Menuju konten utama

Dinasti Kekuasaan yang Bermasalah

Selain kisah tentang pemimpin daerah yang berhasil, Pilkada masih dibayangi dinasti keluarga. Kerapkali mereka ini doyan makan duit negara.

Dinasti Kekuasaan yang Bermasalah
Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Antara foto/reno esnir

tirto.id - Atty Suharti membulatkan niat mencalonkan kembali sebagai wali kota Cimahi pada pemilihan kepala daerah serentak tahun 2017. Ia berpasangan dengan Achmad Zulkarnain (Azul), politisi dari Partai Keadilan Sejahtera, dan keduanya diusung oleh koalisi Partai Golkar, PKS, dan Partai Nasdem.

Sejumlah pengamat politik menilai, dibandingkan dua kandidat pasangan lain, Atty-Azul punya popularitas mumpuni, sehingga punya kans menang lebih besar. Namun, mimpi Atty itu harus dikubur dalam-dalam. Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkannya sebagai tersangka atas kasus dugaan korupsi.

Ia dan suaminya, M. Itoch Tohija, wali kota Cimahi 2002-2012, ditangkap KPK karena dugaan menerima suap terkait pembangunan pasar tahap kedua senilai Rp57 miliar.

Kasus dugaan korupsi pasangan suami-istri ini sekaligus menambah daftar negatif dinasti kekuasaan yang bermasalah dan menjadi pesakitan KPK. Sebelumnya, September 2016, komisi antirasuah telah menangkap Yan Anton Ferdian, bupati Banyuasin (Sumatra Selatan).

Yan Anton adalah putra Amiruddin Inoed, bupati Banyuasin sebelumnya yang menjabat dua periode (2002-2013). Dia diduga menerima suap model ijon dari pengusaha rekanan Disdik Banyuasin. Anggaran proyek itu baru terlaksana tahun 2017, tapi Yan Anton sudah mengambil lebih dulu bayaran untuk dirinya. Dalam operasi tangkap tangan, KPK menyita uang Rp300 juta dan 11 ribu dolar AS.

Ditarik ke belakang, pada 2013, KPK menetapkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka kasus suap sengketa pemilihan kepala daerah Lebak. Ia divonis 4 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta pada September 2014. Bahkan Mahkamah Agung menambah hukuman Atut jadi 7 tahun dalam putusan kasasi yang diajukannya pada Februari 2015.

Selain tiga contoh di atas, masih banyak dinasti politik atau kekuasaan yang terlibat skandal korupsi. Misalnya, Fuad Amin Imron di Bangkalan, Madura. Setelah menjabat bupati dua periode (2003-2013), ia mewariskan jabatan itu kepada anaknya, Makmun Ibnu Fuad. Sementara, usai kelar sebagai bupati, Fuad Amin menjabat ketua DPRD Bangkalan sebelum kemudian ditangkap KPK.

Kasus lain yang tak kalah menghebohkan adalah dinasti kekuasaan di Indramayu, Jawa Barat. Sepanjang 2015 hingga 2016, publik dihebohkan kasus korupsi yang menjerat Irianto M.S Syafiuddin alias Yance, politisi Partai Golkar, yang menjabat Bupati Indramayu selama dua periode (2000-2010). Dia akhirnya divonis 4 tahun penjara dengan denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan setelah Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Jaksa Penuntut Umum. Seperti diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Bandung sempat menjatuhkan vonis bebas terhadap Yance. Ia dinilai tak bersalah dari dakwaan penggelembungan ganti rugi tanah proyek pembangkit listrik tenaga uap di Sumuradem, Indramayu, Jawa Barat. Bahkan, dalam kasus ini, pihak Yance menghadirkan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai saksi.

Tak hanya Yance, kini istrinya, Anna Sophana yang juga menjabat bupati Indramayu, disebut-sebut terlibat dalam kasus gratifikasi dan pencucian uang yang menjerat Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rohadi. Anna diduga menerima satu unit mobil Pajero Sport dari Rohadi. Ia telah dimintai keterangan oleh penyidik KPK terkait kasus ini.

Dinasti Kekuasaan Masif

Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan mengatakan, praktik politik dinasti ini cukup masif di beberapa daerah. Bahkan, data Kemendagri tahun 2015 menunjukkan, ada sekitar 61 kepala daerah dari dinasti politik atau dinasti kekuasaan ini.

Dalam konteks ini, politik dinasti diartikan kekuasaan politik yang dijalankan sekelompok orang yang masih dalam hubungan keluarga, baik karena garis keturunan, hubungan darah, atau karena ada ikatan perkawinan.

Dinasti kekuasaan bentuknya bisa bermacam-macam. Misalnya, dinasti politik Ratu Atut Chosiyah di Banten. Ketika Atut menjabat gubernur, beberapa kerabatnya menduduki sejumlah posisi strategis di instansi pemerintahan. Sebut saja Ratu Tatu Chasanah, saudara Atut, yang menjabat Wakil Bupati Serang (2010-2015) dan Bupati Serang (2016-2021). Selain itu, Airin Rachmi Diany, ipar Atut, menjabat Wali Kota Tangerang Selatan (2011-2021).

Praktik dinasti kekuasaan lain adalah jabatan kepala daerah yang terkesan diwariskan secara turun-temurun, baik dari bapak ke anak seperti terjadi di Bangkalan dan Banyuasin, maupun dari suami ke istri seperti di Cimahi dan Indramayu.

Pertanyaannya, mengapa dinasti kekuasaan atau dinasti politik ini masif?

INFOGRAFIK Dinasti Kekuasaan yang Bermasalah

Esty Ekawati, dalam artikel “Dilema Politik Dinasti Indonesia” dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menekankan bahwa masifnya dinasti politik adalah “konsekuensi logis” dari otonomi daerah yang menuntut demokratisasi lokal.

Dalam konteks ini, pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi tolak ukur kemajuan demokrasi suatu negara. Namun, di balik tujuan mulia itu, tersirat kondisi yang justru sebaliknya: oligarki yang menjadi musuh demokrasi. Kekuasaan cuma dipegang segelintir orang dan dipakai untuk keuntungan kelompoknya.

Demi mewujudkan demokratisasi lokal, maka pemilihan kepala daerah langsung diupayakan. Sistem ini dianggap lebih demokrastis karena memberi kesempatan lebih luas kepada masyarakat untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Masyarakat juga bisa berpartisipasi langsung untuk memilih calon yang diinginkannya.

Namun, sejak Pilkada langsung digelar Juni 2005, sejumlah permasalahan selalu muncul, dari konflik antar-pendukung kandidat, masifnya praktik politik uang, hingga dinasti politik yang jadi tren umum di pelbagai daerah Indonesia.

Menariknya, dari tiga contoh dinasti kekuasaan seperti Banten, Cimahi, dan Banyuasin, ketiganya adalah daerah pemekaran. Kota Cimahi dan Kabupaten Banyuasin bahkan tak pernah lepas dari dinasti satu keluarga sejak jadi daerah otonom (2002-2016). Cimahi dikuasai suami-istri, M Itoc Tochija dan Atty Suharti; sementara Banyuasin di bawah kekuasaan bapak-anak, Amiruddin Inoed dan Yan Anton Ferdian.

Ironisnya, para kepala daerah yang menggunakan kekuatan politik dinasti ini cenderung korup. Mereka kerap menyelewengkan amanah jabatan, dan sekalipun sudah lengser, mereka masih bisa menyetir pemerintahan karena penerusnya dari kalangan keluarga sendiri.

Menentang dinasti politik

Kepelikan dinasti politik, alih-alih membuka kanal demokrasi lebih terbuka, sempat menuai pro dan kontra. Bagi kelompok kontra, mereka setuju ketentuan dalam Pasal 7 UU 8 tahun 2015 tentang Pilkada yang membatasi munculnya politik dinasti ini. Namun, bagi sebagian lain, justru pembatasan macam itu dinilai melanggar konstitusi sehingga mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Seperti diketahui, Pasal 7 itu memberikan beberapa batasan definisi pada frasa ‘tidak memiliki konflik kepentingan’, antara lain, tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana (ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu). Akan tetapi, pasal ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap tidak konstitusional.

Hakim konstitusi berpendapat, idealnya dalam demokrasi adalah pelibatan sebanyak mungkin rakyat untuk turut dalam proses politik. Meski pembatasan dibutuhkan demi menjamin pemegang jabatan publik memenuhi kapasitas dan kapabilitas, tapi ia tidak boleh membatasi hak konstitusional warga negara.

Karena itu, demi meminimalisir dampak negatif dari dinasti kekuasaan, perlu terobosan baru, seperti pengawasan dan kesadaran masyarakat dalam memilih calon kepala daerah. Ketua KPK Agus Agus Rahardjo telah mewanti-wanti dan mengingatkan masyarakat lebih berhati-hati dalam memilih calon pemimpin dari dinasti politik. Pengalaman KPK menunjukkan bahwa seringkali generasi penerus dari dinasti itu dikendalikan oleh orang yang sebelumnya memerintah.

Sulit, memang, tetapi mungkin. Apalagi ada sejumlah kepala daerah yang berhasil, yang lahir bukan dari dinasti politik, dan mampu menjawab tantangan-tangan publik. Kepada contoh terakhir ini, mereka telah dan sedang menjalankan harapan masyarakat sebagai pemimpin yang amanah, berintegritas, dan mampu memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan diri sendiri maupun keluarganya.

Baca juga artikel terkait ATTY SUHARTI atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Zen RS