Menuju konten utama

Diego Simeone, Cholismo, dan Atletico Madrid

Bagi Atletico Madrid, sosok Diego Simeone adalah sebuah titik balik yang berhasil mengubah wajah mereka.

Diego Simeone, Cholismo, dan Atletico Madrid
Diego Simeone [Foto/Reuters]

tirto.id - Stade Geoffroy-Guichard. Prancis, 1998. Kala itu tengah berlangsung babak perdelapan final Piala Dunia di Prancis antara Argentina versus Inggris. Laga berlangsung keras, wasit Kim Milton Nielsen bahkan sudah memberikan penalti kepada masing-masing tim sejak 10 menit awal. Argentina lebih dulu unggul lewat eksekusi Gabriel Batistuta (6’). Sementara Inggris menyamakan kedudukan melalui Alan Shearer (10’).

Pada menit ke-16, Inggris berbalik unggul melalui Michael Owen, yang kala itu dianggap sebagai striker masa depan The Three Lions. Gol Owen ke gawang Albiceleste kemudian dianggap sebagai salah satu yang terbaik sepanjang sejarah perhelatan Piala Dunia. Skor kembali sama kuat 2-2 setelah Argentina mencetak gol lewat Javier Zanetti di masa injury time.

Tensi laga tidak menurun di babak kedua. Bahkan sejak menit awal sebuah insiden serius terjadi. Dalam situasi perebutan bola, rising star Inggris saat itu, David Beckham, terjatuh karena tertabrak Diego Simeone dari belakang. Wasit Nielsen segera meniup peluit tanda terjadinya pelanggaran dan siap mengganjar Simeone dengan kartu kuning.

Tapi situasi tak selesai begitu saja. Beckham, yang masih berada dalam kondisi tengkurap di tanah, dengan sengaja mengangkat satu kakinya untuk menjegal Simeone. Jegalan itu sebetulnya pelan belaka, tapi Simeone menjatuhkan dirinya seteatrikal mungkin sambil meminta wasit memberi kartu juga kepada Beckham. Situasi makin sengit karena Juan Sebastian Veron juga turut memprovokasi wasit.

Beckham kemudian berdiri dan pada saat bersamaan, Nielsen mengacungkan kartu merah kepadanya. Batitusta, yang juga turut berada di kerumunan, tampak mengangguk-anggukan kepala mendukung keputusan wasit. Adapun Simeone tetap mendapat kartu kuning.

Laga akhirnya dimenangkan Argentina 4-3 melalui drama adu penalti. Dua pemain Inggris gagal menceploskan bola: Paul Ince dan David Batty. Sedangkan dari Argentina ada Hernan Crespo yang tidak berhasil. Inggris pun pulang ke rumah dengan disambut berbagai cemoohan dari media lokal. The Mirror menulis besar-besar di halaman muka: "10 Heroic Lions, One Stupid Boy". Sedangkan The Sun lebih lugas: “Beck-Home”.

Setahun setelah insiden tersebut, Simeone dengan gamblang mengakui bahwa apa yang ia lakukan sebetulnya hanya sandiwara. “Anggap saja wasit telah kena jebakan. Itu juga salah satu hal yang sulit dihindari olehnya karena aku memang terjatuh dan di banyak momen seperti itu ada banyak tekanan,” katanya kepada BBC.

Ia menambahkan: "Tentu saja, aku cerdas. Dengan membiarkan diriku jatuh, aku meminta wasit untuk mengeluarkan kartu merah sesegera mungkin. “

Simeone, dalam perjalanannya sebagai pelatih, kelak kembali membuktikan bahwa kecerdasannya bukan hanya tentang jago sandiwara.

Mengenal Diego ‘Cholo’ Simeone

Ada istilah menarik di Amerika Latin: Cholo. Istilah ini kurang lebih merupakan olok-olok buat laki-laki miskin atau pengangguran kelas bawah. Namun, seiring berjalannya waktu, istilah Cholo dimaknai sebagai kecerdasan dan ketangguhan khas jalanan.

Dalam dunia olahraga, istilah Cholo mulai populer sejak Roberto Duran, petinju legendaris asal Panama, mendapat julukan tersebut. Duran dianggap sebagai representasi positif dari seorang Cholo yang berasal dari perkampungan kumuh, namun tetap dapat meraih kesuksesan karena etos kerja di atas rata-rata. Di kemudian hari, Simeone menggunakan pendekatan ala Cholo dalam melatih Atletico Madrid. Orang-orang menyebut taktiknya: Cholismo.

Simeone lahir pada 28 April 1970 di distrik Palermo, Buenos Aires. Keluarganya tidak tergolong miskin. Ayahnya berprofesi sebagai salesman, sedangkan ibunya seorang penata rambut. Tak banyak wejangan yang diperoleh dari orangtuanya, kecuali satu hal yang selalu diulang-ulang: kerja keras.

Simeone tumbuh ketika sepakbola Argentina tengah dalam masa kejayaan. Tahun 1978, Cesar Luis Menotti berhasil membawa Mario Kempes dkk. juara dunia di tanah sendiri. Delapan tahun setelahnya, Argentina kembali juara di Mexico dan melahirkan pesepakbola terbaik sepanjang sejarah: Diego Armando Maradona.

Simeone memeram sejarah tersebut dalam ingatannya. Ia pun berikrar menjadi pesepakbola. Di sekolah, Simeone sering memproklamirkan hal ini di depan teman-temannya. Ironisnya, kebanyakan mereka menertawakan ocehan Simeone tersebut.

Seperti mayoritas pesepakbola Amerika Latin, bakat Simeone juga terasah di jalanan. Pada medio 1980-an, bakat sepakbolanya terdeteksi Oscar Nessi, pelatih tim junior Velez Sarsfield kala itu. Di mata Nessi, Simeone punya nilai lain sebagai pemain muda: gaya yang ngotot, agresif, dan cukup liar. Merujuk hal tersebut, Nessi pun memberi Simeone julukan: Cholito atau ‘cholo kecil’. Kelak, Giovanni Simeone Baldini, anak Simeone yang kini menjadi striker muda Fiorentina, juga mendapat julukan Cholito.

Velez Sarsfield saat itu memiliki legenda yang identik dengan gaya bermain ala Cholo: ngotot dan berapi-api. Namanya Victorio Spinetto. Ia adalah salah satu sosok penting dalam horison sepakbola Argentina.

Sepanjang dekade 1930-an hingga 1950-an, sepakbola Argentina terobsesi dengan gaya bermain artistik nan elegan. Mereka menyebutnya La Nuestra. Kehadiran Spinetto pada masa itu dianggap sebagai antinomi dari filosofi tersebut.

Sebagai seorang gelandang tengah, Spinetto memiliki spirit khas Caudillo--istilah Argentina yang dapat diterjemahkan menjadi ‘pemimpin’ atau ‘pengatur’. Gaya bermainnya tak kenal kompromi, keras terhadap lawan, hingga tak jarang berkelahi. Jonathan Wilson, dalam tulisannya di Blizzard, menyebut Spinetto sebagai pionir pragmatisme sepakbola Argentina.

Melihat Spinetto di Velez Sarsfield dan sikapnya dalam bermain, banyak yang menyebut Simeone muda sebagai harapan Sarfield.

Namun Simeone mengaku gaya bermainnya justru terinspirasi gelandang Brazil, Falcao, dan Lothar Matthaeus. Adapun pembeda lain: Spinetto adalah legenda satu klub (kendati ia juga pernah bermain sebentar di Indipendiente), sementara Simeone lebih acap dikenal sebagai seorang petualang.

Simeone memang gemar berpindah klub, tetapi tidak dalam pengertian negatif. Memulai karier di Velez Sarsfield selama tiga tahun (1987-1990), Simeone langsung hijrah ke Eropa dan malang melintang di berbagai klub selama 16 tahun: Pisa (1990-1992), Sevilla (1992–1994), Atletico Madrid (1994–1997), Inter Milan (1997–2009), Lazio (1999–2003), kembali lagi ke Atletico (2003–2005), sebelum pensiun di Racing Club (2005–2006).

Kendati telah meraih berbagai trofi bergengsi dengan tiap klub yang ia perkuat dan dianggap sebagai salah satu gelandang yang disegani pada masanya, aura kebintangan Simeone justru muncul ketika ia melatih klubnya dulu: Atletico Madrid.

Melatih Atletico dengan Filosofi Cholismo

Simeone tiba di Vicente Calderon pada 2011 (kandang Atletico saat itu) menggantikan Gregorio Manzano yang dipecat setelah kalah dari Albacete di Copa del Rey. Atletico tengah berada dalam kondisi hidup segan mati tak mau. Mereka berada di posisi bawah klasemen dan hanya terpaut empat angka dari zona merah La Liga.

Para suporter sudah kehilangan harapan. Begitu buruknya Atletico pada periode tersebut, sampai-sampai Mark Elkington, salah seorang jurnalis sepakbola Reuters, pernah membuat artikel dengan judul menohok yang mempertanyakan ulang apa artinya menjadi suporter Los Colchoneros: “Daddy, why are we Atletico fans?”

Jika kondisi tersebut dirasa kurang memberatkan bagi Simeone, ingat-ingatlah bahwa saat itu Barcelona masih mendominasi jagat sepakbola dunia dengan ‘Tiki-Taka’ dan Real Madrid, well, masih tetap menjadi Real Madrid: klub dengan kekuatan finansial mereka yang seolah tak terbatas.

Tapi Simeone mempersetankan itu semua. Hanya dalam lima bulan ia melatih, Los Rojiblancos dibawanya bertengger di posisi ketiga klasemen La Liga dan berhasil memenangkan Piala Liga Europa setelah mengalahkan Athletic Bilbao 3-0 di Bucharest.

Simeone mengeluarkan seluruh filosofi Cholismo ketika menangani Atletico. Jurusnya sederhana: bertahan, bermain agresif, serangan balik. Tentu saja jurus ini klise, terutama bagi tim kelas dua yang tak punya pemain dengan kemampuan individu spesial. Hanya saja, seberapapun klise dan seringnya jurus tersebut digunakan, tak banyak yang berhasil mewujudkannya dengan memukau seperti Atletico di bawah Simeone.

Salah satu pujian datang dari pelatih legendaris, Giovanni Trapattoni. Mr.Trap secara terang-terangan menganggap gaya sepakbola Simeone yang cenderung machiavellian tersebut jauh lebih menarik untuk ditonton daripada atraksi ‘Tiki-Taka’.

Kepada AS ia mengatakan: “Saya suka Simeone, dan saya kira dia tak akan tersinggung jika saya mengatakan bahwa karakternya mirip dengan saya. Tim saya memiliki filosofi yang sama. Saya tak akan menyebutkan nama, tapi ada beberapa tim yang memainkan bola dari kaki ke kaki selama setengah jam tanpa pernah sekalipun menendang ke gawang, itu membuatku tertidur!”

Ia menambahkan: “Saya jelas memilih gaya Simeone--ribuan kali. Dengan intensitas gaya permainannya, ia selalu menyajikan tontonan yang mendebarkan. Menyebut timnya bermain buruk adalah kebohongan yang amat besar.”

Ketika melawan tim kuat, Atletico tidak mengejar penguasaan bola dan lebih terkonsentrasi menjaga ruang. Ketika bola direbut, secara kolektif pemain akan menyerbu balik ke pertahanan lawan dan berusaha maksimum untuk mencetak gol. Kunci taktik Simeone adalah compactnees, kekompakan. Terutama dalam bertahan, Simeone memerintahkan anak buahnya agar tidak bertahan kelewat dalam dan wajib merebut bola dengan cara agresif.

Dalam skema Simeone, tiap pemain wajib melapis rekannya yang lain, baik dalam bertahan atau menyerang. Itulah kenapa ia cenderung menggunakan pendekatan narrow 4-4-2 daripada wide 4-4-2 seperti taktik Alex Ferguson di Manchester United. Selain itu, Simeone juga menekankan agar anak buahnya menjaga ketat atau menutup ruang bagi lawan.

Infografik Diego Cholo simeone

Injeksi Semangat ala Simeone

Sebagai seseorang dengan mental petarung, Simeone juga diberkahi kemampuan sebagai motivator ulung. Poin ini pula yang menjadi kunci lain kesuksesannya sebagai pelatih Atletico.

Antoine Griezmann, misalnya, merasakan betul bagaimana suntikan semangat dari Simeone. Mulanya striker asal Prancis tersebut merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan metode latihan Simeone. Akan tetapi, alih-alih menelantarkan si pemain, Simeone justru terus memompa kepercayaan diri Griezmann.

“Simeone memiliki ketelitian, kedisiplinan, dan intensitas yang tinggi dalam latihan. Hal tersebut mengubah saya sepenuhnya. Sepanjang enam bulan pertama (sejak bergabung dengan Atletico), saya berusaha mati-matian. Saya bekerja, bekerja sangat keras, dan kini saya adalah pemain utama di klub,” ujarnya dilansir dari Daily Mail.

Bersama Atletico, Simeone sudah memberikan berbagai gelar bergengsi: La Liga (1), Copa del Rey (1), Piala Supercoba (1), Liga Europa (3), Piala Super Eropa (1), termasuk dua kali melaju ke final Liga Champions (2013-14 dan 2015-16), di mana di kedua final tersebut mereka selalu dikalahkan Real Madrid lewat drama adu penalti.

Pada Rabu (16-5/2018), Simeone mempersembahkan gelar teranyar bagi Atletico yakni juara Liga Europa setelah mengalahkan Marseille 3-0. Dalam final yang dilangsungkan di stadion Groupama, Prancis, Griezmann mencetak brace pada menit 21 dan 49, sedangkan gol lainnya dicetak Gabi pada menit 89.

Dengan kecemerlangannya tersebut, tak sedikit klub Simeone yang berburu tanda tangannya. Belakangan, ia digosipkan akan hijrah ke Arsenal menggantikan posisi Arsene Wenger yang telah mengundurkan diri. Namun, sejauh ini Simeone belum memberi respon terkait hal tersebut.

Cukup sulit membayangkan Simeone pindah ke lain klub, sebab ia sudah nyaris serupa simbol bagi Atletico. Jika Inter punya Helenio Herrera, Barcelona diubah oleh Johan Cruyff, dan Nottingham Forest identik dengan Brian Clough, maka Atletico memiliki Diego ‘Cholo’ Simeone.

Baca juga artikel terkait LIGA SPANYOL atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Olahraga
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Zen RS