Menuju konten utama

DPRD DKI Baiknya 'Belajar Dulu' Sebelum Usul Naikkan Pajak Hiburan

Usulan menaikkan pajak hiburan hingga 40 persen dinilai tak relevan dan berpotensi menggerus pendapatan daerah.

DPRD DKI Baiknya 'Belajar Dulu' Sebelum Usul Naikkan Pajak Hiburan
Suasana halaman Balai Kota dan Gedung DPRD DKI Jakarta, Jakarta, Jumat (3/10). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

tirto.id - Wacana tarif pajak bagi usaha hiburan naik hingga 40 persen yang diusulkan anggota DPRD DKI Jakarta menuai kritik. Sebab, pernyataan yang dilontarkan politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Lukmanul Hakim itu dinilai tak relevan dan justru membuat potensi pendapatan daerah dari pajak hiburan makin suram.

“Karena yang harus dilakukan sekarang itu justru membuat iklim bisnis yang bagus sehingga banyak investor masuk dan banyak orang yang mau berusaha,” kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (8/10/2019).

Awalnya usulan itu datang dari Ketua Fraksi PAN DPRD DKI Jakarta, Lukmanul Hakim yang meminta agar Pemprov DKI menaikkan pajak hiburan hingga 40 persen. Ia juga mendesak pemda melakukan pengawasan yang maksimal terhadap para wajib pajak, terutama pajak hiburan.

“Kami akan mendorong Pemprov DKI Jakarta untuk menaikkan pajak hiburan dari 25 persen menjadi 40 persen. Ini sangat penting guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta,” kata Hakim lewat rilis yang diterima reporter Tirto, Senin (7/10/2019).

Hakim menyatakan, pajak dari sektor hiburan ini harus menjadi perhatian serius, mengingat sektor jasa hiburan di Jakarta mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sehingga dari pengawasannya pun harus ditingkatkan.

“Kalau sektor hiburan ini bisa dikelola dengan baik, maka akan sangat membantu sekali dalam meningkatkan PAD DKI Jakarta. Dan pemerintah harus mengawasi dengan ketat supaya para wajib pajak ini mau membayar kewajibannya dengan baik,” kata dia.

Hakim menambahkan, “ke depan hal ini tidak boleh terjadi lagi. Semua wajib pajak harus taat dan menjalankan kewajibannya dengan baik.”

Namun, usulan tersebut dikritik Yustinus lantaran tidak relevan lagi. Menurut dia, justru yang harus dilakukan Pemprov DKI Jakarta adalah dengan melakukan pengawasan yang ketat bagi para wajib pajak. Salah satunya dengan menyempurnakan sistem teknologi informasi (IT).

“Tinggal dibuat sistem yang baik, dengan IT bagaimana bisa menjangkau potensi-potensi itu. Dengan menerapkan sistem IT yang bagus, dengan sistem seperti itu, pengawasan terhadap mereka yang belum terdaftar dan belum membayar bisa dikejar,” kata Yustinus.

Apalagi, kata Yustinus, jika berbicara pajak hiburan di Jakarta sangat berbeda dengan, misalnya dengan di Jayapura, Papua. Menurut Yustinus, Jakarta memiliki banyak kompetitor ketimbang di daerah seperti Jayapura.

“Karena kalau pajak daerah, apalagi hiburan, sensitif menurut saya. Sensitif apalagi di Jakarta. Beda dengan Jayapura, orang mau enggak mau cari hiburan di situ. Kalau di Jakarta kompetitornya banyak di daerah sekitarnya, Depok, Bogor, dan Bekasi,” kata dia.

Menurut Yustinus, konsumen akan lari ke daerah penyangga tersebut bila pajaknya terlalu tinggi.

“Penyedia jasa hiburan juga bisa pindah. Daripada saya di Jakarta, mending di luar [DKI] lebih murah, ke tempat lain. 40 persen itu tinggi sekali,” kata Yustinus.

DPRD Harus Belajar Lagi

Apalagi, kata Yustinus, salah satu alasan menaikkan pajak 40 persen tersebut tak relevan karena klaim DPRD DKI soal pesatnya perkembangan hiburan di Jakarta berbanding terbalik dengan data yang dipaparkan Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta.

Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) Provinsi DKI Jakarta Faisal Syafruddin mengakui penyebaran hiburan ke daerah penyangga menjadi salah satu faktor penyebab tidak tercapainya target penerimaan pajak hiburan tahun 2018.

"Berpindahnya beberapa hiburan besar ke luar DKI Jakarta seperti ke Sentul, BSD hingga Bali. Karena kami tidak punya tempat representatif untuk memasukan event besar,” kata Faisal di Jakarta, seperti dikutip Antara, Rabu (18/9/2019).

Faktor penyebab lainnya, antara lain: karena adanya objek pajak hiburan yang ditutup, dikarenakan melakukan pelanggaran berupa peredaran narkoba dan hiburan dewasa. Kemudian tingkat kepatuhan dan kewajaran pembayaran dari wajib pajak yang belum optimal.

Pajak hiburan merupakan satu dari enam sumber pajak yang tidak mencapai target tahun 2018.

Pajak DKI Jakarta berasal dari 13 sumber pendapatan pajak. Untuk pajak hiburan realisasi pada 2018 sebesar Rp834,52 miliar dari target Rp900 miliar atau sebesar 92,73.

Total realisasi pendapatan pajak yang dikumpulkan BPRD selama tahun 2018 sebesar Rp37,53 triliun dari target APBD perubahan 2018 sebesar Rp38,12 triliun atau sebesar 98,46 persen.

Jika pendapatan pajak pada 2018 sebesar Rp37,53 triliun dibandingkan pendapatan tahun 2017 sebesar Rp36,51 triliun, maka terdapat peningkatan sebesar 102,81 persen.

Faisal menyatakan BPRD menargetkan pendapatan pajak dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun 2019 sebesar Rp44,180 triliun.

“Sampai hari ini sekitar 30 triliun, ini merupakan prestasi luar biasa dam cukup signifikan peningkatannya,” kata Fasial.

Oleh karena itu, Yustinus menegaskan bahwa tak masuk akal dan keliru jika dengan keadaan seperti itu justru pajak hiburan diusulakn naik hingga 40 persen.

“Menaikkan pajak 40 persen malah enggak relevan sama sekali. Enggak pas menurut saya. DPRD mending belajar dulu deh, problem di Jakarta tuh apa saja. Baru mereka memberikan proposal rekomendasi yang tepat,” kata Yustinus.

Baca juga artikel terkait PEMPROV DKI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz