "Itu akan menurunkan simpati juga kepada anggota DPRD. Nanti rakyat malah menganggap pemerintah sedang menari di atas penderitaan rakyat."

Bhima lalu menjelaskan bahwa angka kemiskinan di Jakarta naik sebesar 1,11 persen di tengah pandemi COVID-19: dari semula 3,42 persen pada September 2019 menjadi 4,53 persen pada Maret 2020.

Ia bahkan bilang bila perlu anggarannya dipangkas dan dialokasikan untuk penangan COVID-19 dan pemulihan ekonomi, sebagaimana dilakukan anggota legislatif di banyak negara. "Ini momentum untuk menunjukkan bahwa DPRD merupakan representasi dari rakyat yang mengalami kesulitan," katanya.

Baca juga artikel terkait KENAIKAN TUNJANGAN DPRD atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino