Menuju konten utama
Polemik RUU Kesehatan

DPR: Adiksi Narkotika Tidak Sama dengan Tembakau

DPR menilai tidak tepat dikelompokkannya tembakau dengan narkotika, psikotropika, dan minuman beralkohol dalam draf RUU Kesehatan.

DPR: Adiksi Narkotika Tidak Sama dengan Tembakau
Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta, Kamis (10/12/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

tirto.id - Anggota Komisi IV DPR, Firman Soebagyo menanggapi terkait polemik dikelompokkannya tembakau dengan narkotika, psikotropika, dan minuman beralkohol dalam draf RUU Kesehatan. Legislator asal Jawa Tengah ini menilai penyetaraan tersebut tidak tepat, lantaran adiksi narkoba tidak sama dengan tembakau.

“(Penyetaraan) itu tidak tepat, itu diskriminasi. Tembakau bukan narkotika, berarti ada penyelundupan pasal yang akan mematikan industri tembakau sebagai salah satu sumber penerimaan negara terbesar,” ungkap Firman yang juga merupakan Sekretaris Jenderal Gerakan Nasional Anti Narkotika (GRANAT) dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (5/5/2023).

Firman menuturkan terkait diferensiasi zat adiktif Mahkamah Konstitusi telah menegaskan adiksi rokok berbeda dengan narkotika dan psikotropika. Ada tiga putusan MK yang menguatkan hal ini: Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009, Putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010, dan Putusan MK No. 71/PUU-XI/2013.

“Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sudah final dan mengikat. Narkotika dan psikotropika ini sudah ada Undang-Undangnya tersendiri,” sambung Firman.

Lebih lanjut, dia menjelaskan nikotin yang terdapat dalam tembakau merupakan zat adiktif yang legal, serupa dengan kafein pada kopi, teh, dan minuman energi. Sebaliknya, narkotika dan psikotropika sudah diatur dan digolongkan secara khusus melalui UU Narkotika.

Dia pun mencontohkan narkotika Golongan I seperti kokain, ganja, dan lainnya dinyatakan ilegal untuk diproduksi dan dikonsumsi. Narkotika ialah zat yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, hingga mengurangi rasa nyeri, dan sejumlah kondisi khusus.

Sebagai catatan, UU 36/2009 yang merupakan undang-undang kesehatan yang berlaku saat ini, tidak mencantumkan alkohol, terlebih narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif.

Sementara itu, Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS), Aris Arif Mundayat menilai, RUU Kesehatan yang mengelompokkan tembakau serupa dengan narkotika dan psikotropika akan memangkas hak-hak konstitusional para pelaku usaha tembakau sampai para konsumen.

“Konsumen dan produsen tembakau akan tidak terlindungi secara konstitusional. Bahkan petani tembakau bisa kehilangan komoditas tembakau jika dipersepsikan sama dengan narkoba oleh aparat hukum. Perlindungan konstitusional mestinya harus jelas dan tegas agar petani tembakau tidak dirugikan,” ungkap Aris.

Dia pun menuturkan dengan ketentuan tersebut, maka akan timbul konsekuensi hukum yang akan menyamakan proses produksi dan distribusi dari jenis-jenis barang adiktif tersebut. Untuk para pelaku industri hasil tembakau, ini tentu akan sangat merugikan industri tembakau, hingga menggerus pendapatan negara.

Baca juga artikel terkait POLEMIK RUU KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin