Menuju konten utama

Domino Effect Ramadan: Belanja Lebih Longgar, Ciptakan Inflasi

Hasil riset menunjukkan masyarakat berniat melipatgandakan pengeluaran pada puasa tahun ini.

Domino Effect Ramadan: Belanja Lebih Longgar, Ciptakan Inflasi
Ramadhan Kareem. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Peningkatan konsumsi kala Ramadan – bulan suci bagi umat Islam – kontradiktif dengan makna puasa; mengendalikan hawa nafsu, termasuk makan dan minum, dalam jangka waktu tertentu.

Fenomena ini ternyata tidak hanya terlihat di Indonesia, tetapi juga melanda negara lain berpenduduk mayoritas Muslim.

Hasil survei online yang digelar TGM Research menunjukkan bahwa pada Ramadan tahun ini (1444 Hijriah), mayoritas penduduk muslim (56%) berniat melipatgandakan pengeluaran.

Anggaran konsumsi diproyeksikan akan melebihi tahun-tahun sebelumnya, bahkan sekitar 20% berencana untuk mengambil pinjaman pribadi untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran pada bulan suci tersebut.

“Banyak orang sering beranggapan bahwa konsumsi makanan menurun selama bulan puasa, padahal tidak. Sebaliknya, konsumsi makanan meningkat sepanjang Ramadan karena keluarga menikmati kemenangan setelah seharian berpuasa,” petikan survei TGM Research.

Kecenderungan boros tidak hanya akan dialami Indonesia, namun juga Turki. Sebanyak 65% responden di negara tersebut berniat menambah konsumsi makan dan minum. Begitu juga dengan mayoritas responden di Pakistan, Maroko dan Arab Saudi. Tetangga kita, Malaysia, sebenarnya juga tercatat tak jauh berbeda meski persentasenya hanya 49%.

Efek Ramadan pada Konsumsi dan Harga

Perubahan kenaikan pola konsumsi sepanjang bulan Ramadan tidak hanya sebatas kebutuhan makanan pokok. Hal ini dapat dilihat dari tren kelompok konsumsi pada Ramadan tahun lalu, April 2022, di mana terdapat kenaikan pada kelompok barang elektronik, komunikasi serta pakaian.

Selain itu. berdasarkan hasil survei ritel penjualan Bank Indonesia (BI), kenaikan konsumsi golongan barang tertentu tidak hanya terjadi saat Ramadan berlangsung.

Setelah diangkatnya restriksi aktifitas sosial, sebulan sebelum puasa, terlihata kenaikan permintaan pada kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga. Kemudian, setelah Ramadan berakhir lalu Idulfitri tiba, pengeluaran konsumen cenderung bergeser ke urusan rekreasi dan sejenisnya.

Kenaikan pola konsumsi tersebut merupakan pola yang berulang hampir setiap tahunnya, dan sudah dianggap lumrah.

Lebih lanjut, sebuah studi berjudul Analisis Faktor yang Memengaruhi Perilaku Konsumsi Masyarakat di Bulan Ramadan (2019), Rizky Jean Shita menyimpulkan bahwa peningkatan konsumsi masyarakat saat puasa utamanya dipengaruhi oleh faktor internal, yakni keinginan untuk menjaga daya tahan tubuh agar tetap sehat selama selama bulan puasa.

Kemudian, apabila kenaikan pola konsumsi tersebut tidak didukung oleh ketersediaan barang yang memadai, akan berujung pada lonjakan harga.

Perlu diketahui, dalam rumus ekonomi, demand atau permintaan selalu berkaitan dengan supply atau pasokan dan begitu juga sebaliknya. Jika tidak seimbang, masalah pun muncul. Pasokan yang melebihi permintaan bisa menimbulkan deflasi. Sebaliknya, permintaan yang tak diikuti oleh pasokan bakal memicu inflasi.

Kondisi inilah yang kerap terjadi di Indonesia tatkala hari-hari besar keagamanan berlangsung. Berkaca dari Ramadan tahun lalu, inflasi melonjak 0,95% secara bulanan (mtm) dan naik 3,47% secara tahunan (yoy) pada April 2022. Konsumsi terhadap kelompok makanan, minuman dan tembakau menjadi yang paling mencolok bersama kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga.

Gejala yang sama mulai terasa pada awal Ramadan tahun ini. Berdasarkan pantauan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) pada Jumat (24/3/2023), beraneka harga barang kebutuhan sudah menunjukkan kenaikan.

Seperti beras, cabai merah, cabai rawit, bawang putih, gula pasir, telur ayam, daging sapi dan daging ayam. Harga yang terpantau turun hanya minyak goreng dan bawang merah.

Langkah Turunkan Inflasi Ramadan

Selama ini, pemerintah menggunakan bermacam strategi demi menahan kenaikan harga kebutuhan pokok selama Ramadan. Skema teranyar dirangkum dalam Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP).

Skema tersebut memiliki tujuh program unggulan, yakni operasi pasar murah, penguatan ketahanan pangan strategis, perluasan kerja sama antardaerah, dukungan untuk subsidi ongkos angkut, peningkatan pemanfaatan alat mesin pertanian (alsintan) dan sarana produksi pertanian (saprotan), penguatan infrastruktur teknologi, informasi, komunikasi, serta penguatan koordinasi dan komunikasi untuk menjaga ekspektasi inflasi.

Di samping cara-cara itu, pemerintah juga masih mengandalkan impor untuk mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok dalam negeri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan impor memang turun 13,68% (mtm) pada Februari 2023 atau sebulan jelang Ramadan. Namun khusus golongan barang pangan seperti binatang hidup, susu, mentega, telur, kopi, teh dan rempah justru meningkat.

Terlepas dari hal itu, fakta membuktikan bahwa impor tidak selalu efektif menjaga kestabilan harga pangan dalam negeri, khususnya untuk daging sapi. Harganya malah semakin meningkat seiring peningkatan volume impor dalam beberapa tahun terakhir.

Menurut pengamat ekonomi asal Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Gunawan Benjamin, sudah semestinya pemerintah menempuh pendekatan berbeda untuk meredam inflasi pada hari-hari besar keagamaan seperti Ramadan. Masyarakat harus diedukasi agar menahan demand.

Di satu sisi, peningkatan konsumsi memang berperan mengerek pertumbuhan dunia usaha dan memutar roda perekonomian. Tapi di sisi lain, berhemat bisa memperlebar peluang investasi dan tabungan.

“Jika selama ini kita selalu berupaya untuk memenuhi pasokan agar harganya bisa dikendalikan, tetapi sebenarnya ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menjaga demand supaya tidak naik. Yakni dengan mengedukasi masyarakat untuk berperilaku bijak dan hemat,” ujar Gunawan.

Peningkatan konsumsi pangan secara drastis dalam waktu singkat sulit diimbangi dengan produktivitas petani maupun peternak sehingga menyebabkan inflasi. Jika sampai memicu kenaikan bunga acuan, maka tidak mustahil angka kemiskinan bertambah. Oleh karena itu, pendekatan edukasi terhadap konsumen layak ditempuh sebagai upaya alternatif pengendalian.

“Yang menjadi pertanyaan, kenapa harus ada kenaikan? Kenapa kita tidak bisa makan dan minum dalam jumlah yang sama dengan hari biasa. Hakikatnya puasa justru memang melatih kita untuk menahan lapar,” tutup Gunawan.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas