Menuju konten utama

DPR: Kekhawatiran Atas UU Ormas Hanya Berdasar Asumsi

Menurut DPR kekhawatiran kalau UU Ormas akan merusak due process of law hanya berdasar asumsi belaka.

DPR: Kekhawatiran Atas UU Ormas Hanya Berdasar Asumsi
(Ilustrasi) Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman didampingi hakim MK Saldi Isra, Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna dan Aswanto memimpin sidang lanjutan uji materi UU Ormas di Ruang Sidang Gedung MK, Kamis (22/2/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Mahkamah Konstitusi melanjutkan sidang uji materi UU Ormas, Selasa (06/03/2018). Sidang kali ini mengagendakan untuk mendengar keterangan saksi ahli dari DPR, Forum Advokat Pengawal Pancasila, dan LBH Pembela Pancasila.

Sidang dimulai dengan pemaparan dari pihak DPR yang diwakili oleh Anggota DPR Komisi III Arteria Dahlan. Dalam keterangannya, Ateria menyatakan bahwa UU Ormas adalah undang-undang organik dari UUD 1945.

"UU Ormas adalah bentuk pengaturan lebih lanjut terkait kemerdekaan dan berserikat dan berkumpul. Pasal-pasal a quo merupakan ketentuan untuk mengatur secara limitatif terhadap hak-hak berserikat dan berkumpul," kata Arteria saat memberikan keterangan di pengadilan Jakarta.

Sebelumnya, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) mengajukan uji materi UU Nomor 16 tahun 2017 atau UU Ormas ke Mahkamah Konstitusi. Sejumlah pasal yang dipermasalahkan adalah pasal 1 angka 6 sampai angka 21 UU Ormas.

Pasal ini merupakan ketentuan yang menghapus prosedur pemberian sanksi terhadap organisasi massa yang tercantum dalam pasal 63 sampai pasal 78 UU Ormas. Beleid ini digugat karena dianggap bertentangan dengan konstitusi yang mengancam hak konstitusional dan kemerdekaan berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat.

Uji materi juga dilakukan terhadap frasa “atau paham lain” pada penjelasan Pasal 59 ayat 4 huruf c, pasal 62 ayat 3, pasal 80A, pasal 82 A ayat 1 dan ayat 2 UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Dalam keterangannya, Politisi PDIP ini membantah kalau keberadaan UU Ormas akan membuat pemerintah bisa sewenang-wenang dalam membubarkan suatu ormas. Menurutnya, Ormas yang merasa hak-haknya direnggut oleh keputusan pemerintah, bisa melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

"Maka secara prosedural, dalam konteks penerapan due process of law [Proses penegakan hukum yang benar dan adil] pasal-pasal a quo [pasal yang dipermasalahkan] tidak membatasi warga negara dan ormas untuk melakukan upaya hukum," kata Arteria

Arteria berkali-berkali menegaskan Indonesia adalah negara demokratis yang berdasarkan hukum. Bahkan menurutnya UU Ormas adalah upaya untuk melindungi demokrasi, baik secara prosedural maupun substansial.

Bahkan Arteria menyebut, menurut DPR kekhawatiran kalau UU Ormas akan merusak due process of law hanya berdasar asumsi belaka. Bahkan menurutnya, kekhawatiran itu adalah tanda kalau pemohon uji materi UU Ormas tidak mengerti esensi hak asasi manusia yang diatur UUD 1945.

"DPR RI berpendapat bahwa keberatan yang diutarakan oleh pemohon hanya dilandasi oleh asumsi dan kekhawatiran para pemohon yang belum memahami secara komprehensif esensi dari HAM yang diatur UUD 1945," kata Arteria.

Seusai persidangan, Tim Advokasi Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) selaku pemohon menyatakan point-point yang disampaikan DPR itu sudah out of date. Pasalnya, poin-poin yang disampaikan Arteria sudah dijelaskan sebelumnya oleh saksi ahli yang diajukan pemohon

"Dr Abdul Khoir dan Dr Zamzanibar, misalnya. Terkait yang menurut DPR tidak dihapuskannya peran pengadilan dengan adanya PTUN. PTUN itu tidak bisa menggantikan kedudukan pengadilan biasa," kata M Kamil Pasha (07/03/2018).

Menurut Kamil hak berserikat adalah hak konstitusional sehingga jika ingin mencabut hak tersebut, maka harus lewat pengadilan umum. Sementara PTUN hanya untuk menyelesaikan perkara yang terkait kebijakan pemerintah.

Lebih lanjut Kamil mengatakan keberadaan UU Ormas ini berpotensi menciptakan tumpang tindih peraturan. Salah satunya dengan Undang-Undang Yayasan. Menurutnya banyak ormas yang berbentuk yayasan, sehingga bila terjadi sengketa, "Jadi bingung mau ikut ketentuan yang mana? UU yayasan atau UU ormas," tutup Kamil.

Selanjutnya, sidang akan digelar kembali pada 20 Maret 2018 dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pihak pemohon, pemerintah, DPR, dan pihak terkait.

Baca juga artikel terkait REVISI UU ORMAS atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Yantina Debora