Menuju konten utama
Dwi Wahyu Daryoto

Dirut Jakpro: "LRT Enggak Mungkin Digratiskan"

Jakpro sebagai BUMN yang ditugasi banyak menangani proyek strategis program Gubernur DKI Anies Baswedan. Apa saja tantangannya?

Dirut Jakpro:
Ilustrasi Dwi Wahyu Daryoto. tirto.id/Sabit

tirto.id - Dwi Wahyu Daryoto belum genap setahun menjabat Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (Jakpor), BUMD yang tengah memegang banyak proyek strategis milik Pemprov DKI Jakarta antara lain transportasi umum Light Rail Transit (LRT) Jakarta hingga proyek andalan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, DP nol rupiah.

Dwi bukanlah orang baru di dunia korporasi besar, selain pernah menjabat direktur PT Pertamina, ia juga pernah mengenyam pengalaman di perusahaan auditor Price Waterhouse Coopers (PWC). Anies tentu tak mau gegabah menempatkan orang di posisi penting seperti Jakpro, apalagi berkaitan dengan program janji kampanyenya.

Apalagi proyek-proyek yang digarap Jakpro punya tantangan tersendiri. LRT Jakarta misalnya, pembangunannya memang sudah rampung tapi tak bisa selesai saat perhelatan Asian Games September 2018 lalu. LRT kini dihadapkan dengan persoalan penentuan tarif. Ihwal penentuan tarif juga bukan perkara mudah. Seharusnya pembahasan tarif LRT dilakukan antara DPRD DKI dan Pemerintah Provinsi Jakarta, tetapi belum terlaksana.

Selain itu, LRT juga dicanangkan untuk menjadi bagian dari transit-oriented development atau TOD, sebuah kawasan terintegrasi antara hunian dengan jaringan transportasi. LRT juga punya tantangan bisa diintegrasikan dengan proyek Pemprov DKI lainnya, DP nol rupiah.

Untuk mengorek segala persoalan yang dihadapi Jakpro menggarap proyek strategis DKI Jakarta, reporter Tirto Fadiyah, Dieqy Hasbi, dan Dea Chadiza mewawancarai Dwi di kantor Jakpro, Thamrin City, Jakarta, Selasa (26/2/2019).

Apakah LRT sudah pasti akan beroperasi Maret ini?

Ya, pertengahan Maret-lah. Sebenarnya, sebelum MRT.

Persoalan tarif belum dibahas antara Pemprov DKI dengan DPRD, apakah target operasi LRT juga mundur?

Enggak. Harusnya enggak. Karena kalau dari segi harga, MRT pun harus disetujui (tarifnya). Memang MRT [akan] mundur lagi? Kan enggak mungkin. Benar enggak?

Tarif MRT juga belum disetujui, kalian tahu enggak itu? Jadi enggak mungkin mundur lagi kan.

Proses di DPR mudah-mudahan bisa tercapai, itu intinya. Nah, misal pun enggak dicapai, pasti itu kebijakan diskresi Pak gubernur sebagai pimpinan. Misalnya dia menggratiskan dulu, kan boleh. Jadi jangan menghubungkan antara tarif dengan ini (pembahasan dengan DPRD).

LRT, kenapa molor dari Asian Games, kendalanya apa?

Enggak gampang. Menurut saya, satu, enggak ada statement apa pun secara formal bahwa itu target selesai pada Asian Games untuk operasional. Kedua, dari izin-izinnya, dan itu enggak gampang.

Berapa ribu jam baru keluar izin untuk trial-nya, terus safety-nya itu harus dicek. Izin itu keluar, trial and error-nya, itu berapa jam, sebelum sertifikat itu keluar. Terus penentuan tarifnya. Itu yang harus kita persiapkan dan kita saling berkoordinasi, bukan saling menghambat, enggak ada yang saling menghambat. Memang prosesnya saja seperti itu.

Lalu tarifnya, sekarang kerjasamanya apa, mau BTO [build, transfer, operate] atau BOT [build, operate, transfer]? Belum ditentukan juga.

Tarif, belum ditentukan, gimana nanti? Ya tentunya ada diskresi kan, mungkin Pak Gubernur [mengatakan] oke, tetap jalan, izinnya sudah ada, semua sudah terpenuhi, ya mungkin gratis, sebulan gratis, bisa.

Kalau gratis, biaya operasionalnya dari mana?

Ya pertama mungkin Jakpro, tapi dari Jakpro kemudian di-claim ke pemerintah (Pemprov DKI) kan bisa saja. Apakah ditagih nanti, apakah dianggap sebagai CSR-nya Jakpro. Kan bisa saja, memangnya enggak boleh, Gubernur Anies (Pemprov DKI Jakarta) ini sebagai pemegang saham, memegang kenikmatan kepada rakyatnya.

Jangan dipikir utang dululah, nanti mekanismenya. Dibayar pemerintah nantinya, atau di-absorb ke Jakpro sebagai CSR-nya Jakpro, bisa saja. Atau di-absorb sebagai biaya uji coba, itu juga bisa. Yang jelas sekarang kan bentuknya yang jelas dulu, BTO atau BOT.

Ada perdebatan juga terkait tarif dari pihak DPRD, ada yang bilang lebih baik engak perlu disubsidi, ada juga yang bilang lebih baik digratiskan, apa tanggapan Anda?

Saya enggak akan menjawab perdebatan di sisi sana, itu urusan mereka. Tapi kalau pikiran dari saya sebagai korporasi, yang bergerak dalam mencari profit dan agent of development yang non-profit, saya pikir enggak mungkin digratiskan.

Alasannya, Pertama, subsidi pemerintah akan terlalu besar. Bukan subsidi istilahnya, tapi PSO (Publis Service Obligation), karena yang naik MRT dan LRT itu semua kalangan, yang miskin maupun yang kaya. Kedua, enggak akan mendidik masyarakat untuk merasa memiliki. Kalau bayar, masyarakat ada rasa memiliki. Bisa saja enggak ikut menjaga, enggak ada rasa kalau dia juga membayar ke pemerintah. Ketiga, kalau benchmark, enggak mungkin ada kendaraan atau public transportation yang gratis.

LRT akan ramah terhadap disabilitas, apakah dalam proses pembuatan infrastruktur melibatkan penyandang disabilitas?

Ada, pada waktu uji coba memang kami undang. Jadi waktu uji coba, mereka juga memberikan masukan. Kalau tempat lain [transportasi lain] belum, gini loh, perubahan perbaikan itu kan perlu proses. Dengan berjalannya waktu, pasti kan ada orang yang kasih masukan-masukan untuk perbaikan secara berkelanjutan.

Bagaimana dengan rencana konsep TOD di jalur LRT?

Jadi begini loh, konsep TOD itu akan di-review dengan Kementerian Perhubungan, LRT, MRT, TransJakarta, itu nanti akan dikembangkan secara integrasi. Enggak semua stasiun, enggak semua depo itu bisa menjadi TOD. Perlu di-review dulu apakah komunitasnya itu ada. Misalnya, Stasiun Velodrome. Enggak mungkin Velodrome itu dijadiin kawasan TOD. Kelapa Gading mungkin. Jadi itu, Manggarai mungkin, Tanah Abang mungkin, Dukuh Atas mungkin, tapi stasiun di antara mereka, apakah TOD? Belum tentu.

Jadi TOD itu adalah konsepnya bagaimana memaksimalkan suatu area menjadi kawasan bisnis, sehingga mengubah tata area, termasuk akan membangun suatu pertumbuhan ekonomi yang bagus gitu. Itu namanya konsep TOD.

Terkait dengan rencana TOD integritasi dengan hunian program DP 0 Rupiah?

Konsep TOD ini akan di-survey, daerah-daerah mana TOD pure benar-benar TOD untuk bisnis. Mungkin di-mix dengan DP 0 rupiah. Dan DP 0 rupiah ini punya image yang salah di masyarakat. DP 0 rupiah tuh bukan hanya orang miskin, bukan orang miskin menurut saya. Kita menyebutnya rumah yang terjangkau. Yang ditujukan adalah orang-orang yang bisa mencukupi kebutuhan dengan gaji, tapi dia enggak sempat menabung.

Jadi hunian program DP 0 Rupiah akan ada akses LRT?

Tergantung lokasinya. Sudah saya sampaikan di Banggar [Badan Anggaran], tapi kan belum disetujui DPRD DKI Jakarta. Itu ada empat tower untuk komersial, dua tower untuk DP 0 rupiah. Yang tower komersial, bisa saya undang investor. Tapi yang DP 0 rupiah kan enggak bisa. Itu harus aksi dari pemerintah.

Nah, sekarang ada sebagian anggota DPR yang menganggap kalau DP 0 bagus, dan yang menganggap enggak. Kalau saya sih bilang bagus, saya sudah benchmarking.

Kelanjutannya bagaimana setelah tidak disetujui DPRD?

Kelanjutannya ya tetap jadi, kita ajukan terus, sampai disetujui.

Ada kemungkinan bisa jalan tahun ini atau groundbreaking?

Bisa saja, enggak ada masalah.

Apakah tetap nunggu disetujui [dari DPRD]?

Jelas. Yang jelas sekarang kita, DP 0 rupiah, tahun 2019 disetujui anggarannya Rp100 miliar, dan itu buat pengadaan tanah saja.

Dari Rp 500-an [Rp 531,5] miliar yang diajukan?

Iya. Ya untuk lahannya dulu. Kita cari lahannya dulu, tapi bukan di Kelapa Gading, karena kalau di Kelapa Gading kan sudah ada.

Baca juga artikel terkait PROYEK LRT atau tulisan lainnya

tirto.id - Mild report
Reporter: Fadiyah Alaidrus, Dieqy Hasbi Widhana & Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra