Menuju konten utama

Di Balik Teguran Jokowi pada Ignasius Jonan dan Rini Soemarno

Jokowi menyorot kinerja menterinya terkait defisit dagang yang masih tinggi. Ia secara khusus mengingatkan Jonan dan Rini Soemarno soal impor migas yang selalu jadi biang defisit.

Di Balik Teguran Jokowi pada Ignasius Jonan dan Rini Soemarno
Presiden Joko Widodo memberikan arahan ketika memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (8/7/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Presiden Joko Widodo kembali menyorot kinerja perdagangan RI yang mencatat defisit cukup tinggi. Usai rapat paripurna kabinet di Istana Bogor, Senin (8/7/2019), Jokowi mengingatkan sejumlah menterinya untuk waspada terhadap posisi defisit yang sudah tekor 2,14 miliar dolar AS hingga akhir Mei 2019.

Meski lebih rendah ketimbang periode yang sama tahun lalu, yang mencapai 2,86 miliar dolar AS, tapi Jokowi menilai bahwa kinerja perdagangan masih bisa ditingkatkan dengan menekan impor dan mendongkrak ekspor.

Mantan Guberbur DKI ini bahkan secara khusus menyinggung Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan soal impor migas yang kerap jadi biang kerok defisit. Pada Mei lalu, neraca perdagangan migas sendiri tercatat defisit sebesar 3,747 miliar dolar AS.

“Coba dicermati angka-angka ini dari mana? Kenapa impor jadi sangat tinggi? Kalau didetailkan lagi migasnya ini naiknya gede sekali. Hati-hati di migas Pak Menteri ESDM yang berkaitan dengan ini, Bu Menteri BUMN yang berkaitan dengan ini, karena 'rate-nya' yang paling banyak ada di situ," ujar Jokowi seperti dikutip Antara.

Jika melihat data neraca perdagangan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), impor migas hingga Mei lalu memang tercatat masih lebih tinggi ketimbang non-migas, bahkan sejak tiga tahun terakhir.

Nilai impor migas pada Mei 2017, 2018 dan 2019 tercatat masing-masing sebesar 13,77 miliar dolar AS, 17,66 miliar dolar AS, dan 14,53 miliar dolar AS. Sementara nilai impor non-migas tercatat masing-masing sebesar 11,98 miliar dolar AS (2017), 14,80 miliar dolar AS (2018), dan 12,44 miliar dolar AS (2018).

Problem dalam neraca migas sendiri berasal dari perdagangan minyak mentah dan hasil minyak yang lebih banyak impor ketimbang ekspor. Sementara dalam neraca perdagangan gas, meski masih mengimpor, tercatat surplus karena ekspornya lebih tinggi.

Impor Minyak Mulai Turun

Kendati demikian, jika dilihat lebih jauh, neraca perdagangan minyak sudah mulai mengalami penurunan impor sepanjang Januari hingga Mei 2019--baik dari sisi volume maupun nilainya.

Minyak mentah, misalnya, turun cukup signifikan dibandingkan akhir 2018. Pada November dan Desember tahun lalu, impor minyak mentah masih berada di angka 660,3 dan 685,7 ribu ton. Dalam 5 bulan terakhir, volume impor bulanan turun jadi 171,6 ribu ton (Januari); 352,9 ribu ton (Februari); 266 ribu ton (Maret); 358,4 ribu ton (April) dan 318 ribu ton (Mei).

Sementara hasil minyak, yang pada November dan Desember 2018 masih berada di angka 217,8 dan 240 ribu ton juga mengalami hal serupa meski sempat naik pada periode Maret dan April. Secara bulanan, volume impor hasil minyak masing-masing sebesar 170,1 ribu ton (Januari); 168,6 ribu ton (Februari); 242,3 ribu ton (Maret); 216,1 ribu ton (April); dan 98,1 ribu ton (Mei).

Hal ini juga tak bisa lepas dari sejumlah upaya yang dilakukan Pertamina melalui Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM. Lewat sejumlah lobi serta dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM 42/2018, Pertamina mulai membeli minyak mentah dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ada di dalam negeri.

Hingga hari ini, kata Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman, perseroan pelat merah itu telah menyerap 116,9 barel per hari (MBCF) minyak mentah dari 37 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Dibandingkan dengan volume pembelian 2018, kata Fajriyah, penyerapan ini meningkat lebih dari 800 persen atau sebesar 12,8 MBCD. Nantinya, minyak mentah tersebut akan diolah kembali di kilang-kilang yang dimiliki oleh perseroan dan akan dijual secara komersial.

"Dengan mengambil minyak mentah dari dalam negeri, maka semakin mendukung upaya kami untuk mengamankan pasokan bahan baku untuk kilang-kilang Pertamina," kata dia, Selasa (2/7/2019).

Pertamina, lanjut Fajriyah, juga berencana memperluas kerja sama berdasarkan dengan kesepakatan bersama masing-masing KKKS agar mendapat pasokan minyak mentah lebih banyak.

Bahkan hingga kini, klaim Fajriyah, Pertamina sudah tidak lagi mengimpor minyak mentah jenis heavy dan super heavy dan hanya mengimpor jenis light and medium crude.

Sementara pada bulan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan bahwa pemerintah bakal menyetop impor solar dan avtur untuk memperbaiki neraca migas mulai Mei 2019.

"Kita mau pakai produk kami di dalam, yang diolah di sini," tegas Darmin. Produk dalam negeri yang dimaksud Darmin itu tak lain juga merupakan minyak yang dibeli Pertamina dari KKKS.

Mantan Gubernur Bank Indonesia itu mengatakan, bahwa upaya memperbaiki kondisi neraca dagang, khususnya dalam hal migas, sudah dilakukan bahkan jauh sebelum rapat paripurna kabinet digelar.

Namun, ia tak memungkiri bahwa kinerja itu harus terus ditingkatkan lewat berbagai kebijakan lain agar impor minyak mentah yang selama ini membebani neraca migas bisa menyusut lebih signifikan.

“Ya jangan [nunggu] ikutin kapan (Presiden) kesal atau enggak dong," ucapnya sebelum meninggalkan kantor Kemenko Perekonomian, pada Senin malam (8/7/2019).

Baca juga artikel terkait DEFISIT PERDAGANGAN atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz