Menuju konten utama
Daffy al-Jugjawy

Dompet Nyai dan Satpam yang Takut Masuk Pesantren

Tuhan tidak hanya bisa mengirim pertolongan lewat cara apa saja, melainkan juga mengirim pesan yang kuat dalam pertolongan tersebut.

Dompet Nyai dan Satpam yang Takut Masuk Pesantren
pastur dan biksu ikut berbuka puasa bersama umat muslim yang menjalankan ibadah puasa ramadhan dalam acara lampung mengaji 99 di bundaran tugu adipura bandar lampung, lampung, selasa (7/6). kegiatan ini akan berlangsung selama bulan suci ramadhan yang diadakan polda lampung dan pemkot bandar lampung dan ditujukan untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama.antara foto/tommy saputra/pd/16.

tirto.id - Terang saja Nyai Dwi Indriani panik luar biasa. Ibu tiga anak ini baru sadar dompet di dalam tasnya lenyap ketika akan menyiapkan uang membayar tol. Mobil sudah masuk pintu masuk gerbang tol Bekasi Timur, antrian mengular. Di dalam mobil bersama suaminya, Kiai Ahmad Iftah Sidik, pengasuh Pondok Pesantren Fatahillah, Bekasi, Nyai Indriani tentu saja kebingungan mencari-cari dompet.

Rencananya, pagi itu (13/6), Kiai Iftah beserta istri akan menuju ke Luar Batang, Jakarta Utara. Dari arah Bekasi, keduanya menuju ke Makam Habib Husein di Luar Batang karena mendapat informasi bahwa guru pasangan suami-istri ini, Habib Muhammad Luthfi bin Yahya dari Pekalongan, akan ke sana. Bagi Kiai Iftah, bisa bertemu dengan guru barang sejenak adalah keistimewaan. Mumpung Habib Lutfhi sedang di Jakarta. Juga sekalian ziarah ke Habib Husein Luar Batang.

Masalahnya, saat baru memulai perjalanan dari pesantrennya, tangki bahan bakar mobil tinggal sedikit. Di saat bersamaan Nyai Indriani dan anaknya juga kebelet buang air kecil. Mampirlah mobil Kiai Iftah ke sebuah pom bensin di daerah Jatimulya, Bekasi. Dalam keadaan buru-buru karena dikejar waktu dan takut jalanan keburu semakin macet, Nyai Indriani pun langsung naik mobil, tanpa menyadari bahwa dompetnya jatuh di pom bensin tersebut.

“Uangnya, sih, tidak seberapa, tapi surat-surat penting termasuk kartu ATM rekening pesantren ada di sana,” terang Kiai Iftah.

Nyai Indriani panik karena pom bensin sudah lumayan jauh. Bingung antara putar balik ke pom bensin atau melanjutkan perjalanan. Berulang kali ia mendongak ke langit sembari komat-kamit berdoa.

“Gimana? Puter balik apa terus?” tanya Kiai Iftah ke istrinya.

Nyai Indriani mencoba menguatkan diri. Setelah menarik napas panjang ia berkata, “Sudah, terus saja.”

“Enggak apa-apa dompetnya hilang? Mengurus KTP sama ATM-nya ribet lho,” tanya Kiai Iftah meyakinkan.

“Pasrah saja,” kata Nyai Indriani, “Daripada ketinggalan ziarah sama Abah.”

“Abah” yang dimaksud Nyai Indriani adalah panggilan kesayangan—sekaligus bukti kedekatan—untuk Habib Lutfi dari murid-muridnya. Termasuk pasangan suami istri pengasuh pesantren ini.

Melihat bahwa istrinya sudah meyakinkan diri, Kiai Iftah pun tancap gas memasuki tol dan memacu ke arah Luar Batang. Sebenarnya kebingungan masih merayap juga di benak keduanya. Antara buru-buru menuju Luar Batang dengan harapan masih sempat bisa bertemu dengan Habib Luthfi, selain itu juga bingung mengingat-ingat dompet yang terjatuh di pom bensin.

Sekalipun sudah berkomitmen untuk pasrah, melepaskan atau merelakan kehilangan dompet ternyata tidak pernah semudah yang dibayangkan. Terutama bayangan mengurus surat-surat yang hilang. Pasti sangat merepotkan nanti. Itulah yang membuat mulut Nyai Indriani tak berhenti komat-komit dan pandangan seperti menerawang kosong.

“Ngapain komat-kamit terus? Tadi katanya sudah pasrah?” tanya Kiai Iftah.

“Tawasul sama Abah, Habib Husein Luar Batang, dan Habib Hasan Kramat Jati. Mohon sama Allah mudah-mudahan dompet tersebut masih rezeki,” jawab Nyai Indriani kali ini memejamkan mata.

Saat mobil akan memasuki Tol Halim, ponsel Kiai Iftah berdering. Nyai Indriani yang mengangkat telepon. Ternyata Ade Nahum, tetangga Kiai Iftah.

“Ada apa Pak Ade?” tanya Nyai Indriani.

“Ini, Bu. Ada orang nanya alamat di rumah saya. Katanya dia sekuriti di Pom Bensin Pengasinan. Dia nemu dompet, waktu dicek di dalam ada KTP atas nama ibu dengan alamat kampung sini. Ini mau dibalikin dompetnya,” jelas Ade.

Suara yang berbicara di telepon pun mendadak berubah. Sepertinya telepon sudah berpindah tangan.

“Ibu, maaf, saya Bowo. Sekuriti pom bensin. Saya tadi nemuin dompet di depan toilet. Mohon maaf saya buka untuk nyari kartu identitas. Tapi demi Tuhan saya tidak nyentuh uangnya. Saya cuma mau membantu mengembalikan ke pemiliknya,” kata suara tersebut.

Spontan Kiai Iftah dan istrinya berseru, “Alhamdulillah.” Rasanya beban hidup pagi itu dilepaskan begitu saja dari pundak mereka.

“Terima kasih banyak, Pak Bowo. Saya percaya sekali sama Bapak. Terima kasih sudah berkenan mengantar sampai ke rumah saya. Mohon maaf saya masih di perjalanan. Insya Allah kami sowan ke rumah Pak Bowo untuk menyampaikan terima kasih,” kata Nyai Indriani.

Masih dalam sambungan telepon yang sama, Ade, tetangga Kiai Iftah, menawarkan diri untuk memberi sejumlah uang kepada Bowo sebagai tanda terima kasih. Nyai Indriani pun setuju dan berkata akan menggantinya. Sayangnya, Bowo menolak dengan halus dan langsung undur diri ketika menyadari sudah mengembalikan dompet ke orang yang berhak.

Begitu Kiai Iftah sudah kembali ke kediamannya pada malam harinya, bersama Nyai Indriani keduanya langsung mencari alamat Bowo. Sosok misterius yang hanya memberikan kisi-kisi rute rumahnya. Tentu saja Kiai Iftah ingin mengucapkan terima kasih secara langsung dan memberi semacam tanda mata.

Kiai Iftah sudah menyiapkan sarung yang mungkin bisa bermanfaat untuk tarawih. Atau paling tidak cukup lumayan untuk digunakan saat salat idul fitri beberapa hari lagi. Setelah berjuang bertanya dengan orang-orang di sekitar kampung yang Bowo informasikan (Kiai Iftah memang tidak tahu nama lengkap satpam ini saat menceritakan kepada penulis) Kiai Iftah akhirnya pulang tanpa menemukan rumah Bowo.

Tidak menyerah, keesokan harinya di pagi buta Kiai Iftah langsung mendatangi pom bensin tempat Bowo bekerja. Siapa tahu di sana ada orang yang dimaksud sedang masuk kerja. Sayang, setelah bertanya ke sana-kemari ternyata hari itu Bowo tidak masuk. Meski begitu, alamat rumah yang detail bisa didapatkan sekaligus rute menuju alamat tersebut. Sayangnya, saat itu, waktu masih terlalu pagi dan di pesantren akan ada tamu penting yang berkunjung. Rencana pagi itu pun batal.

Karena kesibukan selama berhari-hari dengan rutinitas mengajar santri-santri di pesantren yang diasuhnya, Kiai Iftah pun lupa dengan urusan tersebut. Sampai tiba-tiba pada Senin pagi kemarin (19/6) rumahnya kedatangan seseorang yang tidak dikenalnya. Lelaki paruh baya yang berjalan sedikit pincang.

Di pintu rumah ia hanya berkata, “Bowo sekuriti SPBU.” Karuan saja Kiai Iftah dan istrinya senang bukan kepalang. Orang yang dicari beberapa hari ini akhirnya bisa ketemu juga.

Infografik BUrung gereja Lambang kebebasan al jugjawy

Kedatangan Bowo ke kediaman Kiai Iftah bukan untuk menagih hadiah atau semacamnya, melainkan ingin mengkonfimasi bahwa, menurut teman-temannya di SPBU, ia beberapa hari ini dicari dua orang yang menanyakan alamat rumahnya. Bowo khawatir ia telah melakukan kekeliruan dengan dompet yang dikembalikan.

Barangkali ada yang hilang di dalam dompet dan membuat si pemilik dompet marah lalu mencari-cari, bahkan sampai menanyai alamat rumah ke teman-teman kerja Bowo. Untuk itulah Bowo mendatangi kediaman Kiai Iftah karena merasa harus menjelaskan bagaimana ia bisa menemukan dompet tersebut, agar tidak terjadi salah paham

Tentu saja mendengar itu Kiai Iftah langsung menjelaskan bahwa ia mencari karena ingin menyampaikan rasa terima kasih secara langsung. Bukan karena ada yang salah. Meski begitu, jika memang hanya ingin menjelaskan perihal dompet, kenapa Bowo baru datang pagi itu ke Pesantren Fatahillah?

“Saya takut setiap mau datang ke sini, soalnya ada pesantrennya,” kata Bowo, “Saya Katolik.”

Tentu saja pernyataan ini cukup mengejutkan. Bukan mengenai Katolik-nya tentu saja, melainkan mengenai rasa takut yang diucapkan Bowo. Saat itu Bowo menjelaskan bahwa ia takut orang-orang di pesantren tidak akan menerima kedatangannya hanya karena perbedaan agama.

Kecemasan yang sebenarnya bisa dimaklumi. Mengingat beberapa peristiwa di beberapa daerah di Indonesia memang sempat sensitif soal toleransi dan intoleransi perbedaan agama.

Bagi beberapa orang, hal tersebut mungkin terlihat biasa. Tapi bagi Bowo, seorang yang bekerja sebagai satpam SPBU selama 23 tahun, hal tersebut benar-benar membuatnya tidak nyaman. Apalagi sampai harus mendatangi kediaman Kiai Iftah yang kental suasana pesantrennya. Rasanya seperti ada batas perbedaan yang membuat Bowo sungkan dan takut untuk datang berkunjung.

“Pak Bowo, kami ini sejak kecil diajari guru-guru dan pemimpin-pemimpin kami untuk mencintai saudara-saudara kami sesama manusia. Meski berbeda agama, suku, atau bangsa,” terang Kiai Iftah sambil menenangkan Bowo dan meyakinkannya bahwa ia bisa berkunjung kapanpun ia mau.

Begitu mendengarkan penjelasan Kiai Iftah, Bowo merasa lega. “Seperti mendapatkan saudara baru dengan orang-orang pesantren,” katanya. Bowo pun berjanji, suatu saat akan mengajak anak dan istrinya main-main lagi ke Pondok Pesantren Fatahillah.

Sebelum Bowo undur diri untuk kembali bekerja, Kiai Iftah mengambil beberapa barang sebagai tanda terima kasih sekaligus sarung yang sejak awal memang diniatkan akan diberikan kepada Bowo. Meskipun awalnya berharap sarung itu bisa digunakan untuk salat tarawih, tapi Kiai Iftah tetap menyerahkannya.

“Yah, paling tidak, bisa dipakai untuk selimut waktu jaga malam,” kata Kiai Iftah.

Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.

Baca juga artikel terkait DAFFY AL-JUGJAWY atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS