Menuju konten utama

Ditjen Pajak Kewalahan Periksa Wajib Pajak

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan hingga saat ini masih membutuhkan banyak tenaga pemeriksa tambahan untuk dapat melakukan pemeriksaan yang memadai bagi Wajib Pajak (WP) potensial, kata seorang pejabat Kementrian Keuangan.

Ditjen Pajak Kewalahan Periksa Wajib Pajak
Sejumlah warga melaporkan spt tahunan wajib pajak di kantor pelayanan pajak Matraman Jakarta. Tirto/Andrey Gromico

tirto.id - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan hingga saat ini masih membutuhkan banyak tenaga pemeriksa tambahan untuk dapat melakukan pemeriksaan yang memadai bagi Wajib Pajak (WP) potensial, kata seorang pejabat Kementrian Keuangan.

Seperti dikutip dari kantor berita Antara, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) Edi Slamet Rianto dalam temu media di Kuta, Bali, Kamis, (25/2/2016), mengatakan saat ini jumlah pemeriksa wajib pajak masih sangat terbatas yang menyebabkan otoritas pajak cukup kewalahan untuk memeriksa 20 juta Wajib Pajak (WP) potensial.

Edi mengatakan bahwa tenaga pemeriksa untuk memastikan kepatuhan wajib pajak saat ini masih minim karena hanya tersedia 4.500 dari estimasi kebutuhan minimal sebanyak 30 ribu hingga 40 ribu pemeriksa.

“Itu [25.500] adalah angka minimum, jika ingin konsisten pada Undang-Undang [UU Ketentuan Umum Perpajakan/KUP]," tambah Edi.

Menurut Edi, jika kebutuhan tenaga pemeriksa ini bisa terpenuhi, potensi kekurangan pembayaran dan penghindaran pajak akan berkurang secara signifikan.

Jika mengacu pada Undang-Undang KUP, kata Edi, pihaknya memiliki waktu penetapan setelah pemeriksaan kepada WP dalam 5 tahun. Namun, dengan jumlah WP potensial sebanyak 20 juta orang, pemeriksaan menjadi kurang maksimal karena rata-rata setiap tenaga pemeriksa hanya dapat memeriksa 8 hingga 10 WP.

“Itu tidak bisa semua kan. Kita fokus kepada WP yang usaha bebas dan potensial,” ujar Edi.

Di sisi lain, Edi juga mengatakan bahwa akses informasi aparatur pajak terhadap perbankan sangat diperlukan, untuk memperbarui data basis pajak dan memenuhi target penerimaan pajak.

Perluasan akses informasi pun perlu dibarengi dengan pembaharuan sistem teknologi pemeriksaan dan karakter transaksi yang dilakukan masyarakat, lanjut Edi.

“Maka itu seperti negara-negara lain, harus ada akses perbankan, dan juga peningkatan transaksi pembayaran yang non-tunai,” katanya.

Sementara itu, Pengamat pajak dari Universitas Indonesia, Darusallam, mengatakan bahwa Ditjen Pajak harus memperjuangkan revisi UU KUP untuk akses informasi perbankan untuk dapat dituntaskan tahun ini.

Darusallam juga mengingatkan bahwa revisi UU Perbankan juga perlu dipadankan dengan revisi UU KUP agar keterbukaan informasi perbankan terhadap aparatur pajak mempunyai legalitas hukum yang kuat dan saling mendukung antar sektor.

Baca juga artikel terkait DARUSALLAM atau tulisan lainnya

Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara