Menuju konten utama

D'Lloyd, Sensor Orde Baru, dan G30S

D'Lloyd adalah band binaan Djakarta Lloyd yang sukses secara komersial pada 1970-an. "Hidup di Bui" yang dibawakan ulang D'Lloyd pernah disensor pemerintah Orde Baru.

D'Lloyd, Sensor Orde Baru, dan G30S
Ilustrasi D'Lloyd. FOTO/Spotify

tirto.id - D'Lloyd bukan band pemuja setan dan tak seperti Rhoma Irama dalam hal mengumpulkan massa. D'Lloyd adalah band pop dengan lagu-lagu berlirik menye-menye dan irama mendayu-dayu. Namun, lagu berirama Melayu mereka, "Hidup di Bui", yang dibawakan dalam album Pop Melayu 1, jadi masalah pada 1974. Lewat Direktorat Jenderal Radio, Televisi dan Film, pemerintah Orde Baru melarang lagu itu. "Hidup di Bui" sukses dipopulerkan D'Lloyd, meski bukan personel band itu yang menciptakannya.

"Penciptanya tidak ada yang tahu. No name," kata Bartje Van Houten alias Bartje, gitaris D'Lloyd yang dikenal banyak menulis lagu, seperti diakuinya kepada majalah Jakarta-Jakarta (1989).

Menurut Bartje, lagu itu sudah ada sejak dia masih bocah. Penyanyi legendaris Ellya Khadam pernah membawakannya. Personel lain, Syamsuar Hasyim alias Syam, juga tahu lagu itu sejak usia bocah.

Dulunya, sebelum dilarang, dalam lagu tersebut ada penggalan lirik: “Apalagi penjara Tangerang, masuk gemuk pulang tinggal tulang. Karena kerja secara paksa. Tua muda turun ke sawah”. Lirik itulah yang dianggap bermasalah oleh Orde Baru. Dalam video lagu ini di YouTube, bagian lirik tersebut disensor. Sementara pada versi baru yang belakangan dirilis, lirik “Apalagi penjara Tangerang“ diganti menjadi “Apalagi penjara zaman perang.”

"Hidup di Bui" yang liriknya disensor, tepat di menit 1:45.

Bagi pemerintah Orde Baru, Penjara Tangerang adalah saksi sejarah penumpasan G30S. Mereka yang dituduh PKI atau terlibat G30S mendekam di sana setelah 1965.

“Mulanya para tahanan demikian dititipkan di Penjara Tangerang yang punya tanah persawahan cukup luas, dengan harapan nantinya para tahanan itu bisa bertani. Sayang, tanah itu hanya bisa dimanfaatkan, kalau tiba musim hujan,” tulis Aco Manafe dalam Teperpu: Reveals PKI's Betrayal in 1965 and the Trial of the Perpetrators (2008: 124).

Sementara menurut Misbach Tamrin dalam Amrus Natalsya dan Bumi Tarung (2008: 150), seniman Amrus Natalsya pernah disana. “Di penjara Tangerang, Amrus dipekerjakan di sawah di bawah pengawasan tentara dibantu hansip atau Menwa (Resimen Mahasiswa).”

Lagu ini secara tidak langsung dianggap memperlihatkan borok pemerintah terkait nasib orang-orang di penjara termasuk tahanan politik (tapol) G30S—pemerintah Orde Baru menyebutnya G30S/PKI. Kebetulan lagu ini populer.

"Lagu Hidup Di Bui pernah menjadi hits single di kalangan tapol dan para tahanan umumnya, bahkan meluas di tengah-tengah masyarakat sehingga sempat dilarang," tulis Utan Parlindungan dalam Musik dan Politik: Genjer-genjer, Kuasa, dan Kontestasi Makna (2007: 69). Ketika terjadi pelarangan lagu ini, tentu saja isu G30S/PKI dimainkan.

“Hidup di Bui hendak ditiup menjadi Hantu G30S-PKI yang bergentayangan di udara Orde Baru dan para kaula negeri diperintahkannya agar ikut gentar bersama mereka! Jadi jelas sekali, "Hidup di Bui" dilarang karena Kopkamtib gentar terbayang pada curriculum vitae lagu D'Lloyd yang berhasil memasyarakat itu,” tulis salah seorang mantan tahanan politik Orde Baru bernama Hersri Setiawan dalam Aku Eks Tapol (2003: 193).

Hersri lama ditahan di Pulau Buru. Dia juga pernah dibui di Penjara Tangerang. Sebetulnya tak hanya di Penjara Tangerang, di kamp tahanan lain pun para tapol G30S dibiarkan menderita. Hersri agaknya meyakini jika pencipta lagu "Hidup di Bui" adalah tahanan politik di Penjara Tangerang—yang berstatus Rumah Tahanan Chusus (RTC). Dalam buku lain, Kamus Gestok (2003: 115), Hersri menulis: “mungkin sekali salah seorang tapol RTC Tangerang. Ada beberapa tapol yang pemusik dan pemimpin paduan suara di sana.”

Band D’Lloyd tentu dianggap pembuka mata orang-orang dari luar tembok penjara soal derita para tahanan di dalam penjara. Tak heran jika Hersri, dalam Aku Eks Tapol (hlm. 195), menulis: “Sesungguhnya ucapan terimakasih dan ungkapan rasa hormat perlu disampaikan pada Band D’Lloyd dan vokalis Syamsudin, yang telah berani menyanyikan lagu Hantu Komunis Kopkamtib: Hidup di Bui.” Tapi Hersri tidak sreg dengan versi revisi lagu itu yang mengganti frasa "Penjara Tangerang" menjadi "Penjara jaman perang".

Infografik D LLOYD

Bermula dari Perusahaan Perkapalan

Sejarah band D’Lloyd tak bisa lepas dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bernama PT Djakarta Lloyd. Nama Lloyd, menurut Hersri Setiawan, mengacu pada seorang Inggris bernama Edward Lloyd. Hassan Shadily dalam Ensiklopedia Indonesia (1980: 2031) menyebutkan, Edward Lloyd mulanya adalah seorang pemilik kedai kopi. Kedainya menjadi tempat tukar-menukar informasi pelelangan kapal dan perasuransian.

Belakangan muncul Lloyd’s Register of Shipping, sebuah organisasi yang menentukan syarat pembangunan kapal, melakukan pengawasan kapal, dan pengklasifikasian buku perkapalan. Setelah itu, nama Lloyd sering dipakai sebagai tambahan nama perusahaan pelayaran.

Menurut situs resmi PT Djakarta Lloyd, perusahaan ini "didirikan pada tahun 1950 dengan nama NV Djakarta Lloyd atas prakarsa para pejuang kemerdekaan Angkatan Laut Pangkalan IV di Tegal." Awalnya, mereka hanya mengoperasikan dua kapal uap pada 1952, SS Jakarta Raya dan SS Djatinegara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 108 tahun 1961, status Djakarta Lloyd menjadi Perusahaan Negara (PN).

“Djakarta Lloyd merupakan salah satu basis penting PKI di kalangan buruh laut dan kapal. Maka tidak aneh jika sesudah Peristiwa G30S, banyak dari buruh Djakarta Lloyd, baik yang dari tingkat masa maupun tingkat pimpinan, saya jumpai sebagai sesama tapol di RTC Salemba, Tangerang, bahkan sampai di Buru,” tutur Hersri dalam Aku Eks Tapol (hlm. 194).

Setelah 1965, tentu saja orang-orang PKI di sana dibersihkan. Radikalisme kiri tentu cukup ampuh dilawan dengan budaya pop. Tak heran jika band pop macam D'Lloyd kemudian didirikan perusahaan kapal ini.

D'Lloyd tampaknya kependekan dari Djakarta Lloyd. Band itu mulai ada sejak 1969. Band dalam instansi pemerintah sudah berkembang sejak tahun 1960-an. Kostrad, misalnya, punya Dharma Putra Kostrad yang pernah mengiringi rekaman penyanyi-penyanyi seperti Opy Sofjar, Enrico, dan Teddy. Kolonel Sofjar, perwira Kostrad dan salah satu pembesar Mandala Air, adalah pengasuh band ini.

Band D'Lloyd kemudian tembus ke dapur rekaman. Lagu ciptaan Bartje, "Titik Noda", melejitkan band ini pada 1972. Selain "Titik Noda" dan "Hidup di Bui", lagu terkenal band ini adalah "Mengapa Harus Jumpa", "Apakah Salah dan Dosaku", "Sepanjang Lorong Gelap", "Suster Maria", "Keagungan Tuhan", "Tak Mungkin", juga "Semalam di Malaysia".

Lagu-lagu mereka cukup diingat, meski pamornya di bawah Koes Plus. Di masa kejayaan D'Lloyd, pada 1974, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No: 20 Tahun 1974 tanggal 22 April 1974 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Negara, status Djakarta Lloyd menjadi Perseroan Terbatas (PT). Sekitar 2014, perusahaan ini mengalami masalah keuangan dan tak mampu membayar gaji pegawainya.

Baca juga artikel terkait BAND INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Musik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Artikel Terkait