Menuju konten utama
8 November 2004

Di Zaman Ketua Umum Wahono, Golkar Dekat Lagi dengan Militer

Wahono adalah jenderal terakhir yang jadi Ketum Golkar. Di zamannya, Golkar mendekat lagi kepada tentara.

Di Zaman Ketua Umum Wahono, Golkar Dekat Lagi dengan Militer
Ilustrasi Mozaik Wahono. tirto.id/Sabit

tirto.id - Menteri Sekretaris Negara sekaligus Ketua Umum Golongan Karya (Golkar), Mayor Jenderal Sudharmono, memberi kabar baik kepada Menteri Dalam Negeri Jenderal Rudini. Sudharmono membawa pesan daripada bosnya, Presiden Soeharto, bahwa Rudini diperintahkan untuk menjadi Ketua Umum Golkar. Dengan kata lain, Sudharmono menyampaikan pesan kepada orang yang digadang-gadang akan menggantikan posisinya.

Rudini bukannya senang menerima tawaran itu, tetapi malah merasa ada yang tidak beres. Sebagai bawahan, Rudini tak mau Soeharto salah langkah. Jadi dia harus mengoreksi.

“Itu tidak baik, Pak,” kata Rudini kepada Sudharmono, yang saat itu hendak dijadikan wakil presiden oleh Soeharto.

Sudharmono, yang lebih senior dari Rudini, kaget dan berkata, “Lho, kenapa?”

“Saya ini Mendagri merangkap ketua LPU (Lembaga Pemilihan Umum) yang harus memimpin pemilihan umum yang pesertanya adalah Golkar, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan PPP (Partai Demokrasi Indonesia). Kalau saya Ketua Umum Golkar, berarti saya ini Ketua Umum Golkar yang sekaligus memimpin Pemilu. Ini kan tidak fair! Wong, saya peserta Pemilu, masak saya juga yang memimpin Pemilu. Sama saja saya memenangkan diri saya. Jadi, tidak baik, Pak,” jelas Rudini seperti dicatat Tjipta Lesmana dalam Dari Soekarno Sampai SBY (2009: 68).

Untung saja Soeharto menerima argumen penolakan Rudini. Jika tidak, di masa mendatang bahan untuk mengecam Soeharto terkait kemenangan Golkar tentu akan lebih banyak lagi.

Dalam suatu pertemuan dengan Rudini setelah penolakan itu, Soeharto bertanya, “Ya, sudah! Pokoknya sekarang siapa [yang akan dijadikan Ketua Umum Golkar]?”

Tak lama, Soeharto teringat Mayor Jenderal Wahono, yang ketika itu menjadi Gubernur Jawa Timur.

Lama Jadi Anak Buah Soeharto

Wahono bukan orang baru bagi Soeharto. Menurut catatan Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1988: 453), laki-laki kelahiran Tulungagung, 25 Maret 1925 ini berasal dari Divisi Brawijaya (Jawa Timur). Sepanjang kariernya di Angkatan Darat, dia pernah menjadi Asisten 2 (Operasi) Komando Operasi Pembebasan Irian Barat dan Asisten 2 di Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) ketika Soeharto jadi Pangkostrad.

Sepengakuan Soeharto dalam Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989: 124), ketika G30S meletus, Wahono diperintahkan Soeharto, selaku Panglima Kostrad, menghubungi Sarwo Edhie Wibowo, dalam rangka menyusun rencana merebut Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Kepada Wahono pula batalion raider yang dijebak ikut G30S kemudian datang melapor.

Di Kostrad, Wahono juga pernah jadi Panglima Kostrad (Pangkostrad), seperti Soeharto. Setelahnya dia sempat menjadi Panglima Kodam Brawijaya (Jawa Timur), daerah asalnya. Dari Jawa Timur, laki-laki yang sempat belajar di MULO ini lalu sempat dijadikan Deputi KSAD. Sebelum jadi gubernur dia pernah jadi Direktur Jenderal Bea Cukai dan sebelumnya lagi sempat menjabat Duta Besar untuk Birma dan Nepal.

Demi menjadi Ketua Umum Golkar, Wahono pun ditarik ke Jakarta, dengan lebih dahulu dijadikan Inspektur Jenderal Pembangunan (Irjenbang). Wahono tidak aktif di pengurus pusat Golkar sebelumnya, karena posnya sebagai gubernur di Jawa Timur. Bisa dibilang, Wahono adalah sosok yang kurang dikenal. Wahono akhirnya didukung dan diterima menjadi Ketua Umum Golkar. Ketika Wahono menjadi ketua umum, posisi sekretaris jenderal dipegang Rachmat Witoelar.

“Banyak pengamat beranggapan bahwa Wahono dipilih karena hubungan dekatnya dengan Soeharto dan karena reputasinya sebagai seorang tokoh tanpa ambisi politik,” tulis Leo Suryadinata dalam Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik (1992: 133).

Sementara menurut Ridwan Saidi dalam Golkar Pasca Pemilu 1992 (1993: 20), Wahono adalah “birokrat yang tekun.”

Infografik Mozaik Wahono

Infografik Mozaik Wahono. tirto.id/Fuad

Condong ke Militer

Di era Wahono memimpin Golkar, militer seolah-olah kembali moncer dalam dunia politik. Sutoro Eko dalam Transisi Demokrasi Indonesia (2003: 160) menyebut Wahono dianggap condong kepada kepentingan militer. Maklum, Wahono adalah serdadu. Kala itu Panglima ABRI adalah Try Sutrisno dan Leonardus Benjamin Moerdani adalah Menteri Pertahanan Keamanan (Menhankam).

Benny adalah orang penting dalam barisan jenderal Soeharto. Militer memang angker di zaman Benny mengurusi tentara. Seperti biasa di zaman Orde Baru, Golkar tetap “manunggal” bersama ABRI dan jajaran birokrasi. “Golkar tidak akan mengambil jarak dengan birokrasi dan ABRI,” kata Wahono seperti dikutip Leo Suryadinata (hlm. 153). Hubungan Golkar dengan ABRI di zaman itu tentu bukan suatu persekutuan aneh bagi publik.

Sementara itu, Wahono mengalami tantangan yang pelik. “Di bawah kepemimpinan Wahono, Golkar memasuki suatu periode yang cukup menarik karena di dalam masyarakat telah berkembang pelbagai isu tentang suksesi politik,” tulis Ridwan Saidi.

Nyatanya suksesi tak pernah terjadi zaman Wahono jadi Ketua Umum Golkar. Perjuangan pentingnya adalah Pemilu 1992, di mana Golkar menang lagi. Selain Golkar selalu menang, Soeharto juga selalu dipilih kembali tiap lima tahun.

Memasuki tahun kelima, Wahono tak dapat hadiah seperti Sudharmono, yang dijadikan wakil presiden. Untuk posisi itu, Soeharto setidaknya sudah punya B.J. Habibie atau Try Sutrisno. Pada 1993 Try Sutrisno lah yang diangkat sebagai wapres, sementara Habibie pada periode berikutnya.

Wahono kemudian menjadi Ketua DPR/MPR RI, dari 1992 hingga 1997.

Pemimpin Golkar terakhir dari kalangan jenderal ini tutup usia pada 8 November 2004--tepat hari ini 16 tahun silam. Soeharto di masa ini tidak mau menggantungkan diri kepada kelompok ABRI saja dalam menjaga kekuatan politiknya. Setelah Wahono lengser dari kepemimpinan Golkar, penggantinya adalah seorang tokoh media yang penting bagi Soeharto: Harmoko.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 24 Juli 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Fadrik Aziz Firdausi