Menuju konten utama

Dihantam Cipta Kerja & Corona, Upah Tahun Depan Bisa Jadi Turun

Kalangan pengusaha merekomendasikan upah tahun depan bisa turun dengan alasan pandemi. Buruh menolaknya.

Dihantam Cipta Kerja & Corona, Upah Tahun Depan Bisa Jadi Turun
Puluhan buruh PT Sumber Graha Sejahtera (SGS) Jombang menggelar aksi unjuk rasa di Balai Latihan Kerja Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Selasa (28/7/2020). (ANTARA FOTO/Syaiful Arif//foc)

tirto.id - Unsur pengusaha dalam Dewan Pengupahan Nasional (Depenas), lembaga non struktural yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah terkait pengupahan, mengusulkan agar upah tahun depan minimal sama dengan tahun ini, bahkan kalau bisa lebih rendah.

“Upah minimum untuk perusahaan yang terdampak COVID-19 dirundingkan secara bipartit (antara pengusaha dan pekerja). Kalau sesuai bipartit bisa lebih rendah, bisa kurang, bisa tinggi karena disesuaikan dengan kemampuan perusahaan,” kata Wakil Ketua Depenas Adi Mahfudz kepada wartawan Tirto, Senin (19/10/2020).

Adi mengatakan unsur pengusaha mengusulkan demikian karena banyak perusahaan yang roda bisnisnya babak belur terdampak COVID-19. Penurunan upah, katanya, diharapkan bisa membantu pelaku usaha pulih dari hantaman pandemi, termasuk menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Kalau bisa jangan terjadi PHK kedua, jangan sampai ada yang dirumahkan, kemudian jangan ada pemotongan upah mengingat produktivitas usaha semuanya drop,” katanya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani menyambut baik usul tersebut. Menurutnya upah stagnan atau malah turun tidak dilarang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Berdasarkan Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, penetapan upah minimum dilakukan setiap tahun berdasarkan kebutuhan hidup layak--yang direkomendasikan Dewan Pengupahan--serta dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

“Sementara pertumbuhan ekonomi nasional masih minus, inflasi pun menjadi deflasi,” ujar Hariyadi dalam konferensi pers virtual di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (15/10/2020).

Oktober lalu International Monetary Fund (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan terkontraksi minus 1,5 persen. Ini lebih buruk dari proyeksi per Juni, yaitu kontraksi 0,3 persen. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan telah terjadi deflasi selama tiga bulan berturut-turut, yaitu sebesar 0,10% pada Juli, 0,05% pada Agustus, dan 0,05% pada September.

Ekonom sekaligus Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah mengatakan jika usul tersebut disampaikan dalam kondisi normal, maka ia sama sekali tidak pantas. “Tapi sekarang usulan ini keluar saat kondisi keduanya sakit. Usahanya dengan pekerjanya,” kata dia kepada wartawan Tirto, Senin.

Ia khawatir jika upah naik maka “yang terjadi justru PHK; pekerja dirumahkan.” “Justru itu akan menghantam pekerja. Saya kira juga pekerja harus paham kondisi perusahaan tempat dia bekerja,” katanya.

Ditentang Buruh

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) Mirah Sumirat menolak usul ini. Ia mengatakan rekomendasi ini “enggak keruan.”

Mirah mengatakan banyak sektor usaha yang tidak terpengaruh COVID-19, misalnya farmasi dan telekomunikasi. “Itu mau mereka (pengusaha) saja. Jangan pukul rata,” katanya kepada wartawan Tirto, Senin.

Ia juga mengatakan upah minimum tidak mungkin turun dengan terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21 Tahun 2016 tentang KHL. Dalam peraturan tersebut, komponen KHL--salah satu variabel dalam menentukan upah--yang semula terdiri dari 60 jenis kini menjadi 64.

“Kan komponen KHL naik, ya. Sebenarnya sudah gugur dengan sendirinya rekomendasi itu,” katanya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal pun mengatakan organisasinya menolak usul tersebut. “Tidak ada alasan upah minimum tahun 2020 ke 2021 tidak ada kenaikan karena pertumbuhan ekonomi sedang minus," ujarnya melalui keterangan tertulis, Sabtu (17/10/2020).

Ia membandingkan dengan situasi tahun 1998-1999, ketika Indonesia dihantam krisis. Menurutnya saat itu upah DKI Jakarta tetap naik 16 persen meski pertumbuhan ekonomi tahun itu minus 17,49 persen.

Kenaikan upah juga dalam rangka meningkatkan kontribusi para pekerja terhadap ekonomi nasional, katanya. Logikanya sederhana: jika upah turun, maka daya beli juga turun dan tingkat konsumsi turun. Padahal ekonomi Indonesia masih mengandalkan konsumsi rumah tangga.

Karena alasan itu juga ia menolak Permenaker Nomor 18 tahun 2020 yang menambah komponen KHL. Menurutnya, meski komponennya ditambah, “Permenaker Nomor 18 tahun 2020 mengurangi kualitas KHL dari permenaker sebelumnya.” Misalnya komponen belanja buah, dari yang sebelumnya Rp68 ribu menjadi Rp42 ribu--turun Rp26 ribu.

Seperti Piter, ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal menegaskan tidak adanya kenaikan upah atau bahkan penurunan tahun depan “sebenarnya sudah fair sesuai dengan formula itu,” mengingat data menunjukkan sudah berbulan-bulan Indonesia mengalami deflasi.

Namun ia mengatakan ada faktor lain yang barangkali tidak membuat upah turun, yaitu gejolak sosial di masyarakat. “Kalau upah turun itu bisa memicu gejolak yang lebih besar lagi [setelah] ada omnibus law,” terang dia kepada wartawan Tirto, Senin. Omnibus law Cipta Kerja adalah peraturan yang ditentang habis-habisan oleh para pekerja.

Dengan pertimbangan kondisi-kondisi tersebut, maka opsi yang paling mungkin bisa dijalankan adalah menjaga upah tidak naik. “Kalau upah enggak naik itu win-win solution,” katanya.

Baca juga artikel terkait UPAH MINIMUM atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino