Menuju konten utama

Dokter Gadungan: Ketuk Pintu, Main Dokter-dokteran, Minta Bayaran

Jangan kelirukan mereka dengan tenaga kesehatan sungguhan yang datang ke rumah dengan surat tugas resmi.

Dokter Gadungan: Ketuk Pintu, Main Dokter-dokteran, Minta Bayaran
Ilustrasi dokter gadungan. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pernahkah Anda didatangi seseorang yang mengaku sebagai petugas kesehatan dan meminta bayaran ke rumah-rumah?

Akun Instagram @suhedii menceritakan pengalamannya didatangi dua orang perempuan yang menawarkan pemeriksaan medis gratis. Mulanya ia tak menaruh curiga, sampai kemudian perempuan itu menulis resep yang tidak masuk akal. Hedi disarankan mengonsumsi minyak ikan dan obat-obatan herbal. Mereka juga menarik bayaran Rp65 ribu untuk dua orang.

“Lu mau bayar enggak?” rekam gambar yang diambil Suhedi memperlihatkan kemarahan si oknum. Setelah Hedi menolak, mereka pergi dengan sumpah serapah tak berkesudahan. “Dasar miskin lu!” katanya sebelum menghilang di balik tembok kamar indekos.

Kejadian itu berlangsung pada Senin, 22 Oktober di Cengkareng. Kedua perempuan datang mengitari kamar-kamar indekos, mengetuk, dan langsung mempersilahkan para penghuni melakukan cek kesehatan secara cuma-cuma. Hedi lalu diperiksa tekanan darah sambil dijelaskan jenis penyakit dan pantangan makanannya.

Namun, ada yang ganjil. Untuk paru-paru, Hedi disarankan mengonsumsi air kelapa, mengontrol kolesterol harus menghindari gorengan dan bakso, sementara guna memperbaiki penglihatan ia disarankan makan wortel dan tomat.

“Teman saya malah sampai dicek darah dari ujung jari tengah,” aku Hedi saat dihubungi Tirto.

Ia juga menunjukkan kepala surat dari resep obat yang diterima, tertulis "Healthy Care D-Max Cek up, Karawaci Tangerang". Unggahan Hedi hingga kini sudah ditonton 112 ribu akun.

Dokter Palsu sebagai Modus Penipuan

Modus penipuan serupa ternyata sudah jamak terjadi, terbukti dari banyaknya respons dengan kejadian serupa mampir di kolom komentar Hedi. Rata-rata para oknum kesehatan itu akan meminta bayaran mulai dari puluhan hingga ratusan ribu rupiah. Bahkan, ada yang mengaku membeli resep obat hingga tiga botol seharga Rp900 ribu. Padahal, setelah diperiksa, obat tersebut berisi tepung terigu semata.

Mia adalah salah satu korban yang pernah tertipu modus periksa kesehatan ini. Si penipu mulanya mengaku petugas kesehatan yang diperbantukan untuk mengontrol kesehatan warga setempat. Mia juga sempat diperiksa tekanan darah dan ditawari sejumlah tes kesehatan lainnya, namun menolak. Setelahnya ia ditagih pembayaran sebesar Rp40 ribu.

“Itu cuma buat cek tensi, untung waktu itu nggak semua anggota keluarga yang ditensi.”

Ulah para petugas kesehatan gadungan ini bukannya tak membikin efek negatif. Tes darah yang dilakukan secara sembarang dengan jarum yang tidak steril dapat menjadi media penyebaran banyak virus penyakit, termasuk virus HIV.

Sementara itu, efek pemberian obat palsu punya banyak efek negatif. Buku Countering the Problem of Falsified and Substandard Drugs menyebutkan beberapa di antaranya, yakni keracunan, penyakit yang tidak terobati, berkembang, atau malah berujung kematian, kegagalan perawatan mencakup resistensi antimikroba, dan biaya kesehatan individu membengkak.

Petugas Kesehatan Betulan Jadi Tak Dipercaya

Di sisi lain, para petugas kesehatan yang ditugaskan oleh pemerintah daerah atau Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ikut kena getahnya. Kejadian ini diceritakan Friska Amayanti sebagai kader posyandu yang pernah mendapat tugas pendampingan dokter dari dinas kesehatan. Saat harus mengumpulkan data lansia dan warga berkebutuhan khusus di Kota Tangerang, ia justru mendapat penolakan.

“Enggak dibukain pintu, dibilang mau minta duit, malah disuruh lapor RT sama RW. Sedih pokoknya.”

Friska kala itu sudah berkoordinasi dengan ketua RT, RW, dan Kelurahan setempat. Ia sudah mendapat jadwal, konfirmasi kunjungan ke warga, ditambah pengumuman melalui pengeras suara musala, tetapi warga tetap enggan diperiksa.

Padahal, cukup mudah untuk membedakan penipu dengan petugas kesehatan dari Kemenkes. Petugas resmi sudah pasti membawa surat tugas dari kementerian atau dinas kesehatan terkait. Mereka juga akan didampingi atau diberi surat keterangan dari aparat setempat. Terkadang, warga yang dikunjungi malah mendapat bingkisan secara cuma-cuma.

Infografik Dokter Abal Abal

Tak Hanya di Indonesia, di India juga Sama

Efek negatif dari praktek tenaga kesehatan gadungan sudah pernah dirasakan negara India. The New York Times mengisahkan jhola chhaap doctor yang berkeliling menawarkan layanan medis melalui suntikan. Jhola chhaap doctor ini ketahuan menggunakan jarum tidak steril. Alih-alih sehat, sebanyak 33 orang di Distrik Unnao, Uttar Pradesh, malah terjangkit HIV.

Laman BBC juga pernah mengisahkan tentang seorang pria bernama Sanjoy Mondal. Dengan hanya bermodalkan meja dan beberapa kursi plastik, ia membangun sebuah klinik kecil berdinding bata di India Timur. Namun, klinik sederhana itu telah melayani ratusan pasien sejak 15 tahun lalu.

Meski tak pernah menganyam pendidikan kedokteran, Mondal telah melakukan banyak rangkaian operasi kecil dan meresepkan obat. Ilmu medisnya didapat secara otodidak, dari pengamatan saat menjadi pembantu dokter di sebuah rumah sakit pemerintah.

Dokter-dokter gadungan ini laris dilirik oleh masyarakat karena India kekurangan tenaga kesehatan hingga dua juta dokter. Selain itu, layanan kesehatan primer yang disediakan gratis untuk masyarakat juga berjarak jauh. Akibatnya, lebih dari 60 persen masyarakat memilih mengunjungi layanan kesehatan seperti yang ditawarkan jhola chhaap doctor atau Sanjoy Mondal.

“Sulit mempertahankan dokter di daerah terpencil,” ungkap Sanghamitra Ghosh, Sekretaris Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga, Bengal Timur, India.

Akhirnya, dibanding harus berkutat pada minimnya tenaga kerja resmi dan meningkatnya dokteroid (dokter gadungan), beberapa organisasi non-pemerintah India membuat solusi dengan pemberdayaan.

Dokteroid dilatih dasar-dasar perawatan primer agar pasien tidak dirugikan oleh layanan medis mereka. Pelatihan dilakukan selama dua kali setiap minggu selama sembilan bulan. Hasil pelatihan tersebut cukup menggembirakan. BBC menyebut setelah pelatihan itu para dokteroid jadi lebih berhati-hati dalam memberikan obat dan antibiotik dan mematuhi standar pemeriksaan.

“Saya sekarang paham perbedaan antara obat aman dan obat yang tidak aman,” ucap Mondal, sebagai salah satu dokteroid yang mendapat pelatihan, seperti dikutip BBC.

Baca juga artikel terkait PENIPUAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani