Menuju konten utama

Di Balik Strategi Uniqlo Menggandeng Desainer Busana

Jadi perusahaan retail nomor wahid sedunia. Itulah cita-cita pendiri Uniqlo Tadashi Yanai.

Di Balik Strategi Uniqlo Menggandeng Desainer Busana
Tangkapan layar dari adegan video komersial produk busana kolaborasi antara JW ANDERSON X UNIQLO. YOUTUBE/@UNIQLOUSA

tirto.id - Hal paling menyedihkan bagi Tadashi Yanai, pria terkaya di Jepang, adalah jadi terkenal karena menjual barang-barang murah selama 10 tahun. Pada 1984, Yanai mendirikan Unique Clothing Warehouse, toko baju di Hiroshima yang menjual baju olahraga pabrikan AS dan Eropa seperti Nike dan Adidas dengan harga relatif murah. Saking larisnya, Yanai membuka 300-an cabang toko hingga 1998.

Tapi ia tak puas. Ia iri tiap kali melihat toko busana kasual seperti Marks & Spencer, Benetton, dan Gap yang bisa menciptakan produk sendiri dan jadi nama besar di banyak negara. Yanai ingin punya perusahaan serupa, tapi tak tahu bagaimana caranya. Sebagaimana dituturkan Fast Company, tak lama setelah keinginan itu muncul, Yanai bertemu pakar periklanan dan pemasaran John Jay yang pernah merancang model pemasaran pusat perbelanjaan kenamaan Bloomingdale.

Jay menyarankan Yanai untuk fokus memproduksi busana kasual yang menawarkan inovasi teknologi. Dari sana akhirnya muncul jenis-jenis produk seperti Lightweight (busana ultra-ringan) Heat Tech (yang berfungsi mempertahankan kehangatan suhu tubuh) dan Airism (pakaian yang bisa digunakan saat melakukan banyak aktivitas dalam ruang bersuhu tinggi).

Inovasi itu kemudian melekat dengan merek Uniqlo. Gerai toko pun menjamur di mana-mana. Laporan Statista menyebut pada 2004, ketika perubahan citra pertama kali dipraktikkan, Uniqlo hanya punya sembilan gerai. Pada 2018, Uniqlo memiliki 1.246 di seluruh belahan dunia.

Kepada jurnalis The Telegraph Kate Finnigan, Yanai mengatakan keinginannya agar Fast Retailing jadi perusahaan retail nomor satu. Ia menargetkan perusahaan pemegang jenama Uniqlo itu mampu mencapai angka penjualan sebesar 44 miliar dolar pada 2020.

“Aku ini sudah tua dan tidak lama lagi akan mati. Sebelum mati, aku ingin melakukan sesuatu yang berarti,” kata Yanai yang selalu menyebut Uniqlo sebagai perusahaan teknologi alih-alih perusahaan fesyen.

Mendirikan ‘perusahaan teknologi’ yang memproduksi busana kasual nampaknya membuat Yanai sadar bahwa tim desainnya tidak terlalu lihai mengeksplorasi berbagai model pakaian, khususnya yang kaya aksen dan detail. Walhasil, ia mengandalkan kolaborasi dengan para desainer AS dan Eropa yang punya nama dan basis pelanggan kuat agar Fast Retailing mampu memperluas pasar dan jadi bisnis retail nomor wahid.

Ide kolaborasi dengan desainer pertama kali dijajal pada 2007. Desainer pertama yang diajak terlibat adalah Phillip Lim, perancang busana muda keturunan Tiongkok yang berbasis di New York. Business of Fashion menyebut Lim sebagai salah satu ikon kebangkitan desainer Asia di ranah mode AS. Pada tahun yang sama Lim juga diganjar penghargaan "Emerging Talent in Womenswear" dari Council of Fashion Design America.

Fashionista melaporkan gerai-gerai Uniqlo dipadati pelanggan ketika koleksi sang desainer diluncurkan. Inilah yang membuat Uniqlo yakin untuk meneruskan kolaborasi dengan para desainer.

Setahun setelahnya mereka bekerjasama dengan Alexander Wang, seorang desainer dengan latar belakang yang nyaris serupa dengan Lim. Kisah suksesnya pun mirip. Bedanya, koleksi hasil kerjasama dengan Wang dibuat lebih eksklusif, yakni lima jenis desain terusan pendek tangan buntung.

Pada 2009, Yanai ingin mencoba hal baru. Ia meminta timnya menghubungi desainer asal Jerman Jil Sander yang waktu itu tengah vakum berkarya lantaran terkena masalah dengan investor. Kondisi psikologis Sander saat itu kurang prima. Satu-satunya kesempatan kembali berkarya di dunia mode datang dari Uniqlo.

Sander yang tidak pernah membuat karya untuk jenama fast fashion dengan harga di bawah 100 euro akhirnya menerima ajakan tersebut. Selama tiga tahun ia ditugaskan untuk mendesain koleksi dan memeriksa seluruh desain busana dan aksesori yang dibuat oleh tim desain internal Uniqlo.

Jil sendiri merancang serangkaian busana minim detail dan terkesan maskulin lewat berbagai varian produk coat. Koleksi kolaborasi yang diberi nama J+ itu mendapat respons positif dari publik. Pada 2014, beberapa desain J+ yang sempat laris di pasaran diproduksi ulang saking banyaknya permintaan.

Setelah Sander, Uniqlo mengajak desainer Christophe Lemaire untuk memegang peran sebagai konsultan kreatif sekaligus merancang koleksi spesial. Ajakan untuk Lemaire datang kala desainer ini baru saja melepas jabatan sebagai direktur kreatif lini mode asal Paris Hermes.

Lemaire menciptakan koleksi Uniqlo U. Di tangan Lemaire, sejumlah produk Uniqlo mampu mengingatkan publik pada nuansa desain busana Hermes yang terkesan elegan sekaligus minimalis. Bedanya, busana ala Hermes dengan bahan serta potongan busana yang baik itu bisa didapat dengan harga Rp200 ribuan.

Tahun lalu, lini busana ini kembali mengajak Wang bekerjasama untuk mendesain rangkaian produk Heat Tech. “Aku suka Heat Tech. Menurutku produk itu ibarat penyelamat hidup. Aku jadi sangat tertarik mendesainnya. Dan aku rasa mendesain produk yang bisa digunakan sehari-hari bikin karyaku lebih berdampak dibanding dengan rancangan-rancangan untuk fashion week,” katanya.

Beberapa hari lagi Uniqlo akan menjual koleksi spesial ketiga dengan desainer asal Inggris JW Anderson di Jakarta. Kerjasama dengan Anderson pertama kali dilakukan untuk koleksi musim dingin 2017. Kolaborasi dilakukan beberapa saat setelah Anderson menggelar pameran seni di Tate Modern London. Melalui busana bermotif, pria yang juga menjabat direktur kreatif label busana dan aksesori Loewe ini meninggalkan kesan yang berbeda pada Uniqlo.

Infografik Uniqlo x JW Anderson

Infografik Uniqlo x JW Anderson

Bila desainer lain mengagungkan material polos dan potongan busana sederhana, Anderson nampak hendak membombardir koleksi dengan motif garis yang menurutnya terinspirasi dari motif kaus pemain rugby. Dalam wawancara dengan Guardian, Anderson mengatakan bahwa idenya muncul karena kakak dan ayahnya adalah atlet rugby.

Kerjasama dengan perancang busana hanyalah sebagian kecil dari kolabroasi yang dilakukan Uniqlo. Selama ini Yanai juga bekerjasama dengan seniman, desainer furnitur, hingga perusahaan seperti Disney.

Beberapa media barat sempat meragukan kemampuan Yanai untuk jadi retail nomor satu. Tetapi yang jelas, Yanai sudah punya tekad untuk melipatgandakan jumlah toko di Asia Tenggara—sebuah kawasan dengan perkembangan penjualan tercepat—pada 2022.

Baca juga artikel terkait FASHION atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf