Menuju konten utama

Dilema Pemerintah Cabut Kompensasi PLN saat Pandemi COVID-19

Pencabutan kompensasi PLN berimbas pada tarif listrik akan mengikuti gejolak nilai tukar dan harga komoditas batu bara.

Dilema Pemerintah Cabut Kompensasi PLN saat Pandemi COVID-19
Petugas memeriksa meteran listrik di Rumah Susun Benhil, Jakarta, Selasa (26/11/2019). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/nz

tirto.id - Wacana pencabutan kebijakan kompensasi bagi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) atas penentuan tarif listrik kembali mencuat. Hal itu muncul bersamaan dengan keuangan negara yang semakin cekak karena membiayai penanganan pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi saat penerimaan pajak seret.

Peniadaan kompensasi memiliki konsekuensi PLN kembali menjalankan kebijakan tariff adjustment atau penyesuaian tarif. Imbasnya, tarif listrik akan mengikuti gejolak nilai tukar dan harga komoditas batu bara. Jika harga komoditas turun dan nilai tukar menguat, tarif listrik bisa lebih murah. Sebaliknya, tarif listrik akan lebih mahal saat harga komoditas naik atau nilai tukar melemah.

Kebijakan ini berbeda dengan subsidi atau diskon tarif listrik. Pasalnya subsidi listrik diarahkan khusus bagi penerima yang terdaftar sebagai masyarakat miskin, sedangkan kompensasi dirasakan oleh seluruh pelanggan PLN.

Dalam rapat pemerintah bersama Badan Anggaran DPR RI, Jumat (7/4/2021) lalu, wacana ini dibahas bersamaan dengan rencana memperbaiki penerima manfaat subsidi listrik. Intinya, pemerintah ingin setiap anggaran yang dikucurkan dengan tepat sasaran sehingga tidak terlalu membebani keuangan negara.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan nilai kompensasi yang harus digelontorkan pemerintah buat PLN terus membengkak dari hanya Rp7,5 triliun (2017), ke Rp23,2 triliun (2018), Rp22,3 triliun (2019) dan Rp17,9 triliun (2020).

Alasan untuk mencabut kompensasi semakin kuat lantaran pada 2020, penerima kompensasi didominasi 82,6 persen oleh industri besar dan rumah tangga mampu yang masing-masing Rp8,3 triliun dan Rp6,5 triliun. Sisanya diterima oleh pemerintah, layanan khusus, dan golongan bawah.

“Jadi ke depan harus dibuat lebih jelas kebijakan dan pelaksanaannya,” ucap Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu dalam rapat di Banggar DPR.

Wacana pemberlakuan penyesuaian tarif ini bukan pertama kali mengemuka. Pertengahan 2019 alias sebelum pandemi, pemerintah sempat mewacanakan penyesuaian tarif diterapkan pada 2020, meski akhirnya menguap dengan alasan mempertahankan daya beli masyarakat.

Keuangan PLN dan Beban Negara

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services and Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai pemberlakuan tariff adjustment ini dapat memperbaiki keuangan PLN. Keuangan yang baik tentu dapat berdampak pada peningkatan layanan dan perawatan termasuk melanjutkan investasi di ketenagalistrikan.

Beban Negara, menurut Fabby, akan lebih ringan lantaran tak perlu membuat pos baru di luar subsidi yang sudah diberikan pemerintah kepada masyarakat miskin. Ia mengingatkan kebijakan kompensasi secara tak langsung membatasi kemampuan fiskal pemerintah karena harus membayar kekurangan penerimaan PLN.

Belum lagi, lanjut Fabby, beban pemerintah semakin menjadi-jadi karena membagi fokus anggaran demi penanganan COVID-19 dan menggenjot pemulihan ekonomi. Apabila pemerintah ingin menerapkan penyesuaian tarif listrik, dia menilai saat ini merupakan momen yang tepat.

Di sisi lain, selama penerapannya kebijakan kompensasi lebih banyak membebani PLN. Fabby mencontohkan pembayaran kompensasi yang harus menunggu dulu penganggaran di tahun berikutnya sehingga PLN harus menalangi kerugian di tahun berjalan.

Pembayaran kompensasi pun tak pernah mulus lantaran pemerintah kerap menunggak. Hingga Kamis (25/6/2020) lalu, PLN mencatat pemerintah memiliki utang senilai Rp45 triliun terdiri dari kompensasi pada 2018 senilai Rp23,17 triliun dan 2019 senilai Rp22,25 triliun.

“Ini fair buat pemerintah dan PLN. PLN bisa tingkatkan layanan, pemerintah punya ruang fiskal lebih untuk pemulihan pasca-COVID-19,” ucap Fabby kepada reporter Tirto, Jumat (16/4/2021).

Meski menilai kompensasi PLN sebaiknya dicabut, Fabby ragu pemerintah mau mengambil keputusan tersebut. Ia beralasan pemerintahan Presiden Joko Widodo bersikap populis dalam kebijakan ini.

Dia mencontohkan pada 2018, pemerintah tak lagi mengizinkan PLN menyesuaikan tarif sehingga tak ada fluktuasi harga listrik jelang Pemilu 2019.

Kebijakan itu berimbas pada masyarakat yang sudah terbiasa bahkan senang dengan tarif listrik yang terus-menerus dikompensasi. Fabby mengatakan pemerintah punya PR besar untuk meyakinkan masyarakat terkait pencabutan kompensasi bagi PLN.

“Itu pilihan sulit, dilematis tapi tetap harus diambil, tinggal bagaimana mengkomunikasinya ke masyarakat,” ucap Fabby.

Dampak Penyesuaian Tarif PLN

Menanggapi itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai pencabutan kompensasi bagi PLN akan berdampak pada bertambahnya beban masyarakat dan menggerus daya beli. Apalagi saat ini seluruh lapisan masyarakat terdampak pandemi COVID-19.

Tauhid menyarankan agar masyarakat miskin seperti golongan 450 VA dan 900 VA tidak menjadi sasaran penyesuaian tarif listrik untuk sementara waktu.

“Untuk beberapa kelompok perlu dipertahankan. Tapi beberapa kelompok masyarakat yang kaya memang harus dicabut kompensasinya,” ucap Tauhid kepada reporter Tirto, Jumat (16/4/2021).

Tauhid juga meminta pemerintah berhati-hati sebelum menentukan masyarakat mana yang akan menjadi sasaran penyesuaian tarif listrik. Pasalnya pemerintah memiliki rekam jejak yang lamban dalam memperbarui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Belum lagi, lanjut Tauhid, banyak masyarakat mengalami penurunan kelas menjadi miskin atau hampir miskin akibat pandemi virus Corona.

Menanggapi itu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengklaim telah membuat skenario pencabutan kompensasi bagi PLN.

Pemerintah membuka peluang kompensasi tidak dicabut bagi sebagian golongan. Rida memastikan dampak penyesuaian tarif bagi tagihan listrik per bulannya tak terlampau besar.

Rida mencontohkan rumah tangga (RT) 900 VA hanya mengalami kenaikan tagihan Rp18.000/bulan, RT 1.300 VA naik Rp10.800/bulan, RT golongan 3.500 VA-5.500 VA hanya naik Rp31.000/bulan serta konsumen industri besar 30.000 kVA ke atas seperti pabrik semen, makanan, dan lainnya mengalami kenaikan Rp2,9 miliar/bulan.

“Itu yang kami sampaikan apakah ini akan sekaligus dinaikkan atau targeted hanya beberapa kalangan saja, atau akan dinaikkan disesuaikan sekaligus bertahap,” ucap Rida dalam rapat bersama Banggar DPR.

Baca juga artikel terkait KOMPENSASI PLN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah
Editor: Gilang Ramadhan