Menuju konten utama

DPR Desak Pemerintah Klarifikasi Penjarahan Bangkai Kapal Perang

Klarifikasi pemerintah penting untuk menjaga citra Indonesia.

DPR Desak Pemerintah Klarifikasi Penjarahan Bangkai Kapal Perang
Ilustrasi Kapal Perang HMAS Perth

tirto.id - DPR mendesak Pemerintah Indonesia merespons permintaan klarifikasi Pemerintah Belanda tentang penjarahan bangkai kapal perang milik sejumlah negara di perairan tanah air. Hal ini penting untuk menjaga citra Indonesia di dunia internasional.

"Saya pikir harus segera diklarifikasi, ya. Apalagi kalau di laporannya itu [serial investigasi Tirto] ada indikasi keterlibatan pemerintah. Supaya tidak jadi preseden buruk buat Indonesia," kata anggota Komisi I DPR Charles Honoris kepada Tirto, Rabu (24/1/2018).

Charles menilai wajar permintaan Pemerintah Belanda. Sebab sejumlah kapal perang yang hilang dijarah dari perairan Indonesia adalah milik mereka. Seperti kapal HNLMS De Ruyter, HNLMS Java, dan HNLMS Korternaer.

"Jadi pemerintah Indonesia harus bisa memberikan keterangan keberadaan bangkai kapal tersebut kalau Belanda meminta. Kalau hilang, harus bisa menjelaskan ke mana hilangnya," ujar Charles.

Politikus PDI Perjuangan ini menyinggung Joint Expert Meeting I dan II antara pemerintah Indonesia dan Belanda. Menurutnya, segala komitmen yang telah tercapai dalam kedua pertemuan tersebut dan seluruh hasilnya harus bisa dipertanggungjawabkan kepada pemerintah Belanda.

"Termasuk adanya fakta baru harus diklarifikasi," kata Charles.

Tidak hanya itu, Charles meminta pemerintah Indonesia untuk mengusut penjarahan kapal-kapal tersebut secara hukum dengan menyeret pihak-pihak yang terlibat .

"Kasus ini sudah mencuat ke publik. Penegak hukum harus segera mengusut hal ini, agar diketahui benar ada tindak pidana atau tidak," kata Charles.

Potensi pidana dalam pencurian kapal perang juga disampaikan Anggota Komisi V DPR Syarif Abdullah. Ia menilai pencuran kapal menunjukkan buruknya pengawasan Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) terhadap kapal-kapal yang mengantungi izin salvage sesuai dengan Permen Salvage No. 33 tahun 2016.

"Itu jelas melanggar mekanisme. Bisa dikenakan pidana kalau benar," kata Syarif kepada Tirto merujuk operasi kapal-kapal itu yang beberapa di antaranya tidak diikuti oleh para petugas terkait.

Apalagi ada potensi manipulasi Surat Perintah Kerja (SPK) yang diberikan Direktorat Jendral Hubungan Laut Kementerian Perhubungan kepada perusahaan-perusahaan terduga pelaku penjarahan kapal-kapal perang tersebut.

"Sekali lagi, kalau itu benar sudah tentu pidana. Oknum yang terlibat harus dihukum," kata Syarif.

Syarif menyatakan akan membawa temuan Tirto dalam rapat bersama Kementerian Perhubungan agar mendapatkan klarifikasi lebih lanjut.

"Harusnya hari ini kami raker dengan Kemenhub. Tapi batal karena suatu hal. Nanti pasti saya sampaikan laporan ini," kata Syarif.

Dalam penelusuran Tirto kapal-kapal yang diduga terlibat pencurian kapal perang beroperasi dengan izin resmi dari Hubla. Kapal itu misalnya Pioner 88, KBR Benoa 1, Dongfu 881, MV Laut Lestari, Armada Salvage 8, dan Thien Li Kong 368—nama-nama ini tercantum dalam daftar Surat Perintah Kerja (SPK) yang dirilis Hubla pada periode 2014-2017.

Terpisah, melalui keterangan tertulisnya, Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Jhonny R Silalahi mengatakan pihaknya akan menindak tegas penyalahgunaan izin salvage yang dapat merugikan negara dan pihak lainnya.

Tindakan tegas berupa peringatan I s.d. III hingga pencabutan izin salvage perusahaan pelayaran, sanksi pidana dan perdata akan diberlakukan sesuai ketentuan perundang-undangan bagi perusahaan salvage yang melakukan kegiatan tidak sesuai dengan perizinan yang diterbitkan oleh Direktorat KPLP," kata Jhonny melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto.

Johnny mengatakan Pemerintah Indonesia memandang serius laporan Pemerintah Belanda atas hilangnya kerangka kapal perang Belanda di Laut Jawa dengan adanya tindaklanjut melalui Joint Expert Meeting I dan II.

Infografik HL Kapal Perang Termin Satu

Ia menyatakan, pertemuan Joint Expert Meeting I dan II yang dilaksanakan di tahun 2017, dikoordinir oleh Kementerian Luar Negeri dengan beranggotakan perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI Angkatan Laut, Arkeologi Nasional, Lembaga Cagar Budaya Belanda dan Angkatan Laut Belanda.

"Dan kemarin (23/1/2017), menindaklanjuti Joint Expert Meeting II, diadakan pertemuan yang dikoordinir Kementerian Luar Negeri dengan agenda membahas langkah-langkah ke depan terkait bentuk kerjasama yang akan diusulkan Pemerintah Indonesia untuk Pemerintah Belanda dalam hal konservasi cagar budaya dan cultural heritage di perairan Indonesia," ujar Jhonny.

Ia menyatakan, laporan hilangnya kerangka kapal perang Belanda itu harus disikapi dengan hati-hati dan tidak menuduh pihak-pihak tertentu tanpa disertai bukti yang jelas.

"Terkait peranan Ditjen Hubla di pertemuan JEM dimaksud adalah bagaimana suatu proses pengangkatan kerangka kapal atau salvage baik perizinan yang dikeluarkan maupun metode pelaksanaan yang digunakan untuk mengangkat kapal dengan kedalaman laut tertentu. Tentunya, semua perizinan yang dikeluarkan Ditjen Hubla sudah sesuai prosedur, sesuai ketentuan yang berlaku," tutup Jhonny.

Pekan lalu, Tirto merilis belasan laporan investigasi soal penjarahan bangkai kapal, termasuk kapal perang Belanda di perairan Laut Jawa. Dari penelusuran Tirto, penjarahan ini terungkap pertama kali saat penyelam Pete Maisley mendapati dua kapal perang Belanda, HNLMS Java dan HNLMS De Ruyter, yang karam pada 1942 di dekat Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur, raib tanpa jejak.

Maisley kala itu menyelam buat memperingati 75 tahun pertempuran di Laut Jawa. Saat kasus ini mencuat, dugaan penjarah mengarah ke oknum warga di Madura, karena pengusaha bisnis besi tua melekat sebagai profesi yang identik di sana. Pertanyaannya: dengan cara apa mereka bisa menjarah kapal-kapal perang, dan tanpa meninggalkan jejak?

Kapal De Ruyter dan Java masing-masing sepanjang 171 meter dan 155 meter. Lebar keduanya 16 meter. Dengan dimensi yang rumit dan kompleks itu hanya penyelam berkekuatan hebat mampu melakukannya.

Basrawi, salah seorang penyelam di Madura yang berpengalaman merayah bangkai kapal, menampik pengusaha Madura sebagai pelakunya. Ia menyebut, tidak butuh kesaktian atau keajaiban untuk menjarah kapal perang raksasa. Yang dibutuhkan hanya satu: kecanggihan teknologi.

Saat hilir mudik di perairan Laut Jawa, ia sering melihat tongkang yang berhari-hari melempar jangkar di atas lokasi yang diduga di atas bangkai kapal. Di atas tongkang itu terdapat mesin crawler craneberukuran besar. Tongkang jenis ini lazim disebut tongkang bercakar atau grab dredger. Basrawi berkata nama tongkang tersebut: Pioner 88.

Kementerian Perhubungan mendata Pioner 88 dimiliki oleh PT Jatim Perkasa. Dalam situs resminya, PT Jatim Perkasa mendaku sebagai perusahaan yang ahli dalam bidang salvage (kegiatan bawah air).

Hasil pengerukan Pioner 88 ini dibawa ke Pelabuhan Brondong, Jawa Timur. Kapal yang diduga diangku dari bawah laut itu diduga merupakan kapal perang Belanda. Dugaan ini menguat lantaran ada huruf "KN" seukuran sekitar 1 meter yang tercetak di pelat kuningan.

Diduga pelat kuningan berinisial 'KN' berasal dari HNLMS Kortenaer, kapal jenis perusak yang dibikin oleh pabrik di Rotterdam. Belanda punya delapan kapal dengan tipe sama. Guna membedakan, dibuatlah kode: Piet Hein jadi 'PH', Evertsen jadi 'EV', atau Kortenaer jadi 'KN'.

Penjarahan kapal karam ini melibatkan banyak pihak, mulai dari pemberian izin pemerintah di dalam negeri, swasta lokal hingga perusahaan asing dari China. Kapal-kapal yang dijarah pun tak hanya dari Belanda, juga dari Inggris hingga Amerika.

Baca juga artikel terkait PENJARAHAN KAPAL atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Jay Akbar