Menuju konten utama

DKI Mulai Berlakukan Sanksi Tilang Kendaraan yang Tidak Lulus Emisi

Wajib uji emisi dan lulus memenuhi baku mutu emisi diklaim menjadi hal yang sangat penting dalam upaya memperbaiki kualitas udara di Jakarta.
 

DKI Mulai Berlakukan Sanksi Tilang Kendaraan yang Tidak Lulus Emisi
Petugas melakukan uji emisi kendaraan roda empat di Jalan Tole Iskandar, Depok, Jawa Barat, Kamis (7/10/2021). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/aww.

tirto.id -

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI mulai memberlakukan sanksi tilang kepada kendaraan motor dan mobil yang tidak lulus uji emisi di Jakarta.

Penerapan sanksi tilang yang sempat terkendala pandemi COVID-19 ini digalakkan lagi sebagai bagian langkah agresif Pemprov DKI Jakarta untuk menurunkan sumbangan emisi dari kendaraan bermotor.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto mengatakan langkah Pemprov DKI mewajibkan seluruh kendaraan bermotor yang beroperasi di Jakarta wajib uji emisi dan lulus memenuhi baku mutu emisi menjadi hal yang sangat penting dalam upaya memperbaiki kualitas udara di Ibukota.
“Mudah-mudahan upaya menciptakan udara bersih di Jakarta ini didukung oleh semua pihak,” kata Asep melalui keterangan tertulisnya, Selasa (26/10/2021).
Dirinya menjelaskan kebijakan itu berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga telah mengatur sanksi bagi kendaraan yang gas buangnya tidak memenuhi baku mutu sejak 12 tahun yang lalu.
“Sudah saatnya hukum tersebut kita tegakkan demi kepentingan bersama mewujudkan udara bersih Ibukota,” tegasnya.
Hal ini, kata Asep, sejalan dengan tuntutan Citizen Lawsuit yang dalam amar putusannya memerintahkan untuk menjatuhkan sanksi bagi sumber bergerak yaitu kendaraan bermotor yang mencemari udara atau tidak lulus uji emisi.
Asep Kuswanto mengakui tindakan penegakan hukum harusnya berjalan sejak awal tahun 2021 atau saat Pergub 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor berlaku efektif.
“Namun dikarenakan Pandemi COVID-19, penegakan hukum terhadap kendaraan bermotor yang tidak lulus uji emisi sempat ditunda,” tuturnya.
Dirinya menerangkan kegiatan hari ini merupakan kelanjutan dari sosialisasi uji emisi yang telah dilakukan sebelumnya. Nanti secara bertahap akan dilakukan penegakan hukum secara tegas berupa tilang oleh pihak Kepolisian. “Ini sebagai upaya memperbaiki kualitas udara di Jakarta,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Asep menjelaskan kendaraan bermotor menjadi salah satu penyebab meningkatnya kemacetan dan pencemaran udara di Jakarta. Peningkatan jumlah dan jenis kendaraan bermotor menyebabkan meningkatnya jumlah emisi yang dikeluarkan berupa Karbon Monoksida (CO), Hidrokarbon (HC), Nitrogen Oksida (NO), dan debu.
“Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta mengajak masyarakat pemilik kendaraan bermotor untuk turut serta menjaga kualitas udara Jakarta dengan melakukan pemeliharaan kendaraan secara rutin dan melakukan uji emisi kendaraan bermotor secara berkala,” kata Asep.
Berdasarkan penghitungan inventarisasi emisi polusi udara yang dilakukan oleh Dinas LH DKI bekerja sama dengan Vital Strategies menunjukkan, bahwa sumber polusi terbesar di Ibu Kota adalah dari sektor transportasi untuk polutan PM2.5, NOx dan CO. Sementara kontributor kedua adalah industri pengolahan terutama untuk polutan SO2.
Kajian yang dilakukan di tahun 2020 ini bertujuan untuk mengukur kontributor emisi terbesar di Jakarta sebagai landasan pembuatan kebijakan berkaitan dengan polusi udara di Jakarta. Hal ini berkaitan dengan semakin meningkatnya kegiatan perekonomian di DKI Jakarta sehingga berpotensi meningkatkan polusi udara.
Kajian yang menggunakan data tahun 2018 ini secara keseluruhan mencakup sektor transportasi, industri pengolahan, industri energi, residensial, dan konstruksi.
Temuan utama dari kajian tersebut adalah sektor transportasi yang merupakan sumber utama polusi udara, terutama untuk polutan NOx (72,40%), CO (96,36%), PM10 (57,99%), dan PM2.5 (67,03%).
Sementara itu sektor industri pengolahan menjadi sumber polusi terbesar untuk polutan SO2 (61,96%) dan merupakan kontributor terbesar kedua untuk NOx (11,49%), PM10 (33,9%), dan PMs2.5 (26,81%).
Temuan tersebut konsisten dengan beberapa kajian yang diadakan sebelumnya oleh Puji Lestari dari Insitut Teknologi Bandung (ITB) di tahun 2019 yang mengungkapkan bahwa sektor transportasi menjadi kontributor terbesar untuk polutan CO (93%), NOx (57%), dan PM2.5 (46%).

Di kajian tersebut juga diungkapkan bahwa industri pengolahan menjadi kontributor utama untuk polutan SO2 (43%) dan kontributor terbesar kedua untuk transportasi (43%).

Baca juga artikel terkait UJI EMISI atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Nur Hidayah Perwitasari