Menuju konten utama

Dompet Digital Cina di Perbankan Indonesia

Berbagai bank besar melakukan kerjasama dengan WeChat Pay dan Alipay.

Dompet Digital Cina di Perbankan Indonesia
Ilustrasi fintech. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pesatnya perkembangan teknologi dan semakin menjamurnya smartphone membuat transformasi digital berlangsung di berbagai lini kehidupan. Tak terkecuali layanan keuangan yang juga disebut dengan financial technology alias fintech.

Fintech sepertinya kian menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat, mulai dari pembayaran non-tunai sampai pinjam meminjam uang secara daring. Di Indonesia, payment (pembayaran), lending (pinjaman) dan capital raising merupakan jenis fintech yang paling populer.

Keberadaan fintech memang telah mengubah sebagian wajah kegiatan finansial masyarakat. Transaksi keuangan non-tunai misalnya, kini bisa dilakukan melalui dompet digital atau uang elektronik alih-alih lewat gerai ATM.

Ini seperti yang dilakukan oleh Rianti, dosen program studi Bahasa Belanda di Universitas Indonesia yang bahkan menggelar pesta pernikahan dengan menyediakan pilihan memberikan “salam tempel” melalui pembayaran elektronik. “Ada 15 akun yang melakukan transaksi digital menggunakan OVO dan DANA. Dengan begitu target kami cukup tercapai, karena sosialisasi untuk gerakan non-tunai bisa tersampaikan,” tutur Rianti kepada Tirto Januari lalu.

Di Indonesia, ada 36 perusahaan yang mendapat izin fintech berjenis payment, khususnya penerbit uang elektronik dari Bank Indonesia (BI). Otoritas moneter juga mencatat, ada 274,69 juta transaksi melalui uang elektronik dengan nominal mencapai Rp5,82 triliun yang terjadi selama Januari 2019 saja.

Transaksi menggunakan uang elektronik memang berada dalam tren pertumbuhan setidaknya selama kurun waktu lima tahun terakhir. Jika pada 2014 nominal transaksi uang elektronik hanya sebesar Rp3,32 triliun, maka pada 2018 transaksi uang elektronik di Indonesia menembus angka Rp47,2 triliun.

Bisnis pembayaran elektronik di Indonesia tidak hanya diisi oleh pemain lokal tetapi juga asing. Sebut saja platform pembayaran digital asal Cina yaitu WeChat Pay dan Alipay yang berambisi merambah pasar Indonesia. Alipay merupakan platform pembayaran elektronik yang didirikan di Hangzhou, Cina, pada Februari 2004 dan salah satu gurita bisnis Alibaba Group. Sementara WeChat Pay dimiliki oleh Tencent, perusahaan aplikasi pengiriman pesan asal Cina.

Fenomena pembayaran via ponsel yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Cina, sepertinya mulai menyebar dan masuk ke Indonesia. Hasil riset Nielsen yang terbit awal 2019 ini (PDF) menyebut tiga perempat pasar swalayan dan toko serba ada di Singapura, Malaysia, dan Thailand telah menerima pembayaran via ponsel. Sekitar 71 persen toko bebas bea dan juga toko barang mewah di negara-negara tersebut juga menggunakan metode pembayaran ini.

“Seiring dengan permintaan wisatawan Cina yang semakin personal dan canggih, meningkatkan cakupan global pembayaran mobile adalah proyek jangka panjang (bagi pedagang),” kata Presiden Nielsen Cina Andy Zhao, dilansir dari CNBC International.

Kedua platform pembayaran digital asal negeri Tirai Bambu ini merangsek ke Indonesia melalui kerjasama dengan sistem pembayaran domestik dan bank besar kelompok modal inti di atas Rp30 triliun atau BUKU IV. Dengan begitu, kerjasama WeChat Pay dan Alipay dilakukan terbatas dengan lima bank saja dan untuk transaksi pembayaran turis asal Negeri Panda.

Sebagaimana diatur dalam Peraturan BI (PBI) Nomor 19/8/PBI2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), otoritas moneter nasional memang belum memberikan izin kepada platform transaksi keuangan asing untuk beroperasi di Indonesia. Dalam salah satu pokok aturan disebutkan bahwa setiap prinsipal asing yang memproses transaksi pembayaran ritel di Indonesia harus bekerjasama dengan lembaga switching domestik yang sudah disetujui oleh bank sentral.

Salah satu bank yang tengah mematangkan kerjasama transaksi pembayaran elektronik dengan WeChat Pay dan Alipay adalah PT Bank Central Asia (BCA) Tbk. Rencananya akan bisa terlaksana pada kuartal II atau III 2019 ini.

“Alipay dan Wepay (WeChat Pay) secara teknisnya sedang kami siapkan. Tergantung kesempatan teknikal dan merchant juga perlu edukasi bagi merchant,” ujar Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, dilansir dari Kontan (1/3).

Transaksi pembayaran yang melibatkan dua platform Cina ini menurut Jahja tidak bisa langsung dilakukan secara nasional. Sebagai permulaan, transaksi ini akan bisa dilakukan di Bali dan Batam yang merupakan tujuan wisata utama turis Cina di Indonesia, pasca izin resmi dari BI terbit.

Dengan kerjasama ini, BCA menyiapkan sistem pembayaran dari dua sisi yaitu sebagai issuing dan juga acquiring. Issuing artinya BCA yang akan menerbitkan produk transaksi keuangan elektronik hasil kerjasama WeChat Pay dan juga Alipay. Sementara acquiring artinya BCA juga akan menjadi bank yang memproses seluruh transaksi keuangan elektronik tersebut.

Masih dari Kontan, Jahja menjelaskan bahwa dalam hal acquiring kerjasama dengan kedua dompet digital itu akan mendatangkan pendapatan berbasis komisi kepada BCA. “Jadi bila turis asal Cina datang ke Indonesia tidak membawa uang tunai, kartu kredit dan debit, bisa menggunakan gadget-nya baik Alipay dan WeChat Pay dan bisa melakukan transaksi di merchant kami,” jelas Jahja yang berharap kerjasama ini akan mampu menarik devisa dari transaksi pembayaran elektronik.

Mekanisme sistem pembayaran BCA dengan kedua dompet digital Cina itu akan dicatat sebagai tagihan. BCA kemudian membayar merchant sesuai nominal transaksi yang dilakukan. Setelah itu, BCA akan menagih kepada individu yang bersangkutan dan pengguna kemudian membayar ke BCA.

Selain BCA, perbankan swasta maupun BUMN Indonesia juga mengincar kerjasama dengan WeChat Pay dan Alipay. Misalnya saja CIMB Niaga yang merupakan salah satu Bank BUKU IV, tengah memproses izin kerjasama transaksi pembayaran elektronik dengan WeChat Pay.

PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk pada akhir tahun 2108 juga menyatakan bekerjasama dengan WeChat Pay dan Alipay dan bertindak sebagai acquiring dan settlement pembayaran transaksi elektronik. Dari kerjasama ini, BNI membidik transaksi sebesar Rp2 triliun selama satu tahun.

“Ada 1,5 juta turis Cina yang datang ke Indonesia. Targetnya dari angka itu, sebesar 50 persen menggunakan transaksi WeChat Pay dan Alipay melalui merchant BNI,” kata Herry Sidharta, Wakil Direktur Utama BNI.

Tak ketinggalan, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk juga telah melakukan penandatanganan memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman dengan Alipay dan pembicaraan teknis dengan WeChat Pay. “BRI dengan Alipay dalam proses kelengkapan dokumen,” tutur Sugeng, Deputi Gubernur BI kepada CNBC.

Kerjasama yang dilakukan bank plat merah dengan platform pembayaran asing sepertinya merupakan upaya melebarkan jaring meraup keuntungan. Jika kerjasama dengan Alipay dan WeChat Pay ditujukan untuk wisatawan asal Cina, maka platform LinkAja ditujukan untuk pengguna dalam negeri.

LinkAja merupakan layanan berbasis elektronik yang diluncurkan oleh tujuh BUMN yaitu BRI, BNI, BTN dan Bank Mandiri, serta Telkomsel, Pertamina dan Asurasi Jiwasraya. Izin sebagai penyelenggara uang elektronik sudah dikantongi atas nama PT Fintek Karya Nusantara (Finarya), yang merupakan perusahaan hasil bentukan tujuh BUMN tersebut.

Infografik Uang Elektronik yang diizinkan bank indonesia

Infografik Uang Elektronik yang diizinkan bank indonesia

Hadirnya LinkAja, membuat fitur pembayaran digital bank BUMN yang selama ini berjalan seperti YAP! dan Uniqku miliki BNI, e-cash milik Bank Mandiri, dan T-Bank milik BRI, akan melebur jadi satu. Masing-masing fitur tersebut tidak bisa digunakan lagi. Kehadiran LinkAja tentu tidak bisa dianggap remeh oleh pelaku pasar yang sudah ada seperti Go-Pay, OVO, DANA, dan lain sebagainya.

Sebabnya, LinkAja ditopang oleh perusahaan-perusahaan besar BUMN yang rata-rata memiliki modal kuat. Selain itu, beberapa perusahaan BUMN yang terlebih dulu telah memiliki pembayaran digital juga memiliki basis mitra kerja yang kuat. Dengan penggabungan, tentu mitra kerja LinkAja akan semakin banyak dan bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi pelanggan dan pengguna.

Sayangnya, T-Cash milik Telkomsel belum bisa bergabung dengan LinkAja. Alasannya, proses konversi aplikasi mengalami kendala teknis sehingga migrasi menjadi LinkAja mengalami penundaan.

T-cash menjadi salah satu platform transaksi pembayaran digital paling populer dengan persentase sebesar 55,52 persen dari 825 responden menurut riset Daily Social bertajuk Fintech Report 2018. Peringkat pertama masih dipegang Go-Pay dengan persentase 79,39 persen, disusul oleh OVO sebesar 58,42 persen.

Managing Director Go-Pay Budi Gandasobrata menilai hadirnya pemain baru seperti LinkAja akan mempercepat edukasi transaksi non-tunai di masyarakat. Menurutnya, “Semakin banyak pemain berarti akan semakin banyak pihak yang dapat bersama-sama mendukung akselerasi Gerakan Nasional Non-Tunai dan edukasi pentingnya transaksi non-tunai di masyarakat,” ucap Budi pada Februari lalu.

Setali tiga uang, Direktur OVO, Harianto Gunawan mengatakan kehadiran pemain baru akan membuat industri pembayaran digital di Indonesia semakin berkembang dibanding sebelumnya. “Langkah (mendirikan LinkAja) ini juga bisa menaikkan tingkat adopasi pembayaran digital, khususnya dalam mendukung gerakan non-tunai yang dicanangkan pemerintah,” ucap Harianto.

Baca juga artikel terkait E-MONEY atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Windu Jusuf