Menuju konten utama

Di Jaksel, Kamu Bisa Menemukan Kuliner Betawi Terbaik

Seiring masyarakat Betawi terdesak dari pusat ibu kota sejak 1960-an, kuliner Betawi turut hijrah ke pinggiran Jakarta.

Di Jaksel, Kamu Bisa Menemukan Kuliner Betawi Terbaik
Ilustrasi: kuliner Betawi. tirto.id/Lugas

tirto.id - Dalam sebuah percakapan tengah malam yang disponsori oleh kopi, kacang, dan kretek, seorang teman berkelakar: Yang bisa mengancam keberagaman kuliner Indonesia itu bukan masakan asing, tapi masakan Padang.

“Bahkan saking banyaknya warung Padang, ada anekdot kalau nanti manusia sudah bisa dengan mudah melakukan perjalanan ke luar angkasa, pasti akan ada warung nasi Padang di bulan!” kata teman saya.

Kelakar itu menempel betul di ingatan, meski sudah lewat satu windu. Teman saya mengatakan kelakarnya tidak dengan nada benci atau tidak suka. Dia penyuka gulai otak dan tunjang. Namun, menurutnya, ekspansi warung Padang amat cepat sehingga membuat keteteran kuliner lain, bahkan di Jakarta sekalipun.

Saya berani bertaruh bahwa jumlah makanan yang menyajikan hidangan Minang pasti lebih banyak ketimbang warung yang menyajikan pecak gurame atau pucung gabus, dua hidangan Betawi yang kalah populer di kampungnya sendiri. Orang jelas lebih kenal rendang ketimbang, katakanlah, bubur ase.

Perkara ini, Bondan Winarno pernah menulis dengan nada kesal karena masakan Betawi yang makin terpinggirkan. Dalam catatannya, tak ada rumah makan atau restoran yang menyajikan kuliner Betawi sebagai fokus utama. Tak ada pula hidangan Betawi di aneka menu fine dining.

“Ironis! Di tengah kebangkitan kesadaran akan kuliner tradisional Indonesia yang kini sedang marak berlangsung, kuliner Betawi tetap saja mati suri dengan damai,” tulisnya dalam “Kuliner Betawi Kagak Ade Matinye”.

Apa yang dibilang Bondan bukan isapan jempol atau opini yang terjebak dalam romantisme belaka. Pada 2016, lima peneliti merilis makalah “Betawi Traditional Cuisines: Reflection the Native Culture of Jakarta (Formerly Known as Batavia)”. Para peneliti ini mendaftar 150 jenis makanan Betawi, dari kudapan hingga makanan utama. Respondennya terbagi tiga kategori: aboriginal (masyarakat asli Betawi), punya leluhur orang Betawi, dan yang bukan orang Betawi.

Dari hasil survei terhadap 330 responden yang tersebar di lima area administratif Jakarta, hanya enam kuliner Betawi yang amat populer: kerak telor, gado-gado, soto Betawi, roti buaya, nasi uduk, dan asinan Betawi. Sedangkan sekitar 91 jenis kuliner (60 persen) masuk dalam kategori recall, alias hanya diketahui beberapa orang saja.

Beberapa jenis kuliner yang masuk dalam kategori recall itu adalah masakan rumahan dan jajan pasar. Sementara 34 jenis makanan malah sama sekali tidak dikenal bahkan oleh orang Betawi asli sekalipun.

“Di sini, bisa kita lihat dengan jelas bahwa jenis makanan yang tidak dihidangkan di rumah atau dijual sebagai produk kuliner yang disantap tiap hari, maka kemungkinan mereka akan perlahan dilupakan,” tulis para peneliti.

Jakarta Selatan dan Benteng Terakhir Makanan Betawi

“Jangan lama-lama di sini, Beh.”

“Kenapa sih kok lu kayak takut gitu?”

“Bukan gitu, Beh. Ini kan bukan tanah kita lagi.”

“Gue tahu. Sebentar aja, kok. Biar lu tahu di sini itu bekas tanah leluhur lu. Lela, di sini rumah gue dulu.”

“Kok abang masih inget?”

“Ya masih ingetlah, orang gue dibrojolin di sini! Tuh jambannya di sono.”

Percakapan pada serial Si Doel Anak Sekolah itu menggambarkan bagaimana orang Betawi terusir dari tanahnya sendiri. Ada yang tanahnya dijual, ada pula yang digusur.

Tanah tempat Sabeni dilahirkan sudah jadi Stadion Gelora Bung Karno. Sedangkan pemakaman Bapak-Ibu Sabeni sudah jadi lapangan golf. Ketika keluarga Doel bermaksud ziarah, Sabeni berbicara dan memanjatkan doa di depan lubang golf. Dan rumah keluarga besar Doel bergeser makin ke selatan, di daerah Cinere, Depok, Jawa Barat.

Ketika proses penggusuran terjadi, banyak orang Betawi terpencar. Dalam esai “Kuningan dan Nasib Warga Betawi yang Tergusur”, wartawan-cum-sejarawan Alwi Shahab mengisahkan tentang para korban penggusuran Kuningan yang tinggal di Depok, Lenteng Agung, dan Bekasi. Mereka menjadi tukang ojek yang beroperasi di tanah kelahirannya. Mereka enggan benar-benar berpisah dengan tanah leluhur.

Keengganan yang sama itu ditunjukkan pula oleh Sabeni ketika Doel mendapatkan pekerjaan. Sabeni semula senang begitu anaknya yang "tukang insinyur" akhirnya dapat kerja setelah beberapa lama menganggur. Doel memberi tahu tempat kerjanya jauh.

Sabeni balik bertanya: jauhnya di mana? Bekasi, Depok, Karawang?

Ketika tahu Doel kerja di Natuna (yang sempat dianggap bagian dari Tangerang), Sabeni ngamuk bukan kepalang.

“Kagak bisa! Buat apa lu cari rejeki jauh-jauh di tengah lautan? Apa di Jakarta sudah abis rejeki?! Kagak usah! Gue nggak bakal ngizinin lu pergi ke sana! Orang dari mane-mane datang ke Jakarta cari rejeki, malah lu cari rejeki ke lautan!"

"Lu, kan, anak Betawi, harusnya lu bangun kota Betawi!”

Tri Wahyuning M. Irsyam dalam Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-1990-an (2017) menulis bahwa banyak orang Betawi ditawari untuk transmigrasi ke luar Jawa. Namun mereka menolak dan memilih untuk tinggal di dekat kampung, meski artinya harus pindah ke sekitar Depok, Bekasi, atau Tangerang.

“Keengganan untuk bertransmigrasi bagi sebagian besar orang Betawi disebabkan karakter mereka yang tidak mau meninggalkan kampung halamannya. Sekalipun mereka harus tergusur dengan alasan pembangunan atau alasan lain, mereka tetap memilih tempat tinggal yang tidak jauh dari tanah kelahirannya,” tulis Wahyuning.

Tergusurnya orang Betawi ke pinggiran Jakarta—juga ke Depok, Bekasi, hingga Tangerang—jelas turut membawa serta produk kebudayaan mereka, termasuk makanan. Karena itu pula, aman untuk berasumsi bahwa hidangan-hidangan Betawi kualitas yahud justru bisa ditemukan di pinggiran Jakarta, bukan di mal atau restoran mewah.

Dan, cita rasa Betawi yang terbaik terdapat di rumah makan pinggir jalan tanpa tempat parkir memadai, di dalam gang sempit, atau di meja-meja makan yang jadi satu dengan ruang tamu pemilik rumah.

Jakarta Selatan bisa dibilang sebagai salah satu benteng pertahanan terakhir kuliner Betawi di Ibu Kota. Di kawasan ini, banyak warung yang dinobatkan sebagai penyaji hidangan Betawi kualitas wahid.

Secara khusus, Bondan Winarno menyebut daerah-daerah seperti Kebayoran Lama, Ragunan, Jagakarsa, juga Srengseng Sawah sebagai kawasan rumah makan Betawi unggulan.

Paling masyhur adalah Rumah Makan Haji Muhayar di Jalan Margasatwa, Pasar Minggu, yang sudah berdiri sejak 1976. Bila jam makan siang, jalanan di sekitar macet dengan mobil parkir berjejer di bahu jalan demi bisa menyantap pepes atau pecak legendaris Haji Muhayar.

Atau, coba datangi Rumah Makan Haji Nasun di Srengseng Sawah, Jagakarsa, yang bersikeras cuma menyajikan tiga menu: pecak, pucung, dan sop daging sapi.

Salah satu idiom dalam dunia bela diri adalah: "Takutlah pada orang yang berlatih satu jurus selama ribuan kali, bukan orang yang berlatih ribuan jurus dalam satu kali." Berkat sikap fokus pada tiga hidangan itu, RM H. Nasun kerap masuk dalam daftar warung Betawi terbaik.

Ada pula Warung Betawie H. Apen, tak jauh dari Kebun Binatang Ragunan yang pecaknya dipuji oleh Bondan. Juga Warung Makan Betawi Hj. Manih yang kondang berkat masakan pecak gurame. Jangan lupa rumah makan Hj. Muroni di Gang Assirot, Kebayoran Lama, yang menyajikan laksa Betawi tanpa tanding.

Di luar nama-nama kondang itu, ada belasan dan puluhan warung makan Betawi yang tersebar di Jakarta Selatan. Secara umum, masakan yang hampir ada di tiap rumah makan Betawi adalah pecak dan pucung.

Namun, ada pula jenis masakan langka yang amat sukar ditemui, misalkan sayur besan.

Infografik HL Indepth Melongok Jakarta

Hikayat Sayur Besan

Sama seperti namanya, sayur besan biasanya hadir di acara pernikahan Betawi. Bahkan ada masa ketika sayur ini jadi hidangan wajib di tiap acara pernikahan. Bintang utama di sayur besan ini adalah terubuk (Saccharum edule)—ada yang menulisnya sebagai telubuk. Istilah lain adalah tebu telur. Pucuk tanaman terubuk mirip dengan batang serai dalam versi lebih gemuk. Ketika dikupas, ada bonggol yang mirip jagung muda, dengan butiran-butiran kecil bertekstur seperti telur ikan.

Terubuk sebagai hidangan mantenan bukan tanpa alasan. Dalam Hidangan Betawi (2007), dikisahkan terubuk yang isinya mirip telur tapi menyatu dalam satu bonggol ini adalah falsafah dari pernikahan: dua orang yang menjadi satu keluarga. Bondan Winarno mencatat terubuk bisa ditemui di khazanah kuliner Sunda sebagai cocolan untuk sambal. Sedangkan di Ternate, terubuk yang disebut sebagai sayur lilin dipakai sebagai isi untuk masakan kuah soru alias kuah asam.

Habitat alami terubuk di pinggir sungai. Seiring sungai yang makin jarang di Jakarta—dan kalaupun ada sungai tapi dipadati sampah—terubuk makin sukar ditemui. Di pasar biasa pun jarang orang menemukan terubuk. Hal ini turut membuat sayur besan makin sukar ditemui.

Di Jakarta, satu dari sedikit sekali (atau malah cuma satu-satunya) rumah makan yang menyajikan sayur besan adalah Dapur Betawi yang berlokasi di Pondok Cabe, perbatasan Jakarta Selatan dan Tangerang Selatan. Sarno, pemilik Dapur Betawi, pada 2012 membuka cabang di daerah Karang Tengah, perbatasan Jakarta Selatan dan Depok. Warung ini memasang slogan yang dipajang besar-besar di balihonya: “Makanan terlangka di dunia!” Tak salah, sebab sayur besan di Jakarta konon hanya dijual di tempat ini.

Di luar kelangkaan terubuk, resep sayur besan sebenarnya amat mudah dicari di internet, begitupun bumbunya: bawang merah, putih, cabai, santan, lengkuas, terasi, dan ebi. Selain terubuk, isian sayur besan berkisar antara kentang, kacang panjang, dan petai. Ada pula yang menambahkan bihun.

Mariani, satu dari lima juru masak di Dapur Betawi, memilih tak memakai ebi dalam kuah sayur besan. Alasannya sederhana: tidak semua orang suka aroma dan rasa ebi yang kuat, apalagi yang alergi udang. Maka, ia mengambil jalan tengah: kuah dibuat tanpa ebi. Tapi kegurihan kuah sayur besan buatannya tak berubah: Mlekoh karena santan yang medhok.

Seporsi sayur besan buatannya datang dalam bentuk menggoda. Kuah yang kuning kecokelatan, dengan minyak merah menggenang. Isiannya kentang, kacang panjang, dan petai yang menguarkan aroma wangi. Terubuk tampak menonjol dengan warna putih. Ketika digigit, amboi, butiran telur di dalamnya pelan-pelan pecah, menyebar, bersatu dalam kuah santan yang pekat, gurih, dan legit.

“Di sini, menu andalannya memang sayur besan, pecak gurame, dan gabus pucung,” ujar perempuan asli Betawi ini.

Dapur Betawi bisa menjual lima hingga sepuluh porsi sayur besan dalam sehari, tergantung keramaian pembeli. Mariani menyadari bahwa sayur besan adalah makanan Betawi langka. Beberapa pembeli sempat bertanya kenapa ia tak sekalian memasak sayur babanci yang bisa dibilang sudah “punah” dari rumah makan Betawi. Ternyata ia malah belum pernah dengar nama masakan itu sebelumnya.

“Karena tamu-tamu itu, saya jadi tahu ada masakan sayur babanci. Saya tanya ke orang-orang, katanya pakai kelapa, ya?” tanya perempuan awal 40-an ini.

Mariani tak sendirian dalam keterasingan terhadap makanan Betawi. Bahkan Mariani yang asli Betawi pun tak mengetahui banyak makanan leluhurnya, apalagi mencicipinya, apalagi memasaknya. Makanan Betawi, mengutip kata Bondan, memang berada dalam fase "mati suri."

Tapi di Jakarta Selatan, makanan Betawi tak pernah benar-benar tertidur.

Baca juga artikel terkait KULINER atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Fahri Salam