Menuju konten utama

Di Era Orde Baru, Hutan Indonesia Digarong Penguasa & Konglomerat

Eksploitasi hutan yang serampangan dimulai sejak terbitnya UU Nomor 5/1967. Penguasa dan konglomerat jadi penentu izin kelola hutan.

Di Era Orde Baru, Hutan Indonesia Digarong Penguasa & Konglomerat
Ilustrasi hutan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia adalah negara dengan kawasan hutan tropis terluas kedua di dunia. Luasan hutan tropis Indonesia hanya kalah dari Brazil. Namun, predikat itu diambang usang.

Syahwal, sumber daya hutan berperan penting memutar roda perekonomian. Karena itu, Pemerintah Indonesia sangat mengakomodasi segala usaha pengolahan hasil hutan dengan pemberian konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan, hingga konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI).

Semula, rangkaian konsesi itu dirancang untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan pendapatan dan devisa negara, menyerap tenaga kerja, menggerakan roda ekonomi, dan meningkatkan pendapatan asli daerah.

Sayangnya, konsesi-konsesi itu justru diikuti dengan eksploitasi berlebihan yang merusak hutan dan menyulut konflik sosial. Banjir besar yang menerjang beberapa daerah di Kalimantan Selatan beberapa waktu lalu juga merupakan salah satu imbasnya.

Sekalangan aktivis lingkungan hidup mengaitkan banjir dengan kerusakan alam akibat konsesi hutan untuk perkebunan dan tambang. Tapi, pemerintah justru berkilah bahwa banjir itu semata akibat cuaca ekstrem. Pemerintah bahkan mengklaim bahwa jumlah pelepasan lahan hutan untuk konsesi perkebunan dan tambang jauh berkurang di era Presiden Joko Widodo.

Konsesi Hutan era Orde Baru

Jika merunut sejarah, perangkat hukum kehutanan di Indonesia sudah eksis sejak era kolonial. Namun, pengelolaan hutan tidak pernah benar-benar menjadi ujung tombak ekonomi Hindia Belanda. Pasalnya, pemerintah kolonial terhalang oleh berbagai aturan adat lokal yang tak bisa diganggu gugat. Oleh karena itu, pendapatan dari sektor kehutanan masih kalah dibandingkan sektor perdagangan laut atau agraria.

Tonggak mulanya eksploitasi sumber daya hutan di Indonesia justru bermula setelah Indonesia merdeka. Pada awal masa kekuasaan Soeharto, pemerintah menerbitkan Undang-undang No. 5/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Sejak itu, banyak korporasi berlomba-lomba mendapatkan HPH. Dalam periode 1967-1980, Orde Baru Soeharto tercatat menerbitkan 519 HPH dengan luas lahan konsesi sekira 53 juta hektar.

HPH diobral melalui kolusi-kolusi politik antara penguasa dan pengusaha. Tetek bengek persyaratan pengajuan HPH dan regulasi hanya jadi formalitas belaka. Bertahun-tahun setelahnya, masyarakat mulai terimbas dampak ekologis dari rusaknya hutan.

Data dari Food and Agricultural Organization (FAO) agaknya bisa memberi gambaran betapa masifnya skala perambahan hutan di Indonesia. Data FAO menunjukkan, luas kawasan hutan Indonesia semula diperkirakan mencapai 144,5 juta hektare. Pada 1990, luas tutupan hutan Indonesia tersisa 109 juta hektare.

Per 1995, pemerintah tercatat telah mengeluarkan 586 HPH dengan luas keseluruhan 63 juta hektare. Artinya, luas hutan Indonesia hanya akan tersisa setengahnya jika konsesi itu digunakan secara maksimal. Sejak itu, publik nasional dan internasional makin menaruh perhatian pada penerbitan konsesi hutan yang berlebihan.

Siun dalam disertasinya Hak Pengusahaan Hutan Indonesia (2005, PDF) menyebut, setidaknya ada empat permasalahan utama di sektor kehutanan Indonesia. Permasalahan itu meliputi perusakan hutan, kebakaran hutan, pembalakan liar, dan kebijakan kehutanan.

