Menuju konten utama

Dosen IAIN Dipecat: Antara Cadar atau Indisipliner

Dosen IAIN Bukittinggi bernama Hayati dipecat. Kata dia, dia dipecat karena pakai cadar. Tapi kata rektorat, itu semata karena tindakan indisipliner.

Ilustrasi perempuan bercadar. FOTO/iStock

tirto.id - Hayati Syafri mendatangi Badan Kepegawaian Negara (BKN), Senin (4/2/2019) kemarin. Bekas dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Sumatera Barat ini mengajukan banding administratif atas pemecatan dirinya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Tujuan kami datang ke sini adalah untuk banding administrasi," kata Hayati di Kantor BKN, Jakarta Timur, kemarin. Hayati didampingi pengacara dari Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM).

Hayati mengaku dipecat Kementerian Agama (Kemenag) sejak 18 Februari 2019 karena alasan kedisiplinan. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Pasal 3 ayat 11 dan 17, PNS yang tak masuk kerja 46 hari (secara akumulatif) tanpa keterangan yang sah dalam satu tahun harus diberi hukuman disiplin berupa diberhentikan secara hormat atau tidak hormat.

Dan Hayati sudah tak masuk selama 67 hari sepanjang 2017.

Tapi dia mengaku bukan itu alasan utamanya. Hayati bilang dia dipecat karena menggunakan cadar saat mengajar.

Rektorat, kata dia, melarang itu. Padahal, katanya, kode etik di IAIN Bukittinggi hanya mengatur bahwa dosen dan mahasiswa mengenakan pakaian yang rapi dan sesuai dengan syariat Islam.

“Ketika dilihat kode etik kampus di situ dibahasakan dosen harus berpakaian formil dan rapi sesuai dengan syariat Islam. Saya bisa yakinkan pakaian saya bisa rapi dan sesuai dengan syariat,” Hayati bersikukuh.

Dia mengaku sempat dipanggil dan dimediasi oleh Inspektorat Jenderal (Irjen) Kemenag untuk membahas permasalahannya. Tetapi dalam forum itu dia mengaku justru disuruh memilih bersedia membuka cadar atau tidak lagi mengajar.

Mengenai absen, Hayati mengaku kalau itu memang benar. Ia mengaku itu bukan karena sengaja, malas, atau sejenisnya, tapi karena saat ini dia sedang menjalani studi S3 yang memang tak bisa ditinggalkan. Hayati juga mengaku tidak pernah kurang dari 14 kali pertemuan dalam mengajar selama satu semester.

"Mengenai 67 hari itu sudah kami coba paparkan dengan bukti-bukti izin, dengan aktivitas-aktivitas yang jelas." klaimnya.

Kepala Biro Humas BKN Muhammad Ridwan mengatakan setelah dokumen diterima, maka tim dari Badan Pertimbangan Kepegawaian (Bapek) akan memutuskan paling cepat dua minggu lagi. Mereka akan mencabut atau malah memperberat putusan bidang Putusan Pembina Kepegawaian (PPK).

"Tim di Bapek kalau enggak salah [akan mengkaji] 14 sampai 21 hari, baru [mengeluarkan] keputusan. Mereka akan mencabut atau malah memperberat putusan bidang PPK. " kata Ridwan.

Dibantah

Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Kemenag membantah pengakuan Hayati. Direktur Diktis Arskal Salim menegaskan Hayati tidak dipecat karena bercadar. Menurut dia, Hayati diberhentikan karena pernah mangkir lebih dari 46 hari tanpa keterangan yang valid.

Selama itu dia disebut tak pernah mengajar sama sekali.

"Seorang ASN dipecat dari jabatannya apabila terbukti dengan jelas melakukan pelanggaran-pelanggaran berat yang telah ditentukan dalam kode etik dan disiplin pegawai," kata Arskal saat dikonfirmasi reporter Tirto.

Arskal menjelaskan Hayati terbukti melanggar ketentuan Pasal 3 ayat 11 dan 17, PP 53/2010.

Ketentuan Pasal 3 ayat 11 berbunyi: "setiap ASN wajib masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja." Sementara Pasal 3 ayat 17 menyatakan: "setiap ASN wajib menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat berwenang."

Menurut Arskal hal itu sudah jelas ditulis dalam surat keputusan (SK) Menteri Agama Nomor B.II/3/PDH/03178 yang dikeluarkan pada 18 Februari 2019.

Baca juga artikel terkait LARANGAN CADAR atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino