Menuju konten utama
Misbar

Down Swan: Gambaran Down Syndrome dan Empati Tanpa Konteks

Gambaran sebuah keluarga kelas pekerja dengan anak sindrom down.

Down Swan: Gambaran Down Syndrome dan Empati Tanpa Konteks
Poster Film Down Swan. FOTO/imdb.com

tirto.id - Kehadiran buah hati adalah hal yang paling dinanti banyak pasangan baru. Beberapa bulan sebelum kelahiran, suami dan istri umumnya akan bersukacita menyiapkan kelahiran sang bayi, mulai dari mendekorasi kamar, membeli pakaian anak, hingga menyusun banyak boneka di tempat tidur anaknya.

Sukacita itu dialami pula oleh Mitha (Putri Ayudya) dan Bisma (Ariyo Wahab), pasangan dalam film Down Swan, sebelum mengetahui keadaan putri mereka, Nadia (Arina Dhisya), berbeda dari anak-anak pada umumnya. Janin di kandungan Mitha divonis menderita sindrom down (down syndrome), sebuah kelainan yang menyebabkan anak memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata dan kelainan fisik yang khas.

Sebagai seorang ibu, Mitha benar-benar kecewa. Selama sembilan tahun ia berada dalam penyangkalan dan menjaga jarak dari putrinya. Meski tetap melaksanakan pekerjaan rumah tangga, tanggung jawab mengurus Nadia lebih banyak dipegang Bisma. Mitha hanya berperan sebagai pihak ketiga yang memperhatikan aktivitas suami dan anaknya dari jauh. Minimnya ikatan emosional ibu dan anak itu juga ditunjukkan lewat keengganan Mitha menyebut nama si anak.

“Dia sudah tidur?” tanya Mitha suatu kali. “Dia siapa? Anak kita itu punya nama lho, Mit!” potong Bisma kesal.

Minim Ruang Sosial

Mitha dan Bisma adalah pasangan muda yang tinggal di sebuah unit rumah susun. Bisma menghidupi keluarga lewat pekerjaannya sebagai jurnalis, sementara Mitha adalah ibu rumah tangga yang berjualan kue. Hampir setiap harinya sang suami pulang larut malam dan si istri sehari-harinya menitipkan paket kue buatannya lewat kurir. Dari awal menikah hingga anaknya berusia sembilan tahun, mereka menjalani hidup sederhana di tempat yang sama.

Down Swan memperlihatkan sejumlah detail kehidupan sebagai pekerja di kota besar, mulai dari macet, pulang-pergi dengan KRL, hingga ekonomi yang pas-pasan bahkan hingga sembilan tahun kemudian.

Disutradarai Fuad Akbar, kisah Down Swan (2019) berpusat pada anak berkebutuhan khusus yang ingin menjadi balerina. Ditujukan untuk penonton segala usia, cerita dan plot Down Swan sangat sederhana. Sayang, konflik batin yang dialami sang ibu tidak dieksekusi dengan cukup baik.

Down Swan mampu membentuk semesta yang kecil namun bahagia bagi Mitha dan Bisma. Namun relasinya hanya terbatas di ruang sempit. Penonton memang diajak melihat perubahan sikap Mitha yang menjadi lebih pendiam pasca-kelahiran anaknya. Ketika Nadia menginjak usia sekitar dua tahun, Mitha tidak banyak berinteraksi dengan sang putri. Ia sekadar melihat anak dan suaminya bermain dengan gembira. Sesekali Mitha terganggu oleh tingkah anaknya yang unik, namun ia hanya bisa menyimpan gejolak emosinya seorang diri.

Infografik Misbar Down Swan

Infografik Misbar Down Swan

Sayangnya, Down Swan terburu-buru membawa penonton ke masa sekarang ketika Nadia menginjak usia sembilan tahun. Plot masa kecil Nadia dieksekusi secara cepat sehingga penonton sulit memahami bagaimana sang ibu bisa menderita depresi.

Tak ada adegan stres pasca-melahirkan atau bagian yang bisa menunjukkan rasa enggan sang ibu untuk menggendong bayi yang menangis. Tak digambarkan pula celetukan tetangga, nasihat orang tua, atau upaya membandingkan Nadia dengan anak lain, yang mampu membuat konflik terlihat nyata, bukan hanya ide bahwa si anak memang berbeda. Walhasil, depresi Mitha tak cukup meyakinkan dan seolah bersumber dari ruang kosong.

Sindrom down belum punya tempat di dalam sinema Indonesia. Down Swan sebetulnya berpotensi untuk hadir sebagai salah satu (jika bukan satu-satunya) film tentang sindrom down dengan menjajaki sejumlah aspek-aspek penting (medis hingga sosial) dalam keluarga dengan anak sindrom down. Sayangnya, keduanya gagal. Aspek medis juga absen dalam film berdurasi 87 menit yang dirilis pada 23 Mei lalu ini. Efeknya, penonton seperti diminta untuk mengikis stigma dan berempati dengan karakter-karakter utamanya tanpa harus mengetahui benar sebab permasalahan dan situasi sosial di seputar stigma tersebut.

Mudah dipahami betapa tak mudah perjuangan Nadia menjadi balerina. Yang sulit dipahami dari Down Swan adalah sikap serba mendadak sang ibu yang mau berdamai dengan kondisi anaknya.

Salah satu problem dalam banyak film Indonesia adalah penyelesaian konflik yang buru-buru. Dalam hal itu, Down Swan bukan pengecualian.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Film
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Windu Jusuf