Menurut Siun, masalah-masalah itu muncul akibat minimnya keterlibatan ilmuwan dalam pengelolaan dan eksploitasi hutan. Idealnya, ilmuwan berperan menjaga prinsip-prinsip berkelanjutan dan meminimalisasi kerusakan alam dalam pemanfaatan hutan.

Di luar itu, makin banyaknya populasi yang menggantungkan hidup dari hasil eksploitasi hutan juga menjadi masalah tersendiri. Fenomena ini ikut menyebabkan terjadinya degradasi kualitas dan kuantitas hutan nasional.

Sementara itu, dari sisi legalitas, obral HPH juga menimbulkan kontroversi. Mayoritas area hutan konsesi adalah kawasan hutan yang belum dikukuhkan status hukumnya. Jadi, secara legal formal, wilayah hutan itu boleh jadi belum bisa dipastikan sebagai “milik negara”.

Oleh karena itu, mayoritas HPH yang diterbitkan pemerintah Orde Baru adalah bentuk penjarahan hutan nasional yang dilakukan secara vulgar.

Infografik Konsesi Hutan Era Orde Baru

Infografik Konsesi Hutan Era Orde Baru. tirto.id/Fuad

Kongkalikong Konglomerat

Salah satu pengusaha yang meraup keuntungan besar dari konsesi hutan pada masa Orde Baru adalah Bob Hasan. Dalam dunia bisnis, pria yang lahir di Semarang pada 1931 itu punya julukan si Raja Hutan Indonesia. Sejak 1971, dia mendapatkan privilese sebagai agen tunggal untuk menentukan perusahaan asing yang boleh mendapatkan hak pengelolaan hutan di Kalimantan.

Selain itu, tentu saja Bob punya jejeran perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan dan pengolahan kayu lapis. Semuanya usahanya dilakukan di bawah bendera Kalimanis Group. Bob juga sempat menjabat cukup lama sebagai ketua Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI).

Pada 1990, Bob selaku ketua APHI pernah mengungkapkan bahwa volume kayu yang ditebang dari hutan Indonesia mencapai 30 juta meter kubik per tahun. Baginya, jumlah itu sangat kecil jika dibandingkan dengan luas total hutan Indonesia. Maka Bob optimistis hutan akan menjadi salah satu sumber utama pendapatan negara dan kegiatan usahanya tidak akan merusak keseimbangan alam.

“Dalam kurun waktu tidak terlalu lama, rasanya tidak mustahil seluruh ekspor hasil hutan dan industri perhutanan akan mampu menyumbang sampai US$10 miliar,” kata Bob Hasan seperti dimuat harian Kompas (25 Oktober 1990).

Meski begitu, keyakinan Bob tidak cukup untuk menghindarkannya dari tuduhan perusak hutan. Di era Orde baru, penerbitan izin mengolah sumber daya hutan adalah perkara yang melibatkan birokrat, petinggi militer, hingga politisi tingkat nasional. Bagi banyak pihak, selain persyaratan yang tertera dalam regulasi, diperlukan pula suatu kedekatan personal dengan Soeharto dan kroni-kroninya.

Menurut profesor ilmu politik dari Amerika Serikat Jeffrey Winters, di era Orde Baru berkuasa, hutan dikelola dengan prinsip-prinsip yang mirip dengan prinsip mafia. Mereka mengandalkan satu tokoh utama yang akan menentukan siapa yang boleh dan siapa yang dilarang melakukan sesuatu. Semuanya berdasarkan pertimbangan yang sangat personal.

“Di masa suharto, Indonesia menjalankan sebuah pemerintahan oligarkis yang sangat berpusat pada perkotaan. Untuk urusan kepemilikan dan pengolahan tanah yang luas di daerah provinsi dan pedesaan, Soeharto mengandalkan anak buahnya dan orang-orang terdekatnya,” tulis Winters dalam bukunya Oligarchy (2011, hlm. 137).

Pola seperti ini sangat memungkinkan urusan kehutanan jatuh ke tangan-tangan yang tidak kompeten dan berorientasi bisnis belaka. Pada akhirnya, itulah yang merusak ekologi nasional.

Baca juga artikel terkait HUTAN HUJAN atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Fadrik Aziz Firdausi