Menuju konten utama

Di Negara Polisi Hindia Belanda, Kaum Oposisi Dibungkam

Hindia Belanda adalah contoh konkret bagaimana negara polisi pekerja. Polisi politik kolonial punya tugas dari mengawasi hingga menindak keras kaum oposan.

Di Negara Polisi Hindia Belanda, Kaum Oposisi Dibungkam
Polisi Hindia Belanda di Purwokerto. FOTO/KITLV

tirto.id - Sejak PNI berdiri pada Juli 1927, nama Sukarno sebagai orator tiada terbendung. PNI membesar dan Sukarno kian giat beragitasi di mana-mana. Setelah Sarekat Islam dan Tjokroaminoto turun pamor, juga pemberontakan gagal PKI pada 1926, Sukarno adalah eksponen pergerakan nasional yang paling menonjol.

Tapi pengaruh itu juga membawa konsekuensi. Rapat-rapat umum yang dihadiri Sukarno dan diawasi polisi menjadi pemandangan biasa pada saat itu. Tak hanya mengawasi, para polisi juga membuntuti Sukarno dan kawan-kawan ke mana pun mereka pergi.

“Mereka mengintipku seperti memburu binatang liar. Mereka melaporkan setiap gerak-gerikku. Sangat sulit untuk lepas dari pengawasan mereka,” ungkap si Bung dalam autobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007: 99).

Meski mulanya tak acuh, toh Sukarno sempat jengah juga. Tapi daripada bikin perhitungan langsung, Sukarno lebih suka mengerjai polisi-polisi yang membuntutinya.

Suatu kali Sukarno dan kawan-kawan PNI-nya sepakat bertemu di sebuah rumah bordil. Tentu saja mereka bermaksud rapat organisasi di sana, bukan lain-lain. Bubar rapat, mereka pulang dengan cara berpencar.

Memang benar rapat itu tak luput dari intipan polisi. Hanya saja mereka tak bisa lapor apa-apa karena tak bisa masuk rumah bordil sembarangan. Jadilah, esoknya Sukarno dipanggil menghadap Komisaris Besar Polisi Albrechts.

“Sekarang dengarlah, Tuan Sukarno, kami tahu dengan pasti, bahwa Anda semalam ada di sebuah rumah pelacuran. Apakah Anda mengingkarinya?” tanya si komisaris dalam interogasinya.

“Aku tidak dapat berdusta kepada Anda. Anda mengetahui aku, kukira,” jawab Sukarno enteng.

“Untuk apa? Kenapa Anda pergi ke sana?” sergah Komisaris Albrechts.

Di sini Sukarno merasa menang. Polisi memang tak berani asal masuk ke rumah bordil dan karenanya tak bisa memata-matainya. Sukarno lalu meneruskan keusilannya dengan mengaku ia ingin berkasih-kasihanan dengan seorang perempuan di sana.

“Kami akan membuat laporan lengkap mengenai hal ini,” ancam Komisaris Albrechts.

“Untuk siapa? Istriku?” kata Sukarno berlagak pilon.

Komisaris Albrechts menjawab sekenanya, “Tidak, untuk pemerintah.”

Sukarno tidak sendiri. Pada masa itu seorang aktivis pergerakan nasional dimata-matai polisi kolonial adalah sebuah kelaziman. Pengalaman serupa itu juga bisa didapati dalam memoar Hatta dan Tan Malaka. Dan lagi, mereka itu masih juga dihadapkan pada risiko penangkapan, sensor, pembubaran organisasi, hingga pengasingan.

Demikianlah Hindia Belanda bekerja sebagai negara polisi.

Negara Polisi Hindia Belanda

Penyebutan Hindia Belanda sebagai negara polisi agaknya sudah cukup jamak di kalangan sejarawan. Di antara yang menyebutnya demikian adalah Takashi Shiraishi dan Harry Poeze. Bahkan Gubernur Jenderal P.J.A. Idenburg pun menyebut demikian pula. Sementara itu sejarawan Henk Schulte Nordholt menyebut dengan istilah yang agak berlainan, meski medan maknanya mirip: negara kekerasan.

Lalu, apa itu negara polisi?

Seturut Merriam-Webster Dictionary, negara polisi ditandai oleh kontrol pemerintahan represif terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang biasanya dilakukan dengan kekuasaan arbitrer polisi atau intelijen sesuai dengan prosedur hukum yang diketahui secara publik.

Untuk konteks Hindia Belanda, Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda (2011) memberi pengertian sebagai, “negara yang secara berkelanjutan mereduksi persoalan yang muncul dari pergerakan (bangkitnya nasionalisme atau kebangsaan di kalangan masyarakat) menjadi sekadar masalah kepolisian” (hlm. 317-318).

Praktik yang paling banal dari pengertian itu adalah pembatasan terhadap kebebasan dan aktivitas politik warga dan pengawasan ketat terhadap gerak individu.

Bahkan pengawasan macam ini dilakukan secara kebablasan oleh pemerintah Hindia Belanda. Polisi kolonial tak hanya menyasar eksponen politik, tapi juga setiap individu yang dianggap punya potensi ancaman.

Simak misalnya cerita sejarawan Ong Hok Ham tentang akademikus kolonial asal Perancis bernama G.H. Bousquet dalam bunga rampai Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2003).

Cendekiawan ini mengunjungi Hindia Belanda pada 1930. Sebagai pengamat, Bousquet sebelumnya punya kekaguman dan citra positif tentang Hindia Belanda. Namun begitu sampai di sana seluruh kekagumannya luntur.

Ke mana-mana ia diawasi dan ceramah-ceramahnya diancam undang-undang subversi. Padahal ia adalah seorang konservatif yang cenderung setuju dengan kolonialisme dan ceramahnya pun tak berkaitan langsung dengan Hindia Belanda. Dalam penilaiannya, aparat Hindia Belanda terlalu banal dalam membelokkan hukum untuk mengamankan kepentingan pemerintah kolonial.

Menurut Ong Hok Ham, kebijakan polisionil diterapkan karena memang cocok untuk Belanda. Tak seperti Inggris dan Perancis yang besar dan militernya kuat, Belanda adalah negara kecil. Keadaan itu membuat Belanda harus pintar-pintar mengatur daerah jajahannya dengan meminimalisasi penggunaan senjata. Eksekusi dan hukuman mati sebisa mungkin dihindari karena Belanda tak menginginkan adanya martir yang bisa membangkitkan perlawanan rakyat jajahan.

“Oleh karena itu, politik Hindia-Belanda dalam menghadapi lawan-lawan politiknya adalah dengan mengantisipasi dan menghalangi gerak mereka,” tulis Ong Hok Ham (hlm. 173).

Lain itu, Hindia Belanda dijuluki negara polisi bukan hanya karena pengawasan ketat atas warganya. Bloembergen menyebut setidaknya ada tiga lagi alasan kuat yang mencirikannya. Pertama, memukul rata semua persoalan politik sebagai gangguan ketertiban dan keamanan. Kedua, adanya lembaga kepolisian yang diberi wewenang turut campur dalam politik warga. Ketiga, kepolisian menjadi alat negara yang langsung dikendalikan pemerintahan pusat (hlm. 319).

Represi Dinas Intelijen

Hindia Belanda tidak serta-merta jadi negara polisi sejak awal terbentuk. Bloembergen menandai itu baru terjadi pasca-Perang Dunia I. Saat perang berkecamuk di Eropa, Belanda mengambil sikap netral. Oleh sebab itu pemerintah Belanda merasa perlu memahami potensi-potensi yang bisa merusak netralitas tersebut, termasuk di negeri jajahannya.

Di Hindia Belanda kebutuhan itu meluas. Pemerintah kolonial, saat itu dikepalai Gubernur Jenderal van Limburg Stirum, merasa perlu juga mengumpulkan segala informasi perihal pergerakan kaum nasionalis yang sedang mekar. Posokan informasi ini nantinya akan digunakan untuk membuat kebijakan terhadap para aktivis pergerakan.

Demikianlah kemudian pada 1916 pemerintah kolonial membentuk Politieke Inlichtingen Dienst (PID) alias Dinas Intelijen Politik. Kantor dan agen-agen PID umumnya ditempatkan di kota-kota yang dianggap sarang oposan dan pergerakan politik radikal seperti Batavia, Bandung, Semarang, atau Surabaya.

Ketika Perang Dunia I berakhir, PID ikut dibubarkan pada 1919. Namun pemerintah kolonial justru ketagihan memanfaatkan fungsi intelijen itu. Dan lagi pergerakan nasionalis yang kian berani juga menakutkan pemerintah.

Maka, hanya berselang lima bulan dari pembubaran PID, pemerintah mendirikan lembaga baru bernama Algemene Recherche Dients (ARD). Tugas dan kewenangan ARD tidak berbeda dengan PID.

“ARD menjadi momok menakutkan bagi kaum pergerakan, yang selalu mengawasi setiap gerak-gerik mereka ke mana pun. Kongres, rapat, maupun pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh tokoh pergerakan tidak luput dari pengawasan ARD,” tulis Allan Akbar dalam Memata-matai Kaum Pergerakan: Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916-1934 (2013: 7).

Infografik Negara Polisi Hindia Belanda

Infografik Negara Polisi Hindia Belanda

ARD berkembang tak hanya jadi alat pengawasan, tapi juga alat menindak oposan yang “bandel”. ARD pun tak cuma mengumpulkan informasi dari agennya sendiri, tapi juga dari kepolisian umum. Agen-agen mereka hadir di rapat-rapat umum, mengawasi penerbitan kartu pers, menyensor media, merekomendasikan penangkapan dan pengasingan, hingga memata-matai tempat-tempat umum.

Sikap pemerintah kolonial terhadap pergerakan nasionalis kian mengeras usai pemberontakan PKI 1926-1927. Pemerintah kolonial yang merasa kecolongan pun mengevaluasi dan memperkeras ARD. Kemitraan dengan dinas intelijen kolonial Inggris dan Perancis juga dibangun untuk memperkuat ARD.

“Pemerintah tampaknya tidak lagi menenggang baik komunisme maupun gerakan-gerakan sosial-politik kemasyarakatan lainnya yang dianggap oleh polisi politik setara dengan itu. Ruang gerak pergerakan menjadi semakin sempit, sebaliknya ruang gerak polisi politik semakin luas,” tulis Bloembergen (hlm. 332).

Pengalaman Sukarno adalah salah satu contoh bagaimana polisi kolonial bekerja. Selain secara rahasia, mereka juga kerap hadir dalam rapat umum dan tak segan-segan memberhentikan pidato atau membubarkan rapat jika substansinya dianggap subversif.

Tindakan macam itu bahkan tak berhenti walaupun si bandel sudah kena pentung pemerintah kolonial. Ketika Sukarno diasingkan ke Ende (1934-1938), ia tetap dibuntuti ke mana pun pergi. Dia pernah pula dituduh melakukan kejahatan besar hanya karena mengajarkan lagu "Indonesia Raya" kepada anak-anak kampung tempatnya diasingkan.

Pemerintah kolonial sampai perlu menugaskan bangsawan setempat untuk menyelidiki perkara itu. Sukarno dianggap hendak merusak psikologi anak-anak di bawah umur. Meski kemudian hasil penyelidikan itu menunjukkan Sukarno tak bersalah, ia tetap kena hukum.

“Aku dipanggil ke kantor polisi, diperiksa dengan keras dan didenda sebesar 5 rupiah, senilai dua dollar,” kenang Sukarno dalam autobiografinya (hlm. 161).

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan