Menuju konten utama

Diskriminasi Berdasarkan Umur di Tempat Kerja Mempersulit Pelamar

Glorifikasi atas usia muda mempersempit peluang kerja pekerja senior.

Diskriminasi Berdasarkan Umur di Tempat Kerja Mempersulit Pelamar
Ilustrasi Ageisme. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Karier mentok karena umur sungguh bukan sekadar mitos. Sampai hari ini, para pekerja senior—karyawan berumur 40 tahun ke atas—dianggap keras kepala, arogan, terlalu berpengalaman, malas mempelajari hal baru, dan susah beradaptasi. Bagi mereka, stereotipe tersebut adalah ejekan yang bisa membuat rasa percaya diri merosot tajam, sekaligus hambatan besar mencari pekerjaan baru yang bisa menambah wawasan.

Hal itu pernah menimpa Bob Crum, 63 tahun. Dua tahun silam, pria yang telah bekerja selama 40 tahun di di Silicon Valley ini melamar pekerjaan di beberapa perusahaan IT setelah kontraknya di kantor lama berakhir. Sayangnya, usaha tersebut hanya membuatnya sakit hati.

“Mereka—tim rekrutmen—bilang kalau perusahaan memutuskan merekrut orang muda yang baru mulai berkarier karena pengalamanku sudah terlalu banyak. Itu kata-kata paling menyakitkan untuk seseorang yang sebenarnya sanggup melakukan sebuah pekerjaan," ujar Crum sebagaimana ditulis jurnalis Financial Times Hannah Kuchler dalam “Silicon Valley ageism: ‘They Were, like, wow, you use Twitter?’” yang dipublikasikan Financial Times.

Kisah serupa juga dialami pula Dale Kleber, pria 62 tahun yang pernah berprofesi sebagai pengacara. Dalam laporannya untuk Chicago Tribune, jurnalis Alexia Elejalde-Ruiz menuturkan bahwa sudah tiga tahun Kleber menganggur. Kleber selalu gagal seleksi karena perusahaan tempat ia melamar selalu mematok 3-7 tahun sebagai batas maksimum pengalaman kerja pelamar.

Kleber akhirnya naik pitam. Ia menuntut perusahaan kantor tempat ia melamar kerja dengan tuduhan telah melakukan diskriminasi terhadap calon pekerja senior. Kasus tersebut lantas diproses di pengadilan dan jaksa meminta perusahaan meninjau kembali kebijakan terkait perekrutan pekerja senior.

“Orang yang sudah punya banyak pengalaman kerja tidak akan puas bila mendapat tugas yang kurang kompleks. Ia juga bisa merasa tidak nyaman bila bekerja di bawah arahan orang yang lebih muda,” demikian yang tertera dalam pernyataan dari Becton, Dickinson and Co., perusahaan tempat Kleber melamar kerja. Pada saat bersamaan, Dickinson and Co., mengklaim memelihara budaya inklusivitas, keragaman, dan anti-diskriminasi di tempat kerja.

"Aku tidak akan melamar kerja bila tidak menginginkan pekerjaan itu. Aku rasa mereka hanya cari cara halus untuk mengganti kata ‘terlalu tua’," balas Kleber.

Kini ageisme (ageism)—istilah untuk menyebut perlakuan diskriminatif berdasarkan usia—kembali jadi wacana besar di dunia kerja sejak perusahaan-perusahaan di AS dan Eropa ramai-ramai mengklaim hendak membangun budaya inklusivitas dan keragaman di tempat kerja. Realisasi wacana itu masih jadi tantangan besar karena sebagian pekerja masih bersikap diskriminatif terhadap umur.

Sejauh ini hanya ada satu aturan resmi dari pemerintah AS tentang larangan mendiskriminasi pekerja senior. Aturan bernama Age Discrimination in Employment Act (ADEA) itu disahkan padaa 1967. Kenyataannya, ADEA lebih sering dilanggar.

Lembaga advokasi hak lansia dan pekerja senior di AS AAARP menyatakan 64% warga AS yang berusia 45-60 tahun telah menyaksikan dan mengalami diskriminasi berdasarkan usia.

“Ageisme—terutama dalam perusahaan teknologi informasi—adalah masalah yang sangat besar,” kata Laurie McCann, pengacara senior AARP.

Infografik Diskriminasi Usia

Infografik Diskriminasi Usia

Berjayanya teknologi perusahaan seperti Google dan Facebook membuat para pekerja senior makin terpojokkan. Dalam “Why Ageism Never Gets Old” yang terbit di New Yorker, jurnalis Tad Friend mengutip sejumlah kalimat arogan yang pernah terlontar dari para pendiri perusahaan rintisan (start-up).

“Orang muda memang jauh lebih pintar,” ujar Mark Zuckerberg, pendiri Facebook.

“Orang di atas usia 40 ibarat orang yang kehabisan ide baru,” kata capitalist venture Vinod Khosla.

“Para pria yang sudah jadi ayah dan punya tanggungan cicilan rumah berada di posisi yang sangat tidak menguntungkan,” kata Paul Graham, pendiri perusahaan Y Collaborator, yang menganggap usia dua puluhan sebagai masa keemasan.

Dan Lyons, penulis buku Disrupted: My Misadventure in the Start-Up Bubble (2017), menilai para pekerja industri perusahaan rintisan perlu mengenali nilai positif dari keragaman generasi dalam sebuah perusahaan. Ia juga mengharapkan agar perusahaan menghilangkan kolom tahun lulus kuliah dari formulir lamaran kerja untuk menghilangkan sikap diskriminatif.

Praktik keragaman itu mulai bisa dilihat di Inggris. Desember 2018 lalu, Financial Times melaporkan perusahaan Barclays, Boots, dan Aviva berencana meningkatkan jumlah pekerja senior sebanyak 12 persen hingga 2022.

“Pada 2022 akan ada 800.000 pekerja senior di Inggris,” kata Anne Willmot, direktur Age Campaign di lembaga agal Business in the Community.

Tenaga kerja senior di Inggris punya peran signifikan bagi perusahaan bidang asuransi terutama dalam menangani klien seusia mereka.

Di Inggris belakangan muncul lembaga-lembaga dengan misi merancang struktur organisasi perusahaan yang mampu melibatkan orang dari berbagai latar belakang. Salah satu inisiatifnya bernama Hot Spots Movement yang diprakarsai Prof Gratton, penulis 100 Year Life: Living and Work in an Age of Longevity (2017).

Upaya memerangi diskriminasi berdasarkan usia juga terjadi di Asia. Tripartite Alliance for Fair and Progressive Employment Practices (Tafep) dan Singapore Press Holdings sempat mengadakan diskusi panel dengan peserta beberapa petinggi perusahaan guna membahas kondisi pekerja senior. Hasil diskusi yang dilaporkan oleh Straits Times menyatakan bahwa selama ini para perekrut terjebak dalam konsep “lazy recruitting” sehingga enggan merekrut pekerja senior lantaran dianggap ‘mahal’ dan terlalu ahli.

“Mereka bahkan enggan memanggil para pelamar kerja berusia 40 tahun ke atas untuk wawancara,” tulis Straits Times.

Kepala Bagian Solusi Pemasaran LinkedIn Asia Pacific Olivier Legrand berkata, “Kita sudah harus mampu melihat seseorang dari keahlian dan pengalaman.”

Diskriminasi terhadap usia juga bukan praktik langka di Indonesia. Ethenia Novianty Windaningrum, lulusan master dari Aarhus University, menyatakan bahwa praktik tersebut nampak pada iklan lowongan pekerjaan yang mencantumkan batasan usia bagi calon pelamar.

"Menyesakkan rasanya saat mengetahui lamaran pekerjaan yang diajukan salah satu temanku ditolak hanya karena usianya melebihi persyaratan. Banyak orang di Indonesia yang berpikir telah kehilangan kesempatan untuk meningkatkan karier karena umur sehingga terpaksa ada di tempat kerja yang sesungguhnya membosankan," tulis Ethenia dalam opininya di The Jakarta Post.

Perlakuan tidak menyenangkan itu sempat dialami Tenik Hartono, 49 tahun, pemimpin komunitas di salah satu perusahaan rintisan. Ia baru bergabung di perusahaan tersebut selama beberapa bulan dan langsung membawahi sebuah divisi baru. Anak-anak buahnya berusia kepala dua.

"Mereka tidak mau mendengar masukan dari saya dan tetap bekerja sesuai dengan pemahamannya sendiri. Padahal, saya sudah bergelut di bidang tersebut selama 15 tahun dan terbukti punya hasil efektif. Selain itu, para milenial ini kerap bersikap kurang sopan bila diajak berinteraksi," tuturnya kepada Tirto (18/2). Bagi Tenik, perlakuan itu cukup membuat dirinya merasa tidak nyaman di kantor.

Mengapa Membenci Orang Tua?

Dalam “Ageism’s Impact and Effect on Society: Not Just a Concern for the Old” yang diterbitkan Journal of Gerontological Social Work (2000), Elizabeth Kelchner mengemukakan beberapa penyebab perilaku diskriminatif terhadap umur. Salah satunya adalah fakta bahwa orang lebih suka berinteraksi dengan orang lain yang mampu memberi nilai lebih bagi mereka. Nilai tersebut bisa berupa uang, informasi, keahlian, rasa hormat, persetujuan, dan pujian.

“Orang yang sudah tua dianggap tak punya informasi baru, keahlian dan keterampilan yang mulai berkurang, dan fisik yang lemah sehingga interaksi dengan mereka tidak dianggap sebagai hal yang tidak membawa nilai lebih,” Kelchner.

Di samping itu, budaya populer juga punya andil dalam membangun persepsi diskriminatif terhadap umur. Artijel Tad Friend “Why Ageism Never Gets Old” menunjuk serial televisi populer The Simpson yang menampilkan sosok Homer (suami dan bapak dalam keluarga Simpson) sebagai pria tua yang pikun, ceroboh, bahan guyonan, dan dianggap pantas tinggal di panti werdha karena bicaranya mulai tidak jelas.

Gambaran negatif tentang orang di atas 40 tahun juga nampak dalam Younger. Serial televisi itu mengisahkan Liza, wanita 40 tahun yang harus mengubah penampilannya agar nampak seperti wanita usia kepala dua agar bisa diterima di lingkungan kerja. Hollywood sendiri punya masalah dengan pekerja senior, khususnya di kalangan aktor.

“Salah satu hal terburuk di Hollywood adalah [menjadi] tua,” ujar aktris Kathy Bates kepada Friend.

Baca juga artikel terkait DISKRIMINASI atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf