Menuju konten utama
Seri Sejarah Sains Indonesia

Di Hindia Belanda, Para Ilmuwan Menyingkap Misteri Malaria

Riset malaria di Hindia Belanda yang sempat terhenti semarak kembali berkat ekspedisi Robert Koch dan menghasilkan temuan-temuan penting bagi pengendalian penyakit itu.

Di Hindia Belanda, Para Ilmuwan Menyingkap Misteri Malaria
Pabrik kina sebagai obat Malaria pada era kolonial di Bandung (ca. 1920). FOTO/Tropenmuseum

tirto.id - Penelitian tentang malaria di Hindia Belanda pertama kali dilakukan Allard van der Scheer pada 1891. Saat van der Scheer mengakhiri masa tugasnya di Hindia Belanda pada 1898, tak ada koleganya yang melanjutkan penelitian-penelitian yang telah diinisiasinya. Sejenak penelitian malaria terhenti.

Namun, itu tak lama. Penelitian terkait malaria kembali dilakukan setahun kemudian. Seorang dokter asal Jerman bernama Robert Koch berkunjung ke Hindia Belanda dalam rangkaian ekspedisi penelitian tentang malaria di daerah tropis. Laporan penelitiannya yang berjudul “Professor Koch’s Investigations on Malaria” dapat dibaca dalam The British Medical Journal (Vol. 1, No. 2041, 1900).

Dokter Koch tiba di Batavia pada September 1899. Saat itu sebenarnya epidemi malaria di Batavia sudah mereda. Produksi pil kinine besar-besaran dan distribusinya yang cukup merata disinyalir telah berhasil menekan merebaknya wabah ini. Dalam 15 tahun terakhir, kasus malaria telah mereda sekitar 15 persen.

Karena itu, materi uji klinis malaria hampir susah didapat di Batavia sehingga tak memungkinkan riset etiologi yang mendalam. Dokter Koch akhirnya memfokuskan riset terkait apakah malaria dapat menjangkiti hewan. Dokter Koch menggunakan orangutan, owa (Hylobates agilis) dan siamang (Hylobates syndactylus) untuk percobaan infeksi.

Metodenya, hewan-hewan itu disuntik dengan darah pasien yang mengalami demam tertiana dan tropikana. Selanjutnya dilakukan observasi termometrik secara berkala. Setiap terjadi kenaikan suhu, maka darah kera-kera itu diteliti. Selama beberapa waktu fluktuasi suhu yang jadi karakteristik malaria tak terjadi, dan parasit malaria tak berkembang dalam darah primata-primata itu.

Kesimpulan sementara yang bisa dibuat: malaria tak bisa menjangkiti hewan. Tetapi, agaknya ia belum terlalu yakin dengan hasil itu.

“Jika kera yang dekat kekerabatannya dengan manusia kebal terhadap malaria—sebagaimana dibuktikan eksperimen ini—tak dapat dianggap bahwa hewan lain yang lebih jauh kekerabatannya dapat membawa parasit malaria dalam darahnya. Karen itu manusia tetaplah satu-satunya pembawa parasit ini,” tulis Koch dalam laporannya (hlm. 326).

Membuktikan Postulat Dokter Ross

Selain di Batavia, Dr. Koch juga melakukan riset di Ambarawa. Wilayah ini dipilih karena ada rumah sakit militer dengan fasilitas lengkap dan punya karakteristik sebagai daerah endemik malaria. Lanskap Ambarawa dengan luasan persawahan dan Rawa Peningnya sangat kondusif bagi berkembangnya malaria.

Di Ambarawa, Dr. Koch mengumpulkan dan meneliti sampel darah ratusan anak-anak di tiga desa yang dekat dengan area persawahan dan rawa. Hasilnya, ia berkesimpulan bahwa anak-anak, terutama yang balita, lebih rentan terjangkiti malaria. Tetapi, kekebalan terhadap malaria akan meningkat seiring bertambahnya usia.

Dr. Koch lalu melanjutkan penelitiannya dengan metode yang sama di daerah yang bebas malaria. Untuk keperluan ini ia mengunjungi desa Tosari di dataran tinggi Tengger sebagai objek penelitiannya. Dengan ketinggian 1.777 meter di atas permukaan laut, Tosari adalah tempat di mana tak ditemukan nyamuk tetapi terdapat kasus malaria di sana.

Sebanyak 82 anak usia satu sampai dua tahun diteliti dan tak ada satu pun yang terindikasi malaria. “Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa malaria tak hadir di Tosari dalam bentuk endemik, namun kami meyakini bahwa malaria tak sepenuhnya absen di Tosari,” tulis dokter peraih Penghargaan Nobel bidang kedokteran dan fisiologi 1905 itu (hlm. 326).

Tetapi kebetulan ada seorang lelaki dewasa yang terserang malaria di sana. Dokter Koch lantas menelusuri riwayat penyakit lelaki itu. Didapatinya petunjuk bahwa 12 hari sebelum mulai demam dia bepergian ke Pasuruan yang endemik malaria.

Dr. Koch yakin di sanalah ia terinfeksi. Beberapa kasus yang ditelitinya juga memberi petunjuk serupa. Sampailah ia pada kesimpulan: tak ada endemik malaria tanpa adanya nyamuk.

Kesimpulan Dokter Koch ini menguatkan postulat dokter Inggris Ronald Ross bahwa parasit malaria ditularkan oleh nyamuk. Dokter Ross telah memulai penelitiannya terkait malaria di India sejak 1895. Ia berusaha membuktikan hipotesis Dokter Laveran (penemu plasmodium) dan Dokter Patrick Manson dari Inggris bahwa plasmodium yang menjangkiti manusia dibawa oleh nyamuk.

Pada 20 Agustus 1897 di Secunderabad, India, Dokter Ross membuat penemuan bersejarah. Ia sedang membedah perut nyamuk genus anopheles yang sebelumnya menggigit manusia. Ia menemukan adanya parasit plasmodium di perut nyamuk itu. Melalui serangkaian riset lanjutan, Dokter Ross sampai pada kesimpulan bahwa nyamuk adalah inang plasmodium. Peraih Penghargaan Nobel 1902 itu juga berhasil menjabarkan siklus hidup parasit itu dan cara penularan malaria ke manusia.

Hasil riset Dokter Koch ini penting karena juga berhasil meyakinkan orang bahwa nyamuk adalah perantara malaria. Bagi penduduk Hindia Belanda kala itu, gagasan bahwa malaria disebabkan oleh nyamuk itu aneh. Alasannya sederhana: malaria tak ditemukan di semua tempat, sementara nyamuk ada di mana-mana.

Fakta bahwa plasmodium dibawa oleh nyamuk anopheles bisa menjelaskan kesalahan anggapan umum itu. Benar belaka bahwa tak setiap gigitan nyamuk berujung malaria, karena hanya nyamuk dari genus anopheles yang menyebarkan malaria di tempat-tempat tertentu.

Baca juga kisah Diponegoro yang terserang malaria di pengasingan:

Infografik Penelitian Malaria zaman kolonial

Riset Malaria Meningkat

Riset Dokter Koch di Hindia Belanda memicu meningkatnya minat riset malaria. Indikasinya adalah jumlah publikasi ilmiah tentang malaria di jurnal Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (GTNI) yang kian bertambah. Hal itu diamati Jan Peter Verhave dalam “First Phase of Modern Malaria Research in the Dutch Indies 1880-1918” yang jadi bagian buku The Medical Journal of the Dutch Indies 1852-1942: A Platform for Medical Research (2017: 404-407).

“Ekspedisi Robert Koch di Jawa adalah dorongan penting untuk penelitian malaria. Temuannya tentang imunitas terhadap malaria pada orang dewasa dan idenya memeriksa anak-anak untuk riset epidemiologi malaria layak mendapatkan monumen di Ambarawa,” tulis Verhave yang mantan malariologis di Radboud University Medical School Nijmegen, Belanda itu.

Salah satu peneliti yang menonjol setelah Dokter Koch pergi adalah rekan senegaranya, Dokter Wilhelm Schuffner. Dia telah menetap di Hindia Belanda sejak 1897. Sehari-hari ia adalah dokter di sebuah perkebunan di Deli, Sumatra Utara. Dokter Schuffner adalah orang yang menerapkan kewajiban pemeriksaan darah bagi pekerja perkebunan. Risetnya meliputi pengukuran limpa sebagai metode diagnosis dan pola hidup anopheles.

Ada juga Dokter Nicolaas Swellengrebel yang bersama dengan Dokter Schuffner meneliti plasmodium dan spesies-spesies anopheles yang jadi inangnya. Pada 1913, ia ikut membantu Dinas Kesehatan Kolonial mengatasi meledaknya malaria di Sibolga. Enam tahun kemudian, kedua dokter ini meneliti tentang imunitas terhadap malaria di Mandailing dengan memanfaatkan metode yang dipakai Dokter Koch.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan