Menuju konten utama

Di Balik Tahu dan Tempe yang Sulit Ditemukan di Awal Tahun

Tahu dan tempe sulit dicari di awal tahun. Di baliknya ada persoalan kronis, dari mulai para produsen yang mogok hingga ketergantungan terhadap impor.

Di Balik Tahu dan Tempe yang Sulit Ditemukan di Awal Tahun
Pekerja melakukan proses produksi tempe di Kelurahan Sunter, Jakarta Utara, Senin (4/1/2021). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Para produsen tempe dan tahu yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Produsen Tahu dan Tempe Indonesia (Gakoptindo) mogok produksi pada 1-3 Januari. Dampaknya pada awal tahun ini dua komoditas tersebut sempat sulit dicari di pasar. Mereka mogok karena harga kedelai impor naik sekitar 35-50 persen.

Ketua Gakoptindo Aip Syarifuddin mengatakan mereka mulai beroperasi lagi pada 4 Januari dengan menyesuaikan harga jual. Tempe dengan berat 250 gram yang bisa dijual dengan harga Rp3.000, misalnya, kini menjadi Rp3.500. “Kami naikkan harga itu hanya untuk menutupi kebutuhan makan [produksi] dan tidak rugi,” kata Aip kepada wartawan Tirto, Minggu (3/1/2021).

Kenaikan harga kedelai turut menyumbang inflasi Desember meski tak signifikan. Penyumbang inflasi biasanya komoditas seperti bawang, ayam, daging, atau beras. Harga tahu mentah pada Desember inflasi 0,06 persen, sedangkan tempe 0,05 persen. “Dua komoditas tersebut memberi andil yang sangat kecil terhadap inflasi nasional,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Setianto, Senin (4/1/2020).

Kenaikan harga kedelai disebabkan oleh meningkatkan konsumsi di tingkat global, terutama Cina, sementara penawaran relatif tetap. Desember lalu permintaan kedelai di negara itu naik dua kali lipat, dari 15 juta ton menjadi 30 juta ton. Harga pun terkerek, dari 11,92 dolar AS/bushels pada November menjadi 12,95 dolar AS/bushels per Desember. Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat harga rata-rata kedelai pada Desember 461 dolar AS/ton, naik 6 persen dibanding November.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi mengatakan faktor lain yang menyebabkan kenaikan harga kedelai impor adalah lamanya waktu transportasi. “Yang semula [kirim kedelai impor] ditempuh selama tiga minggu menjadi enam hingga sembilan minggu,” jelas dia, Senin.

Impor Menahun

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Senin lalu, berjanji menyelesaikan permasalahan bahan baku tempe dan tahu ini dengan mengupayakan produksi dalam negeri. “Ini membutuhkan 100 hari, minimal, kalau pertanaman. Dua kali 100 hari bisa kita sikapi secara bertahap sambil ada agenda seperti mempersiapkan ketersediaannya. Paling penting ketersediaannya, bukan cuman harga,” katanya di Kementerian Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta.

Produksi kedelai dalam negeri naik-turun. Pada 2010, produksi kedelai lokal hanya 907.031 ton, kemudian 2011 851.286 ton, 843.153 ton pada 2012, lalu 779.992 ton pada 2013. Pada 2014 produksi kedelai naik ke posisi 954.997 lalu naik tipis lagi di 2015 menjadi 963.183. Setelah itu panen kedelai tak lagi dicatat.

Di sisi lain, ketergantungan terhadap kedelai impor semakin dalam, setidaknya sejak 10 tahun terakhir. BPS mencatat, pada 2010, impor kedelai mencapai 1.740.504 ton, terus naik hingga 2.670.086 ton pada 2019. Tahun lalu, hingga Oktober, Indonesia sudah mengimpor kedelai 2,11 ton dengan total transaksi sebesar 842 juta dolar AS atau sekitar Rp 11,7 triliun (kurs Rp 14 ribu).

Negara yang paling banyak mengekspor kedelai menuju Indonesia adalah Amerika Serikat (AS), lalu Kanada, Malaysia, Argentina, dan Perancis.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan masalah di Indonesia adalah ketiadaan data definitif soal kebutuhan kedelai. “Berapa sih kebutuhan domestik? Itu yang simpang siur,” jelas dia kepada wartawan Tirto, Senin.

Masalah lain adalah ketiadaan kuota impor untuk kedelai. “Jadi [kalau] ada kelebihan kebutuhan dan dijual ke pasar, importir tetap untung.”

Ketergantungan terhadap kedelai impor membuat produksi dalam negeri tak maksimal, kata Guru Besar IPB University yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas. Ia mengatakan petani bisa menutup biaya produksi jika kedelai dijual dengan harga Rp12.000/kg. Masalahnya, kedelai impor di kisaran Rp9.500/kg.

“Mana ada petani lokal mau tanam di harga segitu? Lebih baik mereka tanam kacang hijau, harganya Rp15 ribu/kg,” katanya kepada wartawan Tirto, Senin.

Oleh karena itu pula menurutnya rencana Mentan SYL bukanlah solusi. Rencana ini, mengutip sebuah penelitian dari IPB, hanya akan memperpanjang berbagai rencana yang gagal “memberikan dampak yang signifikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor kedelai.”

“Kalau enam bulan misal kata Pak Mentan, okelah ditanam, terus dalam waktu yang bersamaan harga kedelai global stabil, ya, hancur lagi harga kedelai petani,” kata Dwi. “Persoalannya ada di kebijakan tarif, impor. Perbaikinya itu, jangan ke produksi dulu.”

Baca juga artikel terkait IMPOR KEDELAI atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino