Menuju konten utama

Dolar Kian Menguat, Kenapa Pengendalian Impor Baru Terbit Sekarang?

Sri Mulyani menyebut pemerintah fokus pada barang-barang impor yang tidak memiliki nilai tambah besar di dalam negeri, namun tercatat menggerus devisa.

Dolar Kian Menguat, Kenapa Pengendalian Impor Baru Terbit Sekarang?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kiri) bersama Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (25/7/2018). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga.

tirto.id - Kementerian Keuangan mengumumkan aturan baru terkait pengenaan PPh impor (Pasal 22) pada Rabu (5/9/2018). Regulasi ini berbentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan merupakan revisi dari PMK Nomor 34 Tahun 2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.

Dalam PMK tersebut, Kemenkeu bertujuan mengendalikan laju impor barang konsumsi yang jumlahnya ditaksir mencapai 900 komoditas. Upaya ini ditempuh guna mengendalikan laju impor di tengah defisit transaksi berjalan yang kian melebar.

“Ini karena kenaikan dari impor barang konsumsi, terutama pada Juli dan Agustus [2018], melonjaknya sangat tinggi. Lebih dari 50 persen pertumbuhannya,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Selasa (4/8/2018).

Saat ini, pemerintah memang tengah berupaya menekan defisit transaksi berjalan. Dengan kondisi nilai tukar dolar AS terhadap rupiah yang mencapai level Rp14.927 berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), Rabu (5/9/2018), maka strategi menekan defisit transaksi berjalan menjadi sangat penting.

Alasannya, defisit transaksi berjalan merupakan faktor penekan utama mata uang rupiah. Apabila pemerintah berhasil memperbaiki kondisi transaksi berjalan, rupiah pun bisa lebih bertenaga serta tidak mudah terombang-ambing karena gejolak perekonomian global yang berlangsung saat ini.

Dalam menentukan barang impor yang masuk ke dalam daftar, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim, pemerintah telah merinci dan memilah hingga akhirnya muncul 900 komoditas itu. Ia menyebutkan pemerintah fokus pada barang-barang impor yang tidak memiliki nilai tambah besar di dalam negeri, namun tercatat menggerus devisa.

“Namun kami akan terus menjaga kebutuhan devisa di dalam negeri supaya tetap bisa dipenuhi. Sehingga sektor usaha yang masih membutuhkan, terutama untuk bahan baku dan barang modal tertentu bisa dijaga,” ujar Sri Mulyani.

Bank Indonesia (BI) mendukung langkah pemerintah mengeluarkan aturan terkait kenaikan tarif PPh Pasal 22 ini. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, langkah tersebut merupakan upaya jangka pendek guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Perry menilai penerbitan PMK dapat berkontribusi terhadap defisit transaksi berjalan yang lebih rendah pada tahun depan. Kebijakan menaikkan tarif PPh impor tersebut sejalan dengan sejumlah strategi lain yang dilakukan pemerintah, seperti kebijakan biodiesel (B20), menggenjot sektor pariwisata, serta menunda pelaksanaan proyek infrastruktur yang belum financial closing.

“Kondisi defisit transaksi berjalan pada tahun depan yang lebih rendah, dipengaruhi oleh tekanan terhadap rupiah yang juga rendah. BI sendiri memperkirakan defisit transaksi berjalan tahun ini berkisar 2,5 persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto)” jelas Perry di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa kemarin.

Akan tetapi, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai penerbitan revisi PMK itu tidak akan berdampak signifikan. Persentase porsi barang konsumsi terhadap keseluruhan nilai impor Indonesia hanya tercatat 9,23 persen pada Januari-Juli 2018.

Mayoritas porsi masih terdiri dari bahan baku dan penolong sebesar 75,02 persen dan barang modal yang tercatat 15,75 persen. Dengan demikian, pengaturan kebijakan terhadap impor barang konsumsi menjadi yang paling kecil risikonya.

“Untuk impor barang konsumsi, kalau di dalam negerinya tidak ada substitusi yang mampu berdaya saing, itu malah bisa menimbulkan inflasi ke masyarakat. Sehingga justru akan menekan daya beli masyarakat,” ungkap Bhima kepada reporter Tirto, Rabu (5/9/2018).

Lebih lanjut, Bhima mengatakan keputusan untuk menaikkan tarif PPh impor itu sebagai bentuk kepanikan pemerintah. Bhima menduga tidak ada jalan pintas lain yang lebih mudah dilakukan di saat kebijakan pengendalian impor selama ini tidak pernah berjalan mulus.

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga memang cenderung terus meningkat dari kuartal ke kuartal. Pada kuartal II 2018 misalnya, besarannya mencapai 5,14 persen.

Bhima mengatakan peningkatan konsumsi rumah tangga itulah yang lantas mendorong impor barang konsumsi naik, padahal pemerintah tidak memiliki rencana pengendalian impor yang efektif. Dengan PMK Nomor 34 Tahun 2017 sekalipun, pengaturan pajak yang dikenakan tak berdampak pada biaya impor karena tarifnya masih tetap murah.

“Makanya yang paling efektif memang bukan menaikkan tarif PPh impor, tapi membangun substitusi barang-barang impor itu sendiri. Meski memang bersifat jangka panjang, namun itu lebih efektif,” ucap Bhima.

Infografik CI Dolar Perkasa Atas Rupiah

Baca juga artikel terkait NILAI RUPIAH atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz