Menuju konten utama

Dialita Tak Lagi Bernyanyi Sendiri

Paduan Suara Dialita beranggotakan para penyintas Tragedi 1965 yang bernyanyi demi mewakili suara-suara yang dibungkam. Mereka menggali kembali lagu-lagu terlarang yang sebagian dikarang di dalam penjara, menyanyikannya, lalu kemudian merekamnya. Semua itu demi menghindari untaian sejarah yang telanjur hilang.

Dialita Tak Lagi Bernyanyi Sendiri
Konser Peluncuran Album "Dunia Milik Kita" oleh Paduan Suara Dialita di Beringin Soekarno, Universitas Sanata Dharma, Sabtu (1/10). [TIRTO/riva]

tirto.id - Apa yang terjadi jika satu biji beluntas jatuh di bebatuan? Jawabannya: ia akan tetap tumbuh, berbunga, dan menyebarkan biji-bijinya melewati himpitan bebatuan itu.

Tanaman beluntas dikenal sebagai gulma atau tanaman liar yang kerap tumbuh di pekarangan atau daerah-daerah dengan kontur tanah keras dan berbatu. Beluntas juga akrab sebagai sayuran yang biasa disajikan sebagai makanan di dalam penjara.

Alasan-alasan itulah yang tampaknya mendasari pemilihan beluntas sebagai bagian dari sampul album “Dunia Milik Kita” oleh Paduan Suara Dialita (Di Atas Lima Puluh Tahun). Beluntas adalah tanaman yang sangat familiar bagi mereka, baik sebagai bahan makanan, maupun sebagai perlambang semangat hidup dalam menghadapi penindasan.

Selain beluntas, sampul album “Dunia Milik Kita” juga dihiasi dengan gambar tanaman-tanaman liar yang lazim dipakai sebagai bahan makanan di penjara seperti sintrong, genjer, dan bunga jengger ayam.

Bagaikan beluntas yang senantiasa berusaha hidup di tengah bebatuan, Paduan Suara Dialita juga berusaha mengawetkan narasi sejarah yang terlupakan di tengah wacana-wacana besar yang mendominasi diskursus tentang Tragedi 1965.

Paduan Suara Dialita beranggotakan perempuan-perempuan tangguh yang menjadi penyintas dari Tragedi 1965. Sebagian dari mereka pernah merasakan dipenjara bertahun-tahun tanpa alasan yang jelas, sedangkan sebagian lagi pernah merasakan kehilangan sanak saudaranya akibat peristiwa yang sama.

Konser Pengawet Ingatan

Yogyakarta menjadi tempat yang dipilih sebagai tuan rumah peluncuran album “Dunia Milik Kita”. Acara ini digelar pada 1 Oktober 2016—bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila-- di Beringin Soekarno di tengah-tengah kompleks kampus Universitas Sanata Dharma, Mrican, Yogyakarta.

"Kami senang bisa menyanyi di sini, di bawah beringin yang ditanam oleh bapak bangsa kita, Soekarno," ujar ibu Uchi, salah satu anggota Dialita. Beberapa lagu yang dibawakan Dialita memang dibuat pada masa Demokrasi Terpimpin, sebuah masa dimana Presiden Soekarno tengah berada dalam puncak kekuasannya.

Konser peluncuran album “Dunia Milik Kita” diinisiasi oleh beberapa pihak seperti Indonesian Visual Art Archive (IVAA), Kedai Kebun Forum, netlabel Yes No Wave, dan bekerja sama dengan Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-hak Manusia (Pusdema) Sanata Dharma.

Hujan yang sempat mampir ke Yogyakarta sejak siang hari mulai reda menjelang acara dimulai. Sejak pukul 18.30, lokasi acara telah dipenuhi oleh para penonton yang datang dari berbagai usia. Anak-anak muda berbaur dengan para penonton paruh baya sabar menunggu sampai pintu masuk tempat konser dibuka.

Sekitar pukul 20.00, tirai yang membatasi antara kantin kampus dan lokasi konser di Beringin Soekarno mulai dibuka. Panitia kemudian meminta para penonton untuk berbaris tertib saat masuk. Mereka meminta kerumunan untuk mendahulukan penonton berusia lanjut untuk berdiri di barisan depan dan masuk ke tempat konser.

Setelah diawali oleh penampilan Leilani Hermiasih atau “Frau”, tibalah saatnya Paduan Suara Dialita naik panggung. Mereka mengenakan baju kebaya berwarna hijau dan dipadukan dengan kain bermotif batik.

Beberapa anggota Dialita yang usianya cukup sepuh harus berjalan dengan tertatih-tatih, Bahkan, ada yang harus dipapah oleh kawannya dan menggunakan tongkat. Namun, wajah mereka menyiratkan semangat yang tinggi dan selalu dihiasi oleh senyuman. Beberapa kali mereka melambaikan tangannya kepada para penonton.

Pada bagian pertama konser, Dialita memainkan empat lagu sekaligus yang dibuka dengan nomor “Salam Harapan” dan dilanjutkan dengan “Di Kaki-Kaki Tangkuban Perahu”.

Sebelum beranjak ke lagu ketiga, salah satu anggota Dialita, ibu Uchicowati Fauzia, menyapa penonton yang hadir. Ibu Uchi pun turut bercerita tentang alasan konser ini dilangsungkan di Yogyakarta.

“Kota Yogyakarta sangatlah spesial bagi kami, karena “Dunia Milik Kita” direkam di sini. Banyak musisi muda dari kota ini yang juga ikut serta dalam pambuatan album kami,” paparnya. Beberapa musisi Yogyakarta seperti Leilani Hermiasih (Frau), Nadya Hatta, dan Sisir Tanah memang terlibat dalam aransemen lagu-lagu di album ini.

Ibu Uchi mengaku bahwa Dialita sungguh bangga dapat ditonton oleh anak-anak muda. “Kami bahagia karena dalam “Dunia Milik Kita” ini, tiga generasi bisa bertemu dan bekerja bersama dalam satu karya,” ujar ibu Uchi sambil melontarkan senyumnya kepada para penonton.

Seketika para penonton menyambutnya dengan riuh tepuk tangan.

Pada lagu ketiga, yang bertajuk “Ujian”--gubahan ibu Jus Djubariah saat mendekam di Penjara Bukit Duri Jakarta –suasana haru mulai melingkupi penonton.

“Ujian” diawali dengan solo vokal lirih dari ibu Nasti Rukmawati : “Dari balik jeruji besi, hatiku diuji, apa aku emas sejati, ataukah imitasi....”. Sepanjang lagu dimainkan, suasana hening menyergap penonton yang datang.

Nuansa haru makin kentara saat bagian reffrain dimainkan.

“Meskipun kini, hujan deras menimpa bumi, penuh derita, topan badai memecah ombak...”

“Merinding aku,” ujar seorang penonton di samping penulis. Matanya tampak berkaca-kaca.

Selepas “Ujian”, Dialita memainkan satu nomor lagi yaitu “Lagu Untuk Anakku”. Setelah itu, mereka turun panggung untuk rehat sejenak. Acara kemudian diisi oleh penampilan Keroncong Agawe Sentosa yang memainkan dua lagu.

Di sela-sela rehat, pembawa acara mempersilakan penonton untuk menukarkan kupon makanan ringan.

Makanan ringan yang disiapkan oleh panitia dan komunitas studi pangan Bakudapan cukup istimewa karena berisikan makanan-makanan yang biasa dikonsumsi para tahanan di penjara : bulgur, bluntas, genjer, dan bunga jengger ayam. Tak heran, banyak penonton yang tidak familiar dan tidak doyan memakannya, sehingga mereka akhirnya membuang makanan tersebut tanpa dihabiskan.

Mbok dihabiskan dong. Itu makanan mereka di penjara, lho,” celetuk salah seorang penonton kepada kawannya. Yang ditegur hanya bisa tertawa.

Sesi kedua dimulai dengan nomor “Taman Bunga Plantungan”. Sebelum masuk ke lagu berikutnya, ibu Uchi kembali berbicara untuk memperkenalkan lagu-lagu Dialita kepada para penonton.

“Lagu-lagu yang kami bawakan adalah lagu bisu, lagu yang dibungkam dan tidak boleh dimainkan pasca '65. Tapi sekarang bisa dinyanyikan lagi di Yogyakarta,” ujarnya sambil tertawa. Penonton pun kembali bertepuk tangan dan bersorak.

Pertunjukan dilanjutkan dengan nomor “Kupandang Langit dan “Asia Afrika Bersatu”. Berbeda dengan sesi pertama, lagu-lagu di sesi berikutnya cenderung berirama lebih rancak dan ceria. Ibu-ibu Dialita pun sesekali mengepalkan tangannya saat bernyanyi.

Selesai “Asia Afrika Bersatu” dimainkan, pertunjukan kembali rehat sejenak. Sisir Tanah kemudian naik panggung untuk memainkan dua lagunya.

Sesi ketiga yang menjadi bagian terakhir pertunjukan ternyata berubah menjadi sesi paling ceria. Tiga buah lagu yang dimainkan, “Padi Untuk India”, “Dunia Milik Kita”, dan “Viva Ganefo”, seluruhnya merupakan lagu-lagu bertempo riang nan bersemangat.

Lagu-lagu di sesi terakhir ini sebagian besar diciptakan sebelum era '65, sebuah masa dimana Indonesia tengah berusaha berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Tak heran, sebagian besar lagu ini menyuarakan semangat kosmopolitanisme dengan irama yang rancak nan ceria.

Semangat kosmopolitanisme itu tampak dalam lagu "Viva Gaefo" yang liriknya ditulis dalam bahasa Spanyol. Dalam “Viva Ganefo” para anggota Dialita bahkan bernyanyi sambil saling berjoget. Sungguh pemandangan yang sangat menyenangkan melihat ibu-ibu Dialita kembali menemukan semangat hidupnya melalui musik.

Sejarah Lagu yang Dibisukan

Menyaksikan pertunjukan Dialita tidak hanya menyadarkan kita bahwa musik bisa menjadi media ampuh dalam merekam sejarah. Lebih dari itu, musik juga dapat berperan penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik itu bentuk solidaritas, memperjuangkan ketidakadilan, membangkitkan semangat perjuangan, serta menjadi terapi dalam membunuh rasa jenuh selama meringkuk di tahanan. Hal itulah yang digambarkan A.Alie dan kawan-kawan.

Pendudukan Inggris terhadap India pada tahun 1946 telah menyebabkan krisis pangan di India. Sebagai negara yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya, Indonesia ingin menyatakan solidaritasnya dengan cara menawarkan bantuan 700 ton beras ke India. Bentuk persaudaraan itu akhirnya direkam oleh A. Alie ke dalam sebuah lagu yang berjudul “Padi Untuk India”.

Hal tersebut juga terjadi di lagu “Asia Afrika Bersatu” karangan Sudharnoto. Lagu itu ditulis untuk menyambut Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika (KAA) di Gedung Merdeka, Bandung pada 18–24 April 1955 itu ingin mendorong perdamaian antar bangsa khususnya di Asia dan Afrika.

Lagu “Dunia Milik Kita” adalah lagu yang menggambarkan semangat reformasi 1998, yang membicarakan tentang keberagaman dan hak asasi manusia. Lagu ini ditulis pada 10 Desember 1998, bertepatan dengan peringatan hari HAM sedunia.

Sementara lagu “Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu” adalah lagu yang menceritakan tentang kehidupan kaum tani di kaki Tangkuban Perahu pada tahun 1960an. Mereka berjuang dan menuntut untuk mendapatkan haknya dengan melaksanakan UUBH ( Undang-undang Bagi Hasil) dan UUPA ( Undang-undang Pkok Agraria).

Situasi ini pada akhirnya diabadikan oleh Putu Oka Sukanta (lirik) dan M. Karatem (lagu dan musik) dalam lagu “Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu.” Lagu tersebut digubah pada tahun 1964 dan sempat dijadikan lagu wajib untuk Lomba Seriosa oleh RRI Pusat tahun 1965 dan 1967.

Lagu “Viva Ganevo” adalah lagu yang bernafaskan perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme. Lagu itu ditulis di tengah persiapan Ganefo (Games of New Emerging Forces), Asmono Martodipoero menciptakan sebuah lagu berbahasa Spanyol berjudul “Viva Ganefo”. Lagu itu dimainkan sendiri oleh Asmono dengan diiringi petikan gitar oleh Gordon Tobing.

Selain sebagai bentuk solidaritas album ini juga menceritakan pengalaman dan nasib para tahanan politik selama meringkuk dalam tahanan. Lirik dan lagu “Kupandang Langit” diciptakan Koesalah Soebagyo Toer pada saat menjadi tahanan politik di rumah tahanan Salemba, Jakarta. Koesalah (Adik kandung Pramoedya Ananta Toer) bersama ratusan orang lainnya yang dipenjara mencoba untuk membunuh rasa jenuh, dan merawat semangat agar bisa tetap ‘hidup’.

Lagu ini terinspirasi dari pohon kiara yang rindang di Salemba. Di sanalah tempat para tapol berkumpul, terutama usai sholat Jumat. Koesalah menulis lagu ini untuk memperteguh diri dan menyemangati kawan-kawannya.

Lagu “Untuk Anakku” adalah lagu yang diciptakan untuk menggambarkan ratusan ribu anak Indonesia yang tiba-tiba harus kehilangan orang tuanya karena dibunuh, dibuang atau dipenjara. Notasi lagu ini ditulis oleh Mayor Djuwito dan memberinya judul “Lagu untuk Anakku” kemudian memberikannya kepada Ibu Heryani Busono seraya berujar “Ini lagu untuk anak-anak kita, anak-anak yang terpaksa harus ikut menanggung penderitaan akibat tragedi politik bangsanya, anak-anak yang berhak tumbuh dengan cita-cita dan harapan akan masa depannya yang cerah. Tolong dibuatkan liriknya.”

Keduanya adalah tahanan politik (tapol) 1965, yang bersama dua ribuan tapol lainnya – sipil dan militer, perempuan dan laki-laki – ditahan oleh tentara di kamp Ambarawa, Jawa Tengah.

Lagu “Taman Bunga Plantungan” adalah lagu yang menggambarkan rasa cinta kasih dan penghargaan kepada sahabat-sahabat senasib yang sama-sama ditahan di pengasingan, antara lain Ibu Nurcahya, Ibu Mia Bustam, Ibu Rusiyati dan kawan-kawan. Pada saat itu mereka bertugas membuat taman di kamp Plantungan. Mereka adalah ibu-ibu tahanan politik yang ditangkap, ditahan, dibuang, diasingkan selama belasan tahun dan diperlakukan secara tak manusiawi tanpa proses pengadilan.

Hasil kerja keras mereka mendorong Ibu Zubaedah menciptakan lagu Kroncong “Taman Bunga Plantungan”. Lagu ini dibuat oleh Zubaedah Nungtjik.AR ketika ditahan di kamp Plantungan, perbatasan Kabupaten Kendal dan Batang, Jawa Tengah, pada tahun 1971.

Lagu “Salam Harapan” diciptakan oleh Ibu Zubaedah Nungtjik. AR di penjara Bukit Duri, Jakarta, untuk dipersembahkan kepada kawan-kawan sesama tahanan politik yang sedang berulang tahun.

Lagu “Ujian” diciptakan oleh Ibu Jus Djubariah di dalam penjara Buki Duri, Jakarta, tempat ratusan perempuan tua dan muda dari berbagai kalangan: intelektual, akademisi, ibu rumah tangga, pelajar, mahasiswa, pemuda, anggota parlemen, tokoh-tokoh pergerakan, pedagang, buruh, penulis, penyanyi, penari, dari umur belasan hingga enampuluhan tahun ditahan, disiksa, dipisahkan dari anak dan keluarga tanpa proses pengadilan dan tanpa tahu sampai berapa lama mereka harus menjalani hidup dengan serba ketidakpastian.

Ia sosok yang selalu penuh semangat. Di dalam penjara, ia terus berusaha menyemangati para remaja dan anak-anak muda supaya tidak berputus-asa. Lagu “Ujian” menjadi salah satu penyemangat bagi para tapol yang direnggut kebebasan dan hak-haknya oleh penguasa Orde Baru.

Jangan Berhenti Menyanyi!

Seluruh penonton sempat mengira konser akan selesai setelah lagu “Viva Ganefo”. Ternyata, ibu-bu Dialita masih bertahan di panggung dan menyanyikan satu nomor lagi berjudul “Persahabatan”. Nomor tersebut, uniknya, tidak dimasukkan ke dalam album “Dunia Milik Kita”.

“Lagu itu tidak masuk dalam album karena lagu itu selalu dinyanyikan ibu-ibu setelah konser atau pada saat mereka kumpul, karena lagu itu merupakan lagu untuk mengungkapkan harapan dan rasa syukur,” papar salah satu panitia acara,Venti Wijayanti, kepada tirto.id.

Dialita sempat merasakan saat-saat dimana mereka terpaksa menyanyi dalam hati dan lagu-lagu mereka dibawakan dalam diam. Hal ini menimbulkan tekanan bagi mereka yang ingin merasakan musik tidak hanya sebagai kegiatan individual, tetapi juga lelaku komunal dimana suara mereka lantang terdengar di hadapan orang-orang tanpa harus merasakan takut.

“Dulu kami sering merasa sedih, karena kita biasa menyanyi sendirian. Ada lagu, ada musik, tapi tidak ada penonton. Sekarang kami senang bisa bernyanyi bersama-sama semua yang hadir di sini,” kata ibu Uchi.

Semoga ibu-ibu Dialita selalu diberkahi oleh kesehatan dan kebahagiaan, karena mulai saat ini, ibu-ibu tidak akan lagi menyanyi sendirian.

Baca juga artikel terkait PADUAN SUARA atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Musik
Reporter: Putu Agung Nara Indra & Alexander Haryanto
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti