Menuju konten utama
Seri Pesantren Progresif

Di Pesantren Misykat, Keragaman Ditanam, Krisis Iklim Dilawan

Mengedepankan konsep inklusi dan fleksibilitas, Pesantren Misykat Al-Anwar berupaya memberi ruang aman untuk siapapun sembari berjuang melawan krisis iklim.

Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar. tirto.id/Ecun

tirto.id - “Saya punya trauma di pesantren.”

Kalimat itu diucapkan dengan sangat pelan oleh Nadit, 23 tahun, saat saya temui pada pekan ketiga Februari lalu. Sebelumnya, Nadit pernah mencoba proses belajar di sebuah pesantren di Tasikmalaya, Jawa Barat, namun yang didapat justru praktik diskriminatif. Ia dianggap berbeda dari santri lain.

Trauma yang dirasakan Nadit bukan tanpa sebab. Kepada saya, sarjana lulusan sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Barat itu mengaku dirinya adalah seorang queer. Identitasnya sebagai queer membuat ia sulit menemukan ruang aman di pondok pesantren.

Dalam sejumlah literatur, istilah “queer” sering digunakan seseorang untuk menentukan orientasi seksual dan identitas gender yang masih dalam proses pencarian diri, namun sudah cukup yakin tak mau menyebut dirinya heteroseksual, cisgender atau gender biner. Ada juga yang sudah yakin, namun tetap tak ingin melabel dirinya sebagai heteroseksual, cisgender atau gender biner.

Banyak tafsir biner dalam agama-agama di Indonesia yang seringkali menyudutkan kelompok queer. Mereka kerap ditolak alih-alih dirangkul.

Trauma yang dirasakan Nadit perlahan luntur saat berkenalan dengan Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar yang berada di Kota Bogor, Jawa Barat. Saat saya temui, hari itu, 18 Februari 2023, adalah hari kelima Nadit mengikuti kelas berseri tentang ekonomi politik lingkungan di pondok pesantren itu.

Perkenalan pertama Nadit dengan pesantren tersebut berawal saat dirinya bertemu dengan Roy Murtadho—salah seorang pengasuh pesantren tersebut—pada Oktober tahun lalu. Si pengasuh akrab disapa Gus Roy.

“Gus, saya ini queer. Bagaimana kalau mondok di Misykat Al-Anwar?”

“Enggak apa-apa. Orang santri-santrinya sudah tahu kok tentang keberagaman, tentang queer dan sebagainya,” kata Nadit menirukan ucapan Roy.

“Oh, gitu ya, Gus. Tolong ya saya diberikan ruang aman.”

Sejak saat itulah Nadit memantapkan diri untuk mendaftar kelas berseri tersebut. Setelah lima hari mengikuti kelas tersebut, Nadit merasakan ruang aman itu di pondok pesantren.

“Saat belajar di sini, stigma saya terhadap pesantren jadi hilang,” katanya kepada saya. “Mereka enggak memandang bulu kepada saya. Saya enggak dibeda-bedakan. Enggak ada omongan yang menyinggung saya di sini.”

Saya juga bicara dengan Sang Kinasih, santriwati berumur 16 tahun asal Rembang, Jawa Tengah, yang sudah mondok selama dua tahun di Misykat Al-Anwar. Ia juga merupakan peserta di kelas berseri yang juga diikuti Nadit. Setelah berkenalan dengan Nadit, Kinasih justru merasa senang dan semakin yakin bahwa semua manusia—termasuk yang berbeda identitas gender dan orientasi seksualnya—perlu mendapat perlakuan yang sama dari sesama manusia.

“Saya lagi rutin baca-baca soal isu perempuan, gender, dan LGBT,” katanya kepada saya. “Ketika berkomunikasi langsung, saya enggak merasa adanya perbedaan antara saya dan Nadit.”

Kinasih bercerita, selama mondok di Misykat Al-Anwar, ia belajar bahwa ada ragam identitas gender dan orientasi seksual di luar dari heteronormatifitas masyarakat hingga ragam organisasi Islam dalam satu agama. Bahkan di Islam saja, ada organisasi seperti Nadlatul Ulama dan Muhammadiyah atau komunitas yang lebih kecil seperti Syiah hingga Ahmadiyah yang kerap dipersekusi.

“Saya tetap mencoba menghargai, enggak menghakimi,” katanya.

“Kami diajarkan untuk bisa berbuat baik kepada lingkungan, kepada alam, kepada orang-orang yang berbeda.”

Tentu kita mudah membayangkan masa depan Bogor yang bisa menjadi kota yang lebih inklusif dan toleran dengan berkaca lewat percakapan Nadit dan Kinasih. Padahal, kota ini pernah menjadi kota yang cukup bermasalah dengan menjamurnya praktik intoleransi.

Kota Bogor pernah masuk deretan peringkat anjlok dalam riset Indeks Kota Toleran (IKT) yang dibikin oleh SETARA Institute selama tiga kali: nomor paling bawah pada 2015, nomor tiga dari bawah pada 2017, dan nomor tujuh dari bawah pada 2018. Angka Kota Bogor sedikit membaik dalam riset tahun 2020 dan 2021 karena keluar dari 10 besar kota paling bawah indeks toleransinya. Riset tersebut digarap berbasis kebijakan pemerintah dan ucapan pejabat setempat untuk menjadi tolok ukur toleran atau tidaknya sebuah kota.

Direktur Riset SETARA Institute, Halili Hasan, mengatakan memang ada kemajuan yang cukup pesat untuk Kota Bogor. Katanya, kemajuan itu dilakukan langsung oleh Walikota Bogor Bima Arya, yang sebelumnya pada 2015 dan 2017 mengabaikan hasil temuan lembaganya.

“Walikota Bima Arya berbenah dengan menggunakan hasil temuan IKT,” kata Halili kepada saya, 4 Maret lalu.

Selain pernah mendeklarasikan Bogor sebagai kota toleran, Halili melihat Bima kerap membuat program dialog lintas agama, merayakan secara terbuka perbedaan dan keberagaman, menarasikan kembali kearifan lokal kota Bogor melalui perhelatan kesenian dan kebudayaan di acara Bogor Street Festival CGM 2020. Dan yang paling signifikan adalah menyelesaikan kasus pendirian rumah ibadah GKI Yasmin yang sudah terkatung-katung selama belasan tahun.

“Walikota Bogor Bima Arya memimpin langsung proses peletakan batu pertama pembangunan GKI Yasmin,” tambah Halili meyakinkan. “Langkah-langkah ini berhasil membuat Bogor keluar dari jurang konflik intoleransi.”

Pesantren Progresif di Sudut Kota Bogor

Untuk menuju tempat Nadit dan Kinasih belajar, kita hanya perlu menempuh jarak sekitar 12 kilometer yang lokasinya membelakangi Institut Pertanian Bogor (IPB). Setelahnya, kita hanya perlu mencari dua nama yang menjadi pengasuh Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar: Siti Barokah dan Roy Murtadho.

Mereka punya alasan khusus mengapa perlu menambahkan diksi "ekologi" ke dalam nama pesantren yang diambil dari buku karya salah satu filsuf Islam paling tenar, Al-Ghazali, yang dirintis sejak 2018 itu. Salah satu alasan utama karena masifnya konflik agraria dan perampasan lahan yang merusak lingkungan dan memiskinkan petani di Indonesia selama beberapa tahun terakhir.

Kebijakan pembangunan yang masif dilakukan rezim Joko Widodo selama hampir satu dekade terakhir selalu menyisakan korban-korban yang justru datang dari masyarakat kecil. Lucunya, mantan Walikota Solo itu justru mendesak generasi muda untuk jadi petani.

Pasangan suami istri itu ingin berikhtiar menjadikan pondok pesantrennya sebagai tempat belajar dan mondok alternatif dari anak-anak korban pembangunan yang tak memiliki uang dan akses ke lembaga pendidikan formal lainnya.

"Ada dua yang kami sasar: anak keluarga miskin kota korban penggusuran dan anak desa korban konflik sosial-ekonomi agraria. Mereka yang kesulitan cari sekolah," kata Oka, sapaan akrab Siti Barokah, kepada saya.

Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar

Kegiatan diskusi dan belajar mengajar di Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar, Bogor, Jawa Barat. Pesantren ini mengedepankan praktik pembelajaran yang kritis terhadap krisis iklim dan kerusakan lingkungan, termasuk juga inklusif terhadap ragam latar belakang ras, agama hingga orientasi seksual dan identitas gender.' - FOTO/Tim Media Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar

Menurut Oka dan Roy, konsep ekologi bisa menjelaskan banyak hal perkara hubungan manusia dan alam. Ekologi juga menjadi studi yang kerap dipakai untuk menjelaskan keberagaman. Semisal, sebuah lingkungan bisa disebut hutan jika isinya terdapat keanekaragaman hayati di dalamnya.

"Kalau satu per satu unsurnya mulai hilang atau dimonokultur, maka enggak bisa disebut hutan," kata Roy.

"Begitu juga dengan kehidupan manusia yang secara alamiah harus beragam, enggak bisa diseragamkan. Ada ragam identitas, agama, ras, suku. Kami merasa enggak sulit untuk mengajarkan keterbukaan, penerimaan terhadap identitas yang lain, sekaligus mengerti wawasan tentang ekologi politik," tambahnya.

Keterbukaan dan penerimaan terhadap identitas yang lain itulah Oka dan Roy ajarkan dan diskusikan kepada para santri, terutama soal identitas seksual atau keyakinan keagamaan yang berbeda.

"Jika pakai ukuran universal, kalau sudah disakiti, mau Cina, Kristen, gay atau hetero, kalau disakiti ya pasti terluka. Sama-sama manusia," kata Oka.

"Menurut kami keindahan seseorang itu kalau berpikirnya lurus, bertindak lurus, sudah menghormati orang itu indah sekali."

Selain memakai perspektif keberagaman dalam melihat ekologi, Roy dan Oka juga memakai pendekatan ekonomi politik kritis dalam melihat ekologi. Para santri diajarkan dan mendiskusikan bacaan kritis, kaidah berpikir logis, hingga argumentasi yang saintifik.

Salah satu program yang dijalankan oleh pondok adalah Sekolah Ekologi Politik—kelas berseri yang diikuti Nadit dan Kinasih. Selama sepekan, peserta kelas akan mendiskusikan ekologi politik, ekososialisme, bencana lingkungan hingga kapitalisme dan krisis iklim. Saat saya datang hari itu, saya juga bertemu sejumlah peserta kelas lainnya dari Pulau Halmahera, Maluku Utara—salah satu titik krisis lingkungan paling parah di Indonesia karena masifnya tambang nikel.

Roy mengaku banyak menginvestasikan modal awal pembangunan pondok pesantren ini untuk menyediakan buku dan literatur terbaik untuk jadi menjadi basis kajian di atas: novel-novel dunia, buku-buku ekonomi politik dan lingkungan berbahasa Inggris, termasuk teks-teks Islam.

"Kalian boleh baca semua itu sebagai alat yang menjelaskan dunia hari ini, kerana kita hidup di abad 21, di abad kapitalisme membawa kita pada krisis yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah manusia. Kerusakannya nyaris total. Mereka harus tahu itu," kata Roy.

Saya bertanya kepada Roy, mengapa perlu mempelajari ekologi dari sisi ekonomi politik untuk para santri? Dengan singkat, ia hanya menyitir ucapan Chico Mendes, aktivis buruh dan lingkungan asal Brazil yang ditembak mati pada akhir 1980an.

Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar

Keadaan salah satu ruang di Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar, Bogor, Jawa Barat, pada 18 Februari 2023 lalu. tirto.id/Haris

"Saya selalu bilang, ekologi harus politik. Enggak ada sesuatu yang enggak politis. Environmentalism without class struggle is just gardening. Bertanam saja. Kita enggak mengajarkan itu."

Kuncinya: Fleksibel dan Kolektif

Di Misykat Al-Anwar, Roy dan Oka menyiapkan paket B dan C—setara dengan SMP dan SMA—untuk para santri yang menempuh pendidikan di sini selama tiga tahun. Kendati mengusung sekolah alternatif, Oka bercerita bahwa Dinas Pendidikan Kota Bogor cukup memberikan keluwesan untuk Misykat Al-Anwar menjalankan kurikulumnya.

Setidaknya, santri SMP masuk kelas seminggu tiga kali, sedangkan siswa SMA masuk kelas seminggu empat kali. Para santri tetap akan mempelajari ragam studi seperti matematika, bahasa Indonesia, hingga bahasa Inggris, namun dengan waktunya lebih fleksibel dan tak sepadat sekolah formal lainnya.

"Satu hari paling cuma dua mata pelajaran. Terjadwal namun fleksibel," kata Oka.

Fleksibel yang dimaksud Oka adalah ketika ada pengajar tamu yang ikut mengisi kelas para santri. Para pengajar tamu bisa datang dari dosen-dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), mahasiswa magister atau doktoral yang sedang penelitian, atau bahkan orangtua siswa yang dianggap memiliki kapasitas untuk mengajar. Jika ada pengajar tamu, jadwal mata pelajar para siswa akan diubah. Fleksibilitas jadi hal yang lumrah di Misykat Al-Anwar.

Untuk pendidikan keagamaan Islam sendiri, ada beberapa mata pelajaran yang disediakan: aqidah, hadist, bahasa Arab, shorof, hingga fiqih.

INfografik Pesatren Ekologi Misykat Al-Anwar

INfografik Pesatren Ekologi Misykat Al-Anwar. tirto.id/Ecun

Selain ragam mata pelajaran yang terlihat sangat kaku dan membosankan tersebut, Roy dan Oka juga berusaha membangun ruang belajar yang tak hanya terbatas di dalam kelas. Para siswa kerap diajak jalan-jalan, melihat dunia luar yang begitu kompleks, dan mendiskusikannya.

Dengan metode seperti itu, para siswa akan diajak mendiskusikan pandangan, buku yang sedang dibaca, hingga proses perkembangan cara berpikir. Menurut Oka, lembaga pendidikan formal hari ini hanya mencerabut para siswanya dari realitas sesungguhnya di lapangan: kerusakan lingkungan, ketimpangan, dan praktik diskriminasi.

Oleh karena itu, Roy dan Okay tak pernah memberikan penilaian angka dalam hasil-hasil belajar para siswa. Para hanya perlu menarasikan apa saja yang mereka pelajari dan pahami tanpa perlu diberi nilai tertinggi atau terendah.

"Metode belajarnya kami diskusikan. Yang paling penting dari pendidikan itu value, bukan capital. Nilai hidup, bukan nilai angka," tambah Roy.

Yang menarik, Roy dan Oka ingin mempertahankan Misykat Al-Anwar untuk tetap mungil. Mereka hanya menampung tak lebih dari 30 santri setiap tahunnya. Mereka ingin membangun pesantren yang memungkinkan seluruh penghuninya saling kenal, intim dan hidup berkolektif.

Saat ini, 70 persen santrinya justru datang dari luar Bogor. Beberapa di antaranya berasal dari Nganjuk, Kebumen hingga Banyuwangi. Pernah ada santri dari Kalimantan namun sudah lulus.

Dengan jumlah santri yang tak banyak, hal tersebut mempermudah skema pembiayaan pesantren lewat subsidi dari orangtua mampu ke santri yang tidak mampu. Orangtua santri yang mampu diharapkan bisa membiayai seorang santri yang tak mampu sebesar 600 sampai 800 ribu rupiah per bulan untuk biaya makan.

"Kami menyebutnya dengan orangtua ideologis," kata Oka. "Tapi angka itu bukan patokan. Ada yang hanya mampir 400 ribu rupiah, tidak apa-apa."

"Anak-anak ini mungkin enggak ngerti yang bayar siapa, yang enggak bayar siapa. Jadi semua ini, yang enggak bayar dan yang bayar, mau yang bayar banyak, mau yang tidak bayar, sama saja."

Dari uang itulah para santri akan belanja, masak, dan mengatur menu secara kolektif untuk dimakan secara bersama.

"Di sini, mereka masak sendiri. Dipastikan mereka bayar atau enggak bayar, mampu atau enggak mampu, semua anak bisa makan sama-sama tiga atau bahkan empat kali sehari," tambah Oka.

Jumlah santri yang tak terlalu banyak ini juga memungkinkan para santri untuk merumuskan sendiri kesepakatan hukuman macam apa yang bisa diberikan bagi mereka yang melanggar aturan.

Menurut Oka, dengan para santri menentukan dan menyepakati sendiri hukumannya, mereka akan sadar ada konsekuensi yang ditanggung dari pilihan mereka sendiri.

"Nyapu, ngepel, masak, silakan. Asal enggak ada hukuman fisik. Kami enggak pernah memukul anak," tambah Roy.

Hal serupa juga terjadi dalam penyelesaian masalah. Hubungan kolektif para santri memungkinkan untuk menegosiasikan penyelesaian masalah tanpa harus menggunakan kekerasan.

"Kenapa kita itu bisa bertahan lama sebagai manusia? Karena kita bisa berorganisasi dan bersolidaritas, menyelesaikan masalah tidak dengan cakar-cakaran."

Baca juga artikel terkait PESANTREN atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Restu Diantina Putri
-->