Menuju konten utama

Dilema Hidup bersama Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun

Pesatnya pertumbuhan industri meningkatkan volume limbah B3, baik dalam bentuk padat, cair, maupun gas. Korban terdampak limbah bukan hanya manusia, melainkan juga lingkungan.

Dilema Hidup bersama Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Ketua RW 01 Kelurahan Samangraya, menyampaikan keluhan soal limbah B3 dalam sarasehan yang diadakan Lembaga Administrasi Negara (LAN) bermitra dengan Global Green Growth Institute (GGGI) di Cilegon, Jawa Barat (4/12). (FOTO/Dok. GGGI)

tirto.id - Pada siang yang terik, Wahid tak berhenti menggaruk-garuk badannya. Gerah dan rasa gatal seakan menjadi kombinasi terburuk yang menemani hari-harinya di Cilegon—sentral industri kimia dan baja.

“Semuanya gatal. Semua bagian tubuh. Sudah lama kayak begini,” kata warga Kalentemu Barat RW 01, Kelurahan Samangraya, Kecamatan Citangkil, Kota Cilegon, itu. Kondisinya serbasalah. Ketika tidak ada angin, gerah bakal kian terasa. Namun angin pun membikin debu-debu beterbangan. Masalahnya, ini bukan debu biasa.

“Tiga sampai empat bulan lalu, saya terkejut [saat melihat] di rumah saya debu bertambah. Semakin hari debunya semakin tidak enak,” kata Taufiq Ubaidilah, Ketua RW 01 Kalentemu Barat. “Kecurigaan timbul ketika baju anak saya dijemur, warna putih berubah menjadi totol-totol kuning. Setelah saya cek, di seberang rumah ada pasir powder slag (slag menyerupai pasir). Saya cari tahu, ternyata limbah itu tergolong B3 meski sudah diolah,” lanjutnya.

Tumpukan limbah tersebut bisa sampai ke permukiman lewat udara maupun air hujan yang meresap ke tanah, sehingga mencemari air yang dikonsumsi warga. “Air baunya seperti besi, bau amis, dasarnya berwarna kuning pekat kotor,” kata Inayah. Sebagai koordinator posyandu di lingkungan tersebut, Inayah juga menyampaikan bahwa, selain gatal-gatal, para warga sudah lama memiliki penyakit yang sama, yaitu penyakit paru-paru. “[Warga] yang terkena TB paru-paru lebih dari 50 persen. Itu dari polusi,” jelasnya.

Bagi warga yang tinggal di dekat pusat industri baja, ini adalah sebuah ironi. Perindustrian yang seharusnya bisa memajukan daerah, malah membuat daerah tersebut terkontaminasi. Ketika kepentingan nasional berhasil ditopang oleh industri, warga lokal justru mengalami anomali.

“Sebenarnya kami tidak menolak kehadiran industri di daerah kami karena banyak dari warga kami juga bekerja untuk mendapatkan hidup dari sana, termasuk banyak bantuan CSR yang sudah diberikan bagi kelurahan kami. Namun limbah B3 yang membahayakan kehidupan warga juga tidak boleh ditempatkan sembarangan, [apalagi] dekat dengan permukiman warga,” ujar Taufiq. Masyarakat bahkan mencurigai beberapa pabrik membuang limbah pada malam hari, saat warga tertidur.

Kombinasi Buruk Limbah Baja dan Kimia

Pesatnya pertumbuhan industri meningkatkan volume limbah B3, baik dalam bentuk padat, cair, maupun gas. Sebenarnya sudah ada sejumlah regulasi pengelolaan limbah B3, tapi kenyataannya masih terdapat korban terdampak limbah B3. Bukan hanya manusia, melainkan lingkungan.

“Soal pabrik, semua membuang limbah ke udara, tanah, dan air. Dampaknya tak ke manusia saja, tapi ke lingkungan juga,” kata Wahid. “Di laut sekarang ikan sudah [men]jauh. Terus pisang, dalamnya [berwarna] hitam, padahal luarnya bagus.”

Cilegon berfokus bukan hanya kepada industri baja, melainkan juga kimia. Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup mencatat sekitar 80 persen industri kimia nasional terdapat di Kota Cilegon. Perpaduan industri baja dan kimia sayangnya merupakan kabar buruk bagi lingkungan. Apalagi, di sekitar Cilegon juga terdapat banyak PLTU yang bersumber pada batu bara.

Limbah batu bara ini bisa menyebabkan penyakit yang lebih berbahaya. “Pada limbah batu bara, ada 30 jenis logam berat. Ada unsur radioaktif,” kata Prof. Dr. Ir. Etty Riani, M.S., ahli limbah dan Guru Besar dari Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB).

“Sinar alfa nggak kena kita. Sinar beta-nya yang mampu menembus tubuh kita. Itu bisa menyebabkan kanker. Jadi, slag nggak seberapa, kalau tercampur abu batu bara baru [berbahaya],” katanya. Tak heran bila kemudian Posyandu Kalentemu Barat melaporkan—meski tak banyak—ada warganya yang sudah didiagnosis kanker.

Pada Rabu, 4 Desember 2019, siang yang juga masih terik di Kalentemu Barat RW 01, Kelurahan Samangraya, Kecamatan Citangkil, Kota Cilegon, para warga berkumpul di posyandu terdekat. Mereka mendapat kunjungan dari para pejabat dalam acara “Sarasehan Kepemimpinan Berempati: Hidup Bersama Limbah B3” yang diadakan Lembaga Administrasi Negara (LAN), bermitra dengan Global Green Growth Institute (GGGI).

LAN sudah sering mengadakan kunjungan lapangan. Namun ada yang berbeda dari tiga kunjungan terakhir mereka yang mengambil metode sarasehan. Sarasehan pertama diadakan di Kampung Nelayan Kamal Muara, Jakarta Utara, pada 13 Juli 2019, dengan tema “Krisis Air di DKI Jakarta”. Sarasehan kedua dilaksanakan pada 8 Oktober di CoHive D. Lab Jakarta, mengangkat tema “Krisis Listrik di Era Serba Listrik”. Kunjungan ke Cilegon ini adalah sarasehan ketiga mereka.

Jika biasanya kunjungan berlangsung formal—para pejabat melakukan penyuluhan dengan mengenakan baju dinas—maka yang terjadi sekarang adalah kebalikannya.

“Selama ini, ketika menyusun kebijakan, kita berada di ruang kerja ber-AC, jauh dari perspektif masyarakat yang ada di lapangan. Maka kita harus menggali perspektif emik masyarakat sehingga kita bisa melakukan tindakan konkret untuk memperbaiki kebijakan dan implementasinya” kata Caca Syahroni selaku Kepala Pusat Pengembangan Kompetensi Teknis dan Sosial Kultural ASN LAN.

Dengan format unik ini, sarasehan berlangsung tanpa batas dan tak berjarak antara pejabat dan warga. Warga bisa langsung mengeluh dan berkomunikasi soal hidup bersama limbah B3 kepada para pejabat yang “menyamar” sebagai peserta pelatihan dengan pakaian kasual.

“Kalau selama ini kita menjadi penyuluh, menjadi narasumber, kali ini dibalik, mereka jadi narasumber kita. Kita mendengar, melihat, memerhatikan, sehingga apa yang masyarakat rasakan, dalam hal ini dampak negatif limbah, jangan-jangan itu ada kontribusi dulu saya mengambil kebijakan atau keputusan yang kurang memerhatikan dampak-dampak masyarakat di lapangan,” lanjutnya.

Ketika ditanya apa yang warga harapkan, mereka pun langsung memberi jawaban. “Ketika ada keluhan, tolong langsung ditindak. Untuk limbah, tolong ditempatkan di tempat semestinya,” kata Wahid.

“Setiap bulan, semoga ada pengobatan gratis untuk setiap RT. Untuk anak-anak, semoga ada pembagian PMT (Pemberian Makanan tambahan),” imbuh Siti Sumarni, Ketua RT 02.

Para pejabat datang dari berbagai latar belakang—baik pusat, daerah, maupun kota—mulai dari Pemerintah Pusat yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Daerah (Provinsi Banten dan Pemerintah Kota Cilegon) yaitu Sekretariat Daerah, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTST), Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.

Di akhir Sarasehan, peserta merefleksikan hal apa yang paling membekas dalam benak dan hati mereka saat berkunjung dan berinteraksi dengan warga serta bagaimana perasaan mereka saat menyaksikan kondisi tersebut. Selanjutnya, dengan kapasitas mereka saat ini, para peserta menuliskan langkah konkret yang dapat dilakukan untuk membantu memperbaiki kondisi tersebut.

Kegiatan Sarasehan Kepemimpinan Berempati dinilai bisa membangun pemahaman para pejabat tentang bagaimana menyusun sebuah kebijakan dengan pendekatan yang lebih humanis. Melalui pendekatan empati dan simpati, diharapkan pengelolaan negara ini tak lepas dari kondisi-kondisi yang ada di masyarakat.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis