Menuju konten utama

Di Masa Depan, Plastik Tidak Lagi Dibuang

Pada 2050, produksi plastik diprediksi mencapai 1.124 juta ton

Di Masa Depan, Plastik Tidak Lagi Dibuang
Ilsutrasi Recycle. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Plastik memiliki beragam manfaat, tetapi bisa menjadi masalah ketika masyarakat tidak bijak dalam menggunakan maupun mengelolanya.

Menilik ke belakang, pada 1950, Our World in Data menyebut produksi plastik di seluruh dunia hanya 2 juta ton per tahun. World Economic Forum (WEF) kemudian memprediksi bahwa pada 2050 angka tersebut akan membengkak hingga 562 kali lipat alias mencapai 1.124 juta ton.

Jika tak dikelola serius, pencemaran sampah plastik tidak hanya merusak lingkungan secara sistematis, namun juga memicu timbulnya berbagai penyakit kronis pada manusia, serta membunuh hewan-hewan laut yang tak sengaja terjerat maupun mengonsumsi sampah tak terurai itu. Tirto pernah melaporkan bahwa pada 2014 lalu, dari setiap tiga ekor ikan di lautan, ada satu sampah plastik. Catatan tersebut tambah mengerikan mengingat sebagaimana diberitakan nationalgeographic, “teror” sampah plastik sudah sampai di kedalaman 10.994 meter Palung Mariana, palung paling dalam di muka bumi.

“Kita semua menginginkan dunia tanpa polusi plastik, tetapi kita tidak akan mau dunia tanpa plastik,” ujar Steve Russell dari American Chemistry Council.

Lantas, usaha apa lagi yang bisa kita lakukan?

Usaha dari Hulu ke Hilir

Ancaman sampah plastik telah mendorong beragam gerakan yang menyerukan gaya hidup bebas plastik, hingga munculnya produk-produk lokal ramah lingkungan seperti sedotan stainless dan alat makan bambu. Beberapa daerah—antara lain Bali, Bogor, Jambi, dan Balikpapan—bahkan telah menerapkan aturan penggunaan kantong plastik. Namun upaya massif tersebut masih belum cukup, dibutuhkan upaya kolektif dari seluruh pemangku kepentingan untuk bisa bersama-sama mencari solusi atas permasalahan itu.

Unilever, salah satu perusahaan tertua di dunia, tak tinggal diam. Di Indonesia, langkah nyata untuk menunjukkan kepedulian terhadap permasalahan sampah plastik sudah dilakukan jenama terebut sejak lama, mulai dari hulu, tengah, hingga hilir rantai bisnisnya. Ini merupakan realisasi dari strategi global Unilever Sustainable Living Plan (USLP ) yang dirancang untuk menumbuhkan bisnis secara berkelanjutan sembari mengurangi dampaknya terhadap lingkungan sekaligus meningkatkan manfaat sosial bagi masyarakat.

Infografik Advertorial Unilever Rinso

Infografik Advertorial Menuju Indonesia Bebas Sampah Plastik. tirto.id/Mojo

Di bagian hulu, penggunaan plastik pada rancangan produk dan kemasan dipertimbangkan sebaik mungkin melalui tiga kerangka kerja—mengurangi plastik, plastik yang lebih baik, dan tanpa plastik.

Lewat optimalisasi kemasan sachet produk Rinso, misalnya, Unilever berhasil menghemat 120 ton plastik pada 2018. Sepanjang 2016 hingga 2018, penggunaan plastik untuk mengemas tiap 1 ton merek deterjen pertama di Indonesia ini berhasil dikurangi hingga 13%. Penggunaan teknologi Chemical Foam Agent pada botol Rinso Cair pun terbukti dapat memangkas plastik sebanyak 2 ton per tahun (berdasarkan data volume penjualan setahun penuh pada 2018).

Secara global, Unilever memiliki tiga komitmen kuat dalam hal kemasan, yaitu mengurangi sepertiga berat kemasan plastik dan menggunakan minimal 25% konten plastik daur ulang dalam kemasan pada 2020, serta membuat 100% kemasan plastik yang digunakan dapat didaur ulang, dipakai kembali, atau diurai pada 2025.

Usaha dilanjutkan ke rantai tengah lewat edukasi cara bijak menggunakan plastik di 12.000 sekolah. Edukasi pemilahan sampah di level rumah tangga juga rutin dilakukan di berbagai kota/kabupaten melalui program Green and Clean, termasuk mengenalkan bank sampah ke beragam komunitas.

Kini, 2.816 unit bank sampah telah dibangun di 12 provinsi dan membantu mengurangi setidaknya 7.779 ton sampah non-organik. Unilever juga menambahkan 8 titik kumpul sampah flexible plastics (FP) atau kemasan multilayer di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Sidoarjo, Denpasar, Medan, Balikpapan, dan Makassar untuk memudahkan masyarakat berpartisipasi dalam memilah sampah.

Sampah kemasan multilayer selama ini hanya menjadi residu yang berakhir di TPA. Karena itu, Unilever mengajak masyarakat bersama-sama mengumpulkannya untuk kemudian disalurkan ke pabrik percontohan CreaSolv®. Teknologi pertama dan satu-satunya di dunia yang menciptakan kemasan baru dari bahan baku kemasan bekas ini hasil kerja sama dengan Fraunhofer Institute di Jerman.

“CreaSolv® Process merupakan sebuah tonggak penting bagi Unilever, terutama berkaitan dengan komitmen kami untuk mengurangi dampak lingkungan. Teknologi ini berpotensi menjadi solusi untuk mengatasi masalah sampah plastik fleksibel atau sampah kemasan sachet,” jelas Sancoyo Antarikso selaku Governance and Corporate Affairs Director Unilever Indonesia.

Inovasi di rantai paling ujung atau hilir ini sekaligus mengubah model ekonomi linear penggunaan plastik (ambil-gunakan-buang) menjadi ekonomi sirkular (ambil-gunakan-daur ulang-ambil), sehingga ke depannya tak ada lagi kemasan plastik yang terbuang sia-sia. Untuk mendukung penerapan konsep ekonomi sirkular ini, Unilever menggandeng pemerintah, salah satunya, melalui program Packaging and Recycling Association for Indonesia Sustainable Environment (PRAISE).

Kita tahu benar, mengatasi permasalahan sampah bukanlah hal mudah sehingga perlu peran aktif dan berkesinambungan dari berbagai pihak, termasuk kesadaran tiap pribadi untuk peduli. Unilever sudah berusaha, maka, sebagai konsumen cerdas, #YukMulaiBijakPlastik dengan ikut berperan di rantai tengah (pilah-kumpul). Keterlibatan kita memastikan bahwa usaha yang dirancang dari hulu ke hilir ini tak terputus demi hidup yang berkelanjutan dan jauh lebih baik dari hari ini.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis