Menuju konten utama

Diet Tya Ariestya, Amankah Diet Tanpa Makan Sayur Menurut Ahli Gizi

Diet atau pola makan yang dilakukan Tya mengadopsi aturan tanpa makan sayur.

Diet Tya Ariestya, Amankah Diet Tanpa Makan Sayur Menurut Ahli Gizi
Ilustrasi Diet Tanpa Sayur. foto/Istockphoto

tirto.id - Buku tips diet yang dikeluarkan oleh selebritas Tya Ariestya menuai pro kontra dari warganet. Tya mengaku berhasil menurunkan berat badannya secara drastis melalui diet ketat selama beberapa bulan.

Tya berhasil memangkas berat badannya hingga 25 kilogram dalam kurun waktu empat bulan. Uniknya, diet atau pola makan yang dilakukan Tya mengadopsi aturan tanpa makan sayur.

Padahal, selama ini sayur sering dijadikan menu dalam pola makan yang bertujuan untuk penurunan berat badan. Makan sayur dinilai dapat mengangkut lemak-lemak di usus dan memberikan rasa kenyang lebih lama.

American Heart Association, seperti dikutip dari laman Livestrong, menganjurkan setiap orang mengonsumsi setengah piring atau lebih, untuk buah-buahan dan sayuran setiap kali makan.

Sayuran dan buah-buahan memberikan nutrien yang termasuk vitamin dan mineral dalam membantu mempertahankan fungsi tubuh.

Melansir laman Antara, Ketua Indonesia Sport Nutrisionis Association (ISNA) Dr. Rita Ramayulis, tidak membenarkan pola diet yang dilakukan Tya. Menurut Rita, sayur kaya akan hal baik bagi kesehatan tubuh.

"Ini salah kalau dikatakan sayur menghambat penurunan berat badan. Secara kimia tubuh, justru sayur yang membantu jika terjadinya kerusakan metabolik ketika kita melakukan defisit energi," kata Rita yang merupakan ahli gizi dari FKM UI.

Rita juga menjelaskan bahwa tubuh akan memakai energi secara 24 jam tanpa bergerak, terlebih untuk menggerakkan organ-organ tubuh yang tidak diperintah; seperti jantung berdetak, kerja ginjal, hati, usus, dan lambung. Organ-organ ini membutuhkan energi untuk bekerja.

"Ketika kita mendefisitkan energi, kemudian mikronutrien (seperti vitamin dan mineral) dan seratnya tidak dicukupi, itu akan membuat sistem kerja metabolik energi itu berlangsung tidak sempurna, dan itu tubuh membutuhkan serat dari sayuran," jelasnya.

Selain itu, sayur memiliki serat yang fungsi utamanya adalah untuk menjaga keseimbangan mikrobiota dalam tubuh. Rita menjelaskan, mikrobiota di tubuh memakan serat. Mikrobiota ini memiliki peran penting terhadap imunitas tubuh.

Jika tidak ada serat yang masuk, maka mikrobiota akan mati, dan menyebabkan antibodi tidak terbentuk, sehingga imunitas melemah.

Selanjutnya, sayur dan serat juga berfungsi untuk mengontrol kolesterol dan menstabilkan kadar glukosa darah. Jika hanya memakan nasi dengan lauk tanpa serat, maka kadar glukosa akan naik dan merangsang insulin.

"Insulin, kalau diproduksi dalam jumlah yang tinggi, bisa terjadi proses inflamasi atau peradangan dalam waktu yang singkat. Dalam waktu panjang, itu beresiko hiperglikemi dan diabetes meritus," katanya.

Serat dari sayuran juga menggerakkan peristaltik usus besar yang berfungsi memuluskan pekerjaannya untuk mengeluarkan zat toksik di dalam tubuh. Jika tidak didukung oleh serat, maka bisa timbul resiko kanker kolon.

Terakhir, menurutnya sayur menghasilkan sisa basa yang sesuai dengan pH tubuh yang juga merupakan basa.

"Tubuh kita pH-nya basa. Jadi kalau kita mengonsumsi makanan lalu hasilnya asam, maka ginjal, hati dan paru-paru langsung bekerja untuk membasakan," kata Rita.

"Orang yang misalnya hanya makan protein saja bisa gagal ginjal karena ginjalnya bekerja keras untuk membasakan. Kalau kita makan sayur, maka itu akan membasakan dan kerja tubuh kita jadi tidak berat," imbuhnya.

Selain tidak memakan sayur, diet ala Tya Ariestya juga disorot karena asupan kalori hariannya kurang dari 500 kalori (Very Low Calorie Diet/VLCD). Menurut Rita, hal ini membahayakan kesehatan dan memiliki dampak jangka pendek hingga panjang.

Dampak jangka pendeknya dengan defisit energi tersebut menyebabkan proporsi tubuhnya akan menjadi tidak bagus. Jadi, komposisi tubuhnya tidak hanya lemak saja yang hilang, tapi juga penurunan massa otot, tulang, dan total air dalam tubuh.

Sementara, untuk jangka menengah, nantinya akan menjadi tidak cukup untuk memberikan energi ke kerja basa dan imunitas, dan bisa jatuh ke malnutrisi. "Imunitas terganggu, dan kalau terekspos virus dan bakteri akan lebih mudah terpapar," jelasnya.

Sedangkan untuk efek jangka panjangnya, akan terjadi resiko gagal ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan lambung, hingga irama denyut jantung.

"Penyakit-penyakit ini adalah penyakit yang irreversible -- tidak bisa diperbaiki. Perbaikan pola hidup, pemberian obat, mereka tidak mengembalikan (organ) ke fungsinya hingga 100 persen seperti semula. Jadi, jangan coba-coba lakukan diet ekstrem ini," kata Rita.

Baca juga artikel terkait DIET atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Agung DH