Menuju konten utama
Round Up

Dilema Larangan Ekspor CPO & Produk Turunannya

Larangan ekspor CPO dan produk turunan sebaiknya memperhatikan 3 hal: Petani sawit, sektor dunia usaha, dan neraca keuangan negara.

Dilema Larangan Ekspor CPO & Produk Turunannya
Pekerja menurunkan Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari dalam truk pengangkutan di tempat penampungan Desa Leuhan, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh, Rabu (14/10/2020). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc.

tirto.id - “Larangan ekspor CPO ini menimbulkan drama perdebatan dalam seminggu terakhir, karena beberapa perubahan rencana kebijakan.”

Pernyataan itu disampaikan Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia, Ajib Hamdani kepada reporter Tirto, Kamis (28/4/2022). Dinamika terjadi beberapa hari terakhir, membuatnya menyelam dan membagikan sudut pandangnya terkait kebijakan pelarangan ekspor CPO.

Larangan ekspor CPO pertama kali diambil oleh Presiden Joko Widodo seusai menggelar rapat terbatas bersama sejumlah menteri pada Jumat, 22 April 2022. Salah satu pembahasannya adalah soal ketersediaan hingga harga minyak goreng masih tinggi.

“Saya putuskan pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai kamis 28 April 2022," tegas Jokowi usai rapat tersebut.

Pengumuman itu menjadi bias. Sebab Jokowi tidak menyinggung bahan baku minyak goreng apa saja dilarang untuk ekspor. Pengusaha minyak kelapa sawit bahkan bertanya-tanya dan bingung dengan kebijakan pemerintah tersebut.

"Kami belum tahu produk sawit apa yang dilarang. Jadi kita tunggu saja regulasinya," ujar Ketua Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga merespons pengummuman Jokowi kala itu.

Selang tiga hari, pada 25 April 2022, Kementerian Pertanian, mengeluarkan Surat Nomor 165/KB.020/E/2022 perihal Harga TBS Pasca Pengumuman Presiden tentang Pelarangan Ekspor RBD Palm Olein. Surat tersebut ditandatangani oleh Pelaksana Tugas Dirjen Perkebunan Kementan, Ali Hamil.

Dalam beleid itu disebutkan bahwa yang dilarang ekspor bukanlah CPO, tetapi refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein yang merupakan bahan baku minyak goreng sawit dan minyak goreng sawit (MGS).

Sehari berikutnya, pada 26 April 2022, kebijakan ini ditekankan kembali oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto saat konferensi pers. Ia menegaskan bahwa CPO bukanlah termasuk komoditas yang dilarang ekspor.

"Untuk CPO dan RPO masih tetap dapat diekspor sesuai kebutuhan," kata Airlangga.

Pada keesokan harinya, Airlangga justru meralat ucapan sebelumnya. Mantan Menteri Perindustrian itu menegaskan, larangan ekspor minyak goreng akan berlaku bagi minyak kelapa sawit mentah atau crude (CPO) dan seluruh produk turunannya.

Larangan ekspor juga berlaku pada Red Palm Oil (RPO); Refined, Bleached, Deodorized (RBD) Palm Olein; Palm Oil Mill Effluent (POME); dan Used Cooking Oil.

“Kebijakan pelarangan ini di-detailkan yaitu berlaku untuk semua produk, baik CPO, RPO, RBD Palm Olein, POME, dan Used Cooking Oil," kata Airlangga dalam konferensi pers Rabu, 27 April 2022.

Keputusan final tersebut, diperkuat dengan dituangkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2022. Beleid itu mengatur tentang larangan sementara ekspor untuk bahan baku miyak goreng berupa Crude Palm Oil (CPO), Refined, Bleached, and Deodorized (RBD) Palm Oil, Refined, Bleached, and Deodorized (RBD) Palm Olein, dan Used Cooking Oil (UCO).

Kendati begitu, pengecualian diberikan untuk produk CPO, RBD Palm Oil, RBD Palm Olein, dan UCO yang telah mendapatkan nomor pendaftaran pemberitahuan pabean ekspor paling lambat 27 April 2022, untuk tetap dapat melaksanakan kegiatan ekspornya.

Permendag Nomor 22 Tahun 2022 ini juga bakal mengenakan sanksi kepada pihak-pihak yang bersikukuh melakukan ekspor produk CPO dan turunannya. "Eksportir yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," tulis Pasal 4 Permendag tersebut.

Ajib Hamdani menilai kebijakan pelarangan ekspor CPO dan produk turunan ini sebenarnya bagus, yaitu menjaga stabilitas harga minyak goreng. Apalagi, di Indonesia terjadi sebuah paradoks, di mana sebagai salah satu penghasil kelapa sawit terbesar se dunia, tetapi harga minyak goreng dalam negeri mengalami kenaikan relatif tidak terkendali.

Ia mencatat, saat wacana pelarangan ekspor pada 22 April 2022, harga minyak goreng mencapai rata-rata Rp24.960 per kilogram (Kg) dengan harga tertinggi di Provinsi Maluku Utara yang mencapai Rp41.000 per kg. Kemudian pada 27 April 2022, harga di pasaran cenderung turun. Menurut pantauan lapangan, harga di minimarket sudah turun menjadi Rp20.000 per kg.

"Tetapi, kebijakan pelarangan ekspor ini perlu kita lihat secara kritis atas tiga sudut pandang," kata Ajib.

Pertama dari sisi petani kelapa sawit. Ajib menyebut pertama kali terhantam secara langsung kebijakan larangan ekspor CPO ini adalah petani. Ketika polemik terjadi, harga Tandan Buah Segar (TBS) anjlok bisa sampai 60 persen, bahkan ada beberapa Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang kemudian menurunkan harga Rp300 sampai Rp1.400 per kg.

Kondisi itu tentunya menjadi pilihan sulit bagi para petani kelapa sawit. Sebab kalau panennya tidak terserap oleh pabrik kelapa sawit, justru akan menjadi problem baru.

"Walaupun Kementan mengeluarkan surat edaran untuk melindungi harga di level petani, tetapi dalam kondisi kebijakan yang berubah-ubah ini, dunia usaha akan sulit membuat keseimbangan harga yang ideal," jelasnya.

Presiden Jokowi bahkan menyadari kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng diambil pemerintah menimbulkan dampak negatif. Namun, tujuan dari kebijakan ini, kata Jokowi, untuk menambah pasokan dalam negeri dan mengendalikan harga minyak goreng ke Rp14.000 per liter.

"Memang menimbulkan dampak negatif, berpotensi mengurangi produksi, hasil panen petani tak terserap," kata Jokowi dalam pernyataannya dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (27/4/2022).

Atas dasar itu, Kepala Negara meminta kesadaran industri minyak sawit untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Terlebih volume bahan baku minyak goreng yang diproduksi dan di ekspor jauh lebih besar daripada kebutuhan dalam negeri.

"Mestinya kalau melihat kapasitas produksi kebutuhan dalam negeri bisa dengan mudah tercukupi. Jika kita semua mau dan punya niat memprioritaskan kebutuhan masyarakat," ujarnya.

Mantan Gubernur DKI itu pun berjanji, jika kebutuhan dalam negeri terpenuhi, pemerintah bakal mencabut larangan ekspor tersebut. Sebab pemerintah sendiri sadar negara butuh pajak, devisa, dan butuh surplus neraca perdagangan.

"Tapi kebutuhan masyarakat adalah prioritas yang lebih penting," tandasnya.

Rontoknya Saham Industri Sawit

Ajib Hamdani melanjutkan sudut pandang kedua bisa dilihat atas kebijakan larangan ini adalah sektor dunia usaha. Saham-saham perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit justru mengalami depresiasi. Beberapa contoh data, saham PT London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP) turun 4,27 persen menjadi Rp1.350 per lembar saham pada Kamis kemarin.

Selain itu, penurunan juga terjadi di PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) mencapai 1,2 persen. PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) turun 3,5 persen, PT Provident Agro Tbk (PALM) milik Saratoga Sentra Business turun 2,22 persen menjadi Rp880 per lembar saham, serta PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) turun 3,14 persen menjadi Rp2.160 per lembar saham.

"Penurunan harga-harga saham di bursa ini karena sentimen negatif atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini, karena perusahaan emiten sawit mengalami penurunan kinerja," katanya.

Ketiga yang perlu menjadi perhatian, kata Ajib, adalah neraca keuangan negara. Sebab minyak kelapa sawit sendiri menjadi penyumbang kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sektor ekspor non migas, terutama CPO.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus perdagangan pada Maret 2022 berada di 4,5 miliar. Kebijakan larangan ekspor ini dikhawatirkan akan menggerus neraca perdagangan dalam negeri. Karena ketika ekspor mengalami tekanan, neraca keuangan negara akan mengalami potential loss lebih banyak.

Untuk selanjutnya, kata Ajib, pemerintah seharusnya fokus dengan pembuatan kebijakan melindungi pasar dalam negeri, tetapi tetap memberikan kepastian hukum dalam transaksi bisnis yang terjadi secara internasional.

“Pemerintah bisa meningkatkan dan memperketat kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), misalnya," sarannya.

Ajib mengatakan, DMO bisa dinaikkan dari 20 persen menjadi 30 persen, disertai dengan pengawasan kebijakan dengan lebih ketat. DMO sendiri adalah kewajiban badan usaha atau bentuk usaha tetap untuk menyerahkan sebagian produksinya kepada negara melalui badan pelaksana. Hal itu dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan besaran yang sudah diatur dalam kontrak kerja sama

Ajib meyakini ketika pemerintah bisa konsisten dengan regulasi ini, maka semua pihak bisa terlindungi dengan baik. Bahkan harga minyak di pasaran bisa sesuai harapan pemerintah, di bawah Rp14.000 per kg.

"Satu sisi petani sawit terlindungi, dunia usaha bisa menaikkan performa perusahaan, dan neraca keuangan negara terdongkrak positif," kata dia.

Baca juga artikel terkait LARANGAN EKSPOR CPO atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz