Menuju konten utama

Diancam, Dibom, Dimutilasi: Nasib Jurnalis Anti-Korupsi di Eropa

Selama setahun terakhir, jumlah kasus pembunuhan jurnalis anti-korupsi di Eropa meningkat drastis.

Diancam, Dibom, Dimutilasi: Nasib Jurnalis Anti-Korupsi di Eropa
Seorang perempuan meletakkan karangan bunga di samping foto jurnalis televisi Viktoria Marinova dalam aksi berkabung di Monumen Kemerdekaan, Ruse, Bulgaria (8/10/18). AP Photo/Vadim Ghirda

tirto.id - Nasib tragis menimpa Viktoria Marinova, wartawan berusia 30 tahun asal Bulgaria. Ia diperkosa, dibunuh, dan tubuhnya dibuang di taman dekat Sungai Danube. Jasadnya ditemukan polisi pada Sabtu (6/10), demikian lapor BBC. Hasil pemeriksaan awal menunjukkan pukulan yang menghantam kepalanya merupakan penyebab tewasnya Marinova.

“Sungguh brutal,” demikian komentar Menteri Dalam Negeri Bulgaria, Mladen Mladenov, tentang pembunuhan tersebut. Ia meminta aparat untuk mengusut kasus ini hingga tuntas dan menemukan motif pembunuhan yang sampai sekarang masih kabur.

Marinova dikenal sebagai wartawan stasiun televisi lokal, TVN. Namanya meroket sejak didapuk jadi pembawa acara program "Detector." Progam ini menyajikan liputan investigatif mengenai kasus-kasus besar. Episode pertamanya membahas tentang dugaan korupsi dana Uni Eropa yang dilakukan politisi dan pebisnis Bulgaria.

Bukan yang Pertama

Marinova adalah jurnalis keempat yang dibunuh di Eropa selama setahun terakhir.

Oktober 2017, jurnalis asal Malta, Daphne Caruana Galizia, tewas dalam ledakan bom yang menyasar mobil Peugeot 108 miliknya.

Seperti diwartakan The Guardian, sebelum meninggal, Caruana sedang menyelidiki Panama Papers yang melibatkan sejumlah pejabat korup di Malta. Salah satu temuannya yang paling penting adalah transaksi ilegal antara Perdana Menteri Malta, Joseph Muscat, dengan pemerintah Azerbaijan lewat perusahaan lepas pantai. Atas sepak terjangnya itu, Caruana kerap dijuluki "perempuan WikiLeaks."

Sebelum bom mengakhiri hidupnya, Caruana dibombardir sekitar 50 tuntutan hukum, mulai dari pencemaran nama baik sampai fitnah. Setelah Caruana meninggal, keluarganya pun masih terus diintimidasi, sampai-sampai mereka angkat kaki dari Malta.

“Yang dihadapi keluarga Caruana benar-benar mengerikan,” kata jurnalis Caroline Muscat. “Mereka bahkan tak punya banyak waktu untuk meratapi kehilangan.”

Muscat menambahkan, di Malta, kritik terhadap pemerintahan menjadi "hal yang sangat berbahaya." Pemerintah hampir mendominasi semua wacana publik dengan narasi bikinannya sendiri. Siapa yang menentang, bakal didiskreditkan dan diperlakukan "secara tak manusiawi."

“Caruana adalah puncak dari segala yang salah dengan sistem itu,” terangnya.

Tiga orang ditangkap polisi karena diduga kuat sebagai aktor peledakan yang menewaskan Caruana. Pemerintah Malta menyatakan bakal terus melakukan penyelidikan.

Nasib serupa juga dialami Jan Kuciak, jurnalis investigasi asal Slovakia. Februari kemarin, ia, bersama pacarnya, ditembak mati di dekat kediamannya di timur Bratislava. Menurut keterangan Kepala Kepolisian, Tibor Gaspar, penembakan Kuciak “telah direncanakan” dan “bukan hasil konfrontasi yang spontan.”

Tak lupa, Gaspar menambahkan bahwa pembunuhan Kuciak kemungkinan besar “ada hubungannya dengan investigasi yang dilakukannya.”

Kuciak, 27 tahun, adalah jurnalis portal berita Aktuality.sk. Sebelum tewas ditembak, ia sedang menggarap investigasi tentang penggelapan pajak yang melibatkan pejabat pemerintahan dan pebisnis Slovakia. Ia menemukan dugaan, penggelapan pajak tersebut terhubung dengan salah satu kompleks apartemen mewah di Bratislava.

Otoritas kepolisian Slovakia berhasil menangkap pembunuh Kuciak, yang ternyata adalah mantan polisi bernama Tomas S. Perempuan beridentitas Alena Z. membayar Tomas sebesar 70 ribu euro untuk menghabisi nyawa Kuciak.

Namun, tak ada yang lebih tragis dibanding nasib Kim Wall, jurnalis dari Swedia. Ia tewas dan tubuhnya dimutilasi oleh pengusaha kapal asal Denmark, Peter Madsen, dua bulan sebelum Caruana meninggal akibat ledakan bom.

Awalnya, Wall—yang juga koresponden The Guardian, Time, dan The New York Times—hendak melakukan wawancara dengan Madsen, sosok yang dikenal publik sebagai "pembuat kapal selam ternama." Setelah berbulan-bulan tanpa konfirmasi, akhirnya, pada Agustus 2017, Wall mendapatkan undangan untuk naik kapal milik Madsen.

Tak dinyana, agenda liputan tersebut harus dibayar dengan nyawa. Wall dibunuh secara brutal oleh Madsen. Pengadilan Denmark, catat The New York Times, menjatuhkan vonis seumur hidup bagi Madsen—sesuatu yang jarang terjadi di Denmark mengingat hukuman maksimal bagi para pelaku kejahatan adalah 12 tahun.

Marak Seiring Bangkitnya Populisme

Laporan berjudul “Far-Right Nationalism and Populism in Europe: Assaults on Press Freedom” yang disusun para peneliti Media Governance and Industries Research Lab University of Vienna (2017) mengatakan bahwa bangkitnya kelompok populis sayap kanan di beberapa negara Eropa disinyalir sebagai ancaman di balik kerja-kerja jurnalistik. Hasil laporan tersebut disusun dari pengamatan di 12 negara Eropa seperti Austria, Bosnia-Herzegovina, Bulgaria, sampai Serbia, dalam kurun waktu 2012-2016.

Di Bulgaria, misalnya, kebangkitan populisme sayap kanan turut berbanding terbalik dengan tingkat keamanan jurnalis. Mereka tak lagi bisa leluasa meliput kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat korup maupun organisasi kejahatan. Kepemilikan media pun cuma dikuasai oleh Ataka, partai ultra-nasionalis yang kini berkuasa.

Sedangkan di Polandia, wartawan juga dirisak oleh partai penguasa, Prawo i Sprawiedliwość (PiS). Walaupun tidak ada catatan kekerasan fisik, wartawan sering dihadapkan pada proses pemidanaan akibat liputan-liputan yang dianggap mencemarkan nama baik partai maupun pemerintahan. Contohnya bisa dilihat tatkala pemerintah mengancam penjara Tomasz Piatek setelah ia menunjukkan hubungan gelap Menteri Pertahanan Polandia dengan organisasi kejahatan di Rusia.

Situasi tak lebih cerah di negara-negara Eropa lainnya. Laporan Reporters Without Border—NGO asal Paris yang mendukung kebebasan pers—berjudul “RSF Index 2018: Journalists Are Murdered in Europe as Well” mencatat bahwa tokoh-tokoh politik dan pejabat pemerintah tak ragu menyerang wartawan secara verbal, melontarkan kata-kata penuh kebencian dan bernada merendahkan sehingga menciptakan iklim yang buruk bagi kerja-kerja jurnalisme.

Infografik Eropa memangsa pewarta

Perdana Menteri Slovakia Robert Fico, misalnya, menyebut wartawan "pelacur dekil anti-Slovakia." Dalam sebuah konferensi pers, Presiden Ceko, Milos Zeman, menyamakan wartawan dengan "seonggok tahi." Lalu, Perdana Menteri Serbia, Aleksandar Vucic, menggunakan media pro-pemerintah untuk mengintimidasi wartawan yang dituduhnya sebagai “pengkhianat” dan “mata-mata asing.” Di Albania, Perdana Menteri Edi Rama menyerang jurnalis dengan sebutan “bodoh,” “racun,” “penipu,” dan "musuh publik."

Kebijakan-kebijakan negara terkait media pun semakin menyulitkan wartawan. Masih menurut “RSF Index 2018: Journalists Are Murdered in Europe as Well,” pemerintah Kroasia terus mengintervensi stasiun radio dan televisi nasional HRT. Di Montenegro, pemerintah mengambil kendali penyiaran stasiun radio dan televisi nasional RTCG. Di Spanyol, liputan tentang referendum Catalan diboikot oleh manajemen TVE, perusahaan media milik negara.

Eropa telah lama dikenal sebagai tempat yang aman untuk kerja-kerja jurnalistik. Namun, seiring tumbuh pesatnya populisme sayap kanan dan pembunuhan jurnalis, pandangan itu nampaknya harus segera direvisi.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN PERS atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Hukum
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf