Menuju konten utama

Diceraikan Google, Huawei Masih Jauh dari Kiamat

Ada banyak celah yang memungkinkan Huawei bisa tetap bertahan tanpa Google Android.

Diceraikan Google, Huawei Masih Jauh dari Kiamat
Seorang pembeli menunggu untuk membeli ponsel pintar Huawei P30 baru sebelum Huawei P30 dan P30 Pro dijual di toko Huawei di Beijing, China, Kamis (11/4/2019). ANTARA FOTO/REUTERS/Jason Lee/djo

tirto.id - “Aman dong, dijamin,” tegas Putu, penjual Huawei Honor Play 4 di salah satu lapak marketplace Indonesia.

Perang dagang antara Amerika Serikat-Cina membuat Huawei terluka. Google, menindaklanjuti keputusan Presiden Donald Trump ihwal pelarangan “musuh asing” melakukan bisnis telekomunikasi di AS, mengeluarkan sikap yang cukup menghentak: memutus kerjasama lisensi Android pada Huawei.

Dilansir App Brain, firma riset digital, hingga Mei 2019, Huawei menyumbang 11,4 persen total Android dunia. Sementara itu, pada konferensi Google I/O 2019, Google mengklaim bahwa terdapat 2,5 miliar perangkat Android aktif hari ini. Artinya, sikap keras Google, si pemilik Android, pada Huawei, telah mengancam sekitar 285 juta perangkat Android “made by Huawei” di tangan masyarakat.

Jason Tedjasukmana, Head of Corporate Communication Google Indonesia, ketika dimintai tanggapan soal keputusan Google, hanya mengirim tautan kicauan akun resmi Android yang menyatakan bahwa para pengguna perangkat Android bikinan Huawei, sebelum keputusan dibuat, masih didukung oleh Google, khususnya untuk fitur Google Play dan Google Play Protect.

Senada dengan apa yang tersirat disampaikan Jason, Putu menegaskan kepada calon pembelinya bahwa fitur-fitur Google masih tersedia dan “HP yang kita jual ini sudah global version. Jadi, sudah ada playstore-nya.”

Huawei, sebagaimana dilansir Ars Technica, mengungkap hal senada. “Huawei akan terus menyediakan dukungan keamanan dan purna-jual pada semua ponsel dan tablet Huawei maupun Honor.” Huawei juga menegaskan bahwa perusahaannya “akan terus menciptakan ekosistem yang aman nan berkelanjutan” bagi para penggunanya.

Keputusan Google tidak berpengaruh pada produk yang telah keluar di pasaran. Namun, produk-produk mendatang Huawei akan terdampak. Dilansir GSMArena, setidaknya ada dua ponsel dari Huawei yang akan segera dirilis, yakni Huawei P Smart Z dan Huawei Mate 20X varian 5G. Di sisi lain, belum ada ponsel dari Honor, sub-merek Huawei, yang akan meluncur dalam waktu dekat.

Huawei P Smart Z dan Huawei Mate 20X varian 5G akan menjadi dua ponsel yang duluan mencicipi dampak kebijakan Google. Menurut Ron Amadeo, dalam tulisannya di Ars Technica, dampak paling menyakitkan atas keputusan Google ialah “kehilangan akses pada Google Play Store dan Google Play Service, dua layanan yang membuka akses pada miliaran aplikasi Android.”

Benarkah?

Android merupakan sistem operasi open source (sumber terbuka) berlisensi Apache. Artinya, individu atau institusi atau produsen atau siapa pun bisa menggunakan sekaligus memodifikasi Android. Huawei tidak kehilangan ini. Yang hilang adalah kerja di balik layar Huawei-Google yang di masa lalu sukses melahirkan ponsel-ponsel bertitel Mate, Nova, P Series, Y Series dari Huawei atau sub-merek Honor.

Sebagaimana dilansir BBC, Huawei hanya bisa menggunakan Android polos. Sementara Play Store, Gmail, asisten digital Google Assistant, serta aplikasi-aplikasi Google lainnya, tidak bisa diakses.

Google adalah pengelola mutlak Android. Umumnya, Google merilis pembaruan atau tambal bagi celah keamanan bagi Android secara berkala. Google akan memberikan pembaruan atau tambal celah keamanan kepada produsen beberapa bulan sebelum merilisnya ke publik. Dengan pemblokiran, Huawei akan sangat telat dalam memperoleh pembaruan atau tambal celah keamanan. Ini artinya, Huawei sangat rentan terpapar zero day vulnerability.

Perkara pemblokiran Android yang diderita Huawei pun berpengaruh pada proses bernama Compatibility Test Suite (CTS) dan Vendor Test Suite (VTS), semacam tes di bawah Google untuk perangkat baru. Tanpa CTS dan VTS, sukar bagi ponsel mengunduh atau memasang aplikasi apapun. Tidak hanya melalui Play Store, pun memanfaatkan jalan tikus seperti memanfaatkan file instalasi Android .APK.

Terakhir, Huawei akan kehilangan fungsi “social connect” pada Google. Maksudnya, di dunia yang saling kian terhubung, untuk mengakses konten di internet, pengguna sudah tidak memerlukan registrasi ulang pada penyedia konten. Cukup menggunakan akun Gmail, misalnya, pengguna bisa mengakses konten. Pada Spotify, misalnya. Cukup login menggunakan Gmail, pengguna bisa mendengarkan musik via aplikasi itu. Pengguna Huawei, di masa depan, kehilangan keistimewaan ini.

Namun, talak cerai dari Google bukanlah akhir dari segalanya. Amazon, e-commerce ciptaan Jeff Bezos, dapat menjadi rujukan utama Huawei. Mengapa?

“Membakar” Android ala Amazon

Pada 2007 dua peristiwa besar di dunia teknologi terjadi. Pertama, Apple meluncurkan iPhone. Kedua, Amazon melahirkan Kindle.

Kindle merupakan perangkat pembaca buku. Dari sisi perangkat lunak, ia menggunakan firmware khusus, yang diciptakan memanfaatkan kernel Linux 2.6.10. Kala itu, dengan kapasitas penyimpanan yang hanya sebesar 250 megabyte dan, menurut Techcrunch, memiliki fitur “awkward keyboard,” Kindle dihargai $398.

Cukup mahal, mengingat fungsi utamanya yang terbatas. Namun, Kindle adalah sukses besar. Versi original, alias Kindle 1st Generation, habis diborong masyarakat hanya dalam waktu kurang dari enam jam.

Kindle sukses. Namun, Amazon ingin lebih dari itu. Maka, sejak 2010 e-commerce tersebut mengambangkan varian baru Kindle: Fire. Baik Fire Phone maupun Fire Tablet.

Dan karena Kindle bukan lagi hanya perangkat untuk membaca buku, Amazon perlu “otak” baru dalam tubuh perangkatnya itu. Maka, lahirlah “Fire OS.”

Fire OS merupakan sistem operasi mobile bikinan Amazon yang digunakan untuk produk-produk bermerek Fire. Fire OS ialah “fork” dari Android, atau secara sederhana, lahir dikembangkan dari Android polosan, sesuatu yang hanya bisa didapatkan Huawei kini.

Karena Fire OS merupakan fork Android, tidak ada layanan-layanan Google termaktub dalam OS tersebut. Amazon, mengembangkan alternatifnya pula. Sebagai pengganti Play Store, Amazon merilis Amazon App Store. Pada 2011, Amazon App Store berawal hanya dengan 3.800 aplikasi. Per Januari 2019, aplikasi di toko aplikasi tersebut telah mencapai lebih dari 450 ribu aplikasi.

Selain itu, dan jadi yang utama, Amazon mengembangkan ekosistem “all-in-one” bagi Fire. Melalui layanan bernama Prime, Amazon seakan menciptakan aplikasi pesing bagi Netflix, Spotify, bahkan hingga Google Assistant.

Amazon cukup sukses dengan Fire-nya, khususnya di segmen tablet. Pada kuartal 1-2017, mereka mengapalkan 4,4 juta Fire Tablet.

Namun, merujuk Wired, tujuan utama Amazon menciptakan lini Fire bukanlah untuk mendulang uang, melainkan sebagai pemancing pengguna Fire berkunjung ke Amazon.com sebagai e-commerce. Setidaknya, 80 juta pengunjung unik tercipta dari Fire.

Diceraikan Google bukanlah akhir segala bagi Huawei. Bahkan, sesungguhnya Huawei (beserta perusahaan Cina lainnya) bisa melakukan serangan balik. Alasannya, pertama, Huawei, khusus di pasar Cina, bekerja tanpa bantuan Google karena perusahaan AS itu diblokir. Karena The Great Firewall of China, Huawei (beserta perusahaan Cina lainnya) mengembangkan Android-nya sendiri. Huawei, di pasar Cina, memiliki toko aplikasi sendiri.

Selain itu, Sam Byford, dalam tulisannya di The Verge, menyebut secara tersirat bahwa 2018 adalah tahunnya perusahaan Cina. “Terjadi Peningkatan kemajuan perangkat keras buatan China, dari ponsel berkamera superlatif, pengisian super, hingga pemindai sidik jari dalam layar.”

Pada 2018, Cina melahirkan Oppo Find X, Huawei P20 Pro, dan Vivo Nex. Ponsel-ponsel papan atas yang melahirkan inovasi menawan.

Terakhir, Huawei (beserta perusahaan Cina lainnya) memang tak perlu terlalu fokus pada Google dan beragam layanannya. WeChat, aplikasi pesan instan milik Tencent, telah membuktikannya. WeChat telah menjadi “everyday app” bagi penduduk Cina.

Baca juga artikel terkait HUAWEI atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani