Menuju konten utama

DKI Jakarta Bukan Provinsi dengan Ketimpangan Terparah, Pak Anies

Anies Baswedan berulang kali menyatakan DKI Jakarta sebagai daerah dengan ketimpangan terparah di Indonesia. Benarkah klaim tersebut?

DKI Jakarta Bukan Provinsi dengan Ketimpangan Terparah, Pak Anies
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. FOTO/Andrey Gromico

tirto.id - Anies Baswedan blak-blakan soal ketimpangan di DKI Jakarta. Kala meresmikan Gerai Sekretariat Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Logam Elektronik dan Mesin (LEM) di Cakung, Jakarta Timur pada Selasa (26/2), Anies mengatakan ketimpangan paling ekstrem di Indonesia ada di provinsi yang dipimpinnya itu.

“Peningkatan kesejahteraan itu tidak setara tumbuhnya. Kita menyaksikan justru ketimpangan-ketimpangan yang ekstrem adanya di kota ini. Kita mencari ketimpangan paling ekstrem, ketemunya di sini,” ujar Anies.

Bukan kali pertama politikus usungan Gerindra dan PKS tersebut membuat klaim seperti itu. Pada awal Januari tahun lalu, Anies juga mengatakan hal yang sama. "Kalau kita mau lihat kemiskinan yang ekstrem, maka tidak usah jauh-jauh, datang ke Jakarta. Ingin lihat kekayaan ekstrem? Enggak usah jauh-jauh, datanglah ke Jakarta. Di sinilah yang ekstrim itu dua-duanya ada," kata Anies.

Pada Maret 2018, Anies mengklaim ketimpangan di ibu kota semakin terasa sejak maraknya pembangunan gedung, mal, hotel, dan apartemen. Menurut Anies, pembangunan semakin menunjukkan jurang lebar antara si kaya dan si miskin.

"Di Jakarta kalau kita lihat indikator-indikator ketimpangannya luar biasa. Jadi kita ingin benar-benar serius soal itu," katanya.

Anies tidak merinci jenis ketimpangan yang dimaksud. Pasalnya, yang disebut-sebut ketimpangan itu punya banyak ragam. Mulai dari ketimpangan akses air, kepemilikan lahan, pendapatan, pengeluaran, hingga akses pendidikan serta kesehatan. Anies juga tak menyebutkan sumber yang ia rujuk.

Apa betul di DKI Jakarta ketimpangan terjadi begitu "parah", "ekstrem", atau "luar biasa" sebagaimana yang dikatakan Anies Baswedan? Mari kita buka data Badan Pusat Statistik (BPS).

Kemiskinan di DKI Jakarta dan Provinsi Lain

Penduduk miskin versi BPS ialah penduduk yang rata-rata pengeluaran perkapita perbulannya di bawah garis kemiskinan. Seturut pengertian itu, jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta mencapai 373,26 ribu jiwa per September 2018.

Bila provinsi di Indonesia diurutkan berdasarkan jumlah penduduk miskinnya, DKI Jakarta menempati urutan ke-18. Jumlah penduduk miskin DKI Jakarta tidak sebanyak tetangganya, yakni Jawa Barat (3.539,4 ribu jiwa) atau Banten (668,74 ribu jiwa).

Itu baru dari segi jumlah. Ditinjau dari persentase penduduk miskinnya terhadap jumlah seluruh penduduk, kemiskinan di DKI Jakarta juga tidak separah provinsi lain. DKI Jakarta bertahan sebagai provinsi dengan persentase penduduk miskin terkecil selama sepuluh tahun terakhir. Per September 2018, persentase penduduk miskin di DKI mencapai 3,55 persen, turun dari persentase September 2017 yang mencapai 3,78 persen.

Tiga kotamadya di DKI Jakarta pun masuk 20 besar kota dan kabupaten dengan persentase penduduk miskin terkecil. Pada 2018, persentase penduduk miskin di Jakarta Selatan sebesar 2,83 persen, sedangkan di Jakarta Timur dan Jakarta Barat masing-masing 3,14 dan 3,39 persen. Wilayah dengan persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia ada di Papua, yakni Kabupaten Deiyai yang persentase penduduk miskinnya sebesar 43,49 persen.

Sementara itu, rata-rata selisih pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau yang secara resmi diukur sebagai indeks kedalaman kemiskinan di DKI Jakarta sebesar 0,5 persen per September 2018. Indeks kedalaman kemiskinan DKI Jakarta paling kecil dibanding provinsi-provinsi lain.

Sedangkan, indeks keparahan kemiskinan DKI Jakarta per September 2018 senilai 0,11 persen, juga yang paling kecil di antara provinsi lain di seluruh Indonesia.

Rasio Gini DKI Jakarta: Besar Tetapi Bukan yang Terbesar

Namun demikian, peringkat ketimpangan DKI Jakarta tidak seindah angka kemiskinan di atas.

BPS menggunakan rasio Gini yang diukur berdasarkan tingkat pengeluaran suatu rumah tangga untuk mengukur ketimpangan. Rasio Gini bernilai 0 sampai 1; 0 menunjukkan pemerataan sempurna, 1 menunjukkan ketimpangan sempurna.

Ketika Anies dilantik menjadi gubernur pada Oktober 2017, rasio Gini DKI Jakarta per September 2017 sebesar 0,409. Rasio Gini DKI Jakarta selalu di atas 0,4 selama lima tahun sebelumnya kecuali per September 2016.

Setahun pertama gubernur DKI Jakarta dijabat Joko Widodo (sekarang Presiden), rasio gini turun yang semula 0,437 per September 2012 menjadi 0,404 per September 2013. Namun, ketimpangan naik lagi menjadi 0,436 per September 2014.

Rasio Gini DKI Jakarta mengalami tren penurunan kala Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat menjabat gubernur. Per September 2015, rasio Gini DKI Jakarta sebesar 0,421. Lalu, rasio Gini menjadi 0,397 per September 2016 dan mencapai 0,409 per September 2017.

"Ketimpangan masih menjadi masalah utama di Jakarta, kita tahu masih ada ketimpangan tinggi. Kemiskinan kalau dibandingkan dengan provinsi lain memang masih menjadi tantangan. Ketimpangan menurut saya harus segera diatasi," ujar Kepala BPS Suhariyanto di kantor BPS pada hari Anies dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta, 16 Oktober 2017.

Infografik Pendapatan Per Kapita DKI Jakarta

Infografik Pendapatan Per Kapita DKI Jakarta

Meskipun besar, rasio Gini DKI Jakarta tidak pernah menjadi yang terbesar di Indonesia. Rasio Gini DKI Jakarta hanya terbesar ketiga (September 2012 dan September 2015) sepanjang 2012-2017. Sedangkan rasio Gini DKI Jakarta per September 2017 terbesar keempat setelah DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur.

Per Maret 2018, rasio Gini DKI Jakarta sebesar 0,394. Sementara per September 2018, rasio Gini provinsi yang kini tidak punya wakil gubernur itu sebesar 0,39. Capaian terakhir itu membuat DKI Jakarta menempati provinsi dengan rasio Gini terbesar ke-8 sekaligus salah satu dari sembilan provinsi dengan rasio Gini lebih besar dari rasio Gini Indonesia.

Selain BPS, sejumlah lembaga turut mengembangkan metode lain untuk mengukur kemiskinan dan ketimpangan. Oxfam, misalnya, mengukur ketimpangan di Indonesia berdasarkan nilai kekayaan yang dirilis laporan Credit Suisse.

Menurut Oxfam, harta empat orang terkaya di Indonesia mencapai $25 miliar. Angka itu mendekati kekayaan 100 juta penduduk miskin di Indonesia yang berjumlah $24 miliar. Tidak sulit menemukan konglomerat yang ber-KTP DKI Jakarta.

Namun, melihat data BPS di atas dapat disimpulkan bahwa DKI Jakarta bukan provinsi dengan ketimpangan paling parah di Indonesia. Di sisi lain, Anies tetap menyampaikan bahwa ketimpangan parah ada di DKI Jakarta, meskipun di awal kepemimpinannya ketimpangan di DKI Jakarta menurun.

Baca juga artikel terkait KETIMPANGAN atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Windu Jusuf