Menuju konten utama

Di Balik Rencana Jerman Terapkan Pajak Masjid

Pajak masjid dianggap mampu memutus kucuran aliran dana asing dan ekspor paham anti-demokrasi ke masjid-masjid di Jerman.

Di Balik Rencana Jerman Terapkan Pajak Masjid
Masjid Cologne Köln terbesar di jerman. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Rencana Jerman untuk menerapkan pungutan pajak masjid terus menuai dukungan dari mayoritas negara bagian.

Beberapa negara bagian telah memperingatkan kepada para pengurus masjid untuk dapat membiayai komunitasnya sendiri, termasuk membayar para imam masjid dari uang jemaah dan tak bergantung pada aliran dana asing.

Pemerintah federal memandang pemberlakuan pajak masjid bisa mengakhiri praktik penerimaan aliran dana dari pihak asing, menurut surat kabar Welt am Sonntag yang dilansir dari France24 (12/5). Pasalnya, aliran dana tersebut disinyalir turut mengiringi masuknya paham-paham anti-demokrasi dan radikalisme agama.

Aliran dana asing berasal dari Turki dan negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Qatar, dan Kuwait.

Juru bicara Kementerian Dalam Negeri untuk negara bagian Baden-Wuerttemberg, menyebut terdapat ancaman pengaruh asing terhadap konten teologis dan opini politik di masjid. Ini termasuk "konten atau aspirasi Islamis radikal atau anti-demokrasi" kata sang juru bicara.

Wacana pajak masjid mulai mengemuka sejak akhir Desember 2018. Ketika itu, beberapa politisi dan komunitas masjid memberi lampu hijau dukungannya terhadap pemberlakuan pajak masjid.

Anggota parlemen dari Partai Demokrat Sosial (SPD) yang berhaluan kiri-tengah, Burkhard Lischka menyetujui pungutan pajak masjid karena dapat mendorong umat muslim di Jerman agar dapat mandiri secara finansial.

Thorsten Frei, politisi dari Partai Kristen Demokratik (CDU) mengatakan pengaruh dana asing harus dilawan. Pendiri masjid liberal di Berlin, Seyran Ates menyebut bahwa Islam di Jerman memiliki pengaruh besar dari negara-negara asing dan mendorong umat muslim untuk membayar pajak masjid untuk membiayai kegiatan mereka sendiri.

Namun, ketua Dewan Islam Jerman melihat bahwa masjid-masjid di Jerman yang bergantung pada dana asing hanya segelintir dan mengklaim sebagian besar sudah didanai secara mandiri.

Pada 2018, Kementerian Luar Negeri Jerman ingin agar negara-negara asing yang menggelontorkan aliran dana ke masjid-masjid di Jerman didaftarkan ke pemerintah. Harian Süddeutsche Zeitung seperti dilansir dari Deutsche Welle menyebut, negara-negara Teluk juga diharuskan untuk mengirim peringatan kepada pemerintah Jerman jika ada suatu kelompok agama dari Jerman yang mencari dukungan atau pendanaan dari negara mereka.

Seiring masuknya ribuan pengungsi Timur Tengah, Pusat Penanggulangan Terorisme Jerman (GTAZ) telah mengawasi kegiatan para pendakwah Salafi di Jerman yang berasal dari negara-negara Teluk Arab sejak 2015.

GTAZ menjelaskan negara-negara Teluk macam Arab Saudi punya strategi jangka panjang untuk mempengaruhi kelompok-kelompok Islam radikal. Intelijen Jerman menyebut bahwa kelompok pendakwah dari negara-negara Teluk saling terkait dengan kaum Salafi di Jerman dan Eropa.

Pemerintah Jerman juga membekukan berbagai organisasi Islam ultra-konservatif dan menutup sebuah masjid yang terkait dengan aktivitas terorisme.

Masjid Al-Quds di Hamburg ditutup pada 2010 karena mengajarkan paham radikal dan menjadi tempat berkumpul para pelaku teror 11 September. Pada 2012, Millatu Ibrahim, kelompok Salafi yang beroperasi di tujuh negara bagian, juga dibubarkan. Tiga kelompok Salafi yaitu DawaFFM, Islamische Audios, dan An-Nussrah dibekukan dan anggotanya diringkus pada 2013. Pada 2016, organisasi True Religion digerebek dan ditutup karena diduga menjadi perekrut jihadis untuk diberangkatkan bertempur di Irak dan Suriah.

Sekitar 4.000 penganut Salafi tinggal di Jerman. Sejauh ini belum dapat diungkap berapa besar aliran dana yang ditransfer dari negara-negara Teluk ke kelompok-kelompok radikal maupun masjid di Jerman.

Menjamurnya Masjid Turki

Selain negara-negara Teluk Arab, nama Turki mencuat dalam daftar negara asing yang aktif mendanai masjid-masjid di Jerman. Bahkan pemerintah Turki memiliki organisasi Islam di Jerman bernama Turkish-Islamic Union of the Institute for Religion (DİTİB).

DİTİB mngelola sekitar 900 masjid di Jerman. Para imam yang menginduk DİTİB terlebih dahulu menjalani pendidikan di ibukota Ankara, Turki, sebelum dikirim kembali ke Jerman.

Mulanya, pemerintah Jerman ikut mengucurkan dana ke DİTİB yang digunakan untuk berbagai kegiatan sosial, termasuk penanganan para pengungsi Timur Tengah dan program kontra-terorisme. Dikutip dari The Local, pada 2016 DİTİB mendapat bantuan dana sebesar 3,27 juta euro. Setahun berikutnya, atau setelah peristiwa kudeta gagal, dana ke DİTİB berkurang hingga hanya 1,47 juta euro.

Sejak awal 2018, Jerman tak lagi mengucurkan dana ke yayasan yang berbasis di Koln ini. Pasalnya, DİTİB dinilai telah menjadi tangan kanan rezim Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Jerman. Beberapa imam diduga menerima tugas khusus dari para diplomat Turki pro-Erdogan untuk memata-matai pengikut gerakan Gulen yang dituding sebagai dalang di balik kudeta gagal 2016.

Saat hubungan Jerman dan Turki merenggang pada pertengahan 2017, seorang menteri Jerman mengatakan bahwa "ideologi-ideologi berbahaya tidak boleh diimpor ke Jerman melalui masjid-masjid tertentu".

Sekitar tiga juta orang keturunan Turki tinggal di Jerman. Setengahnya masih mempertahankan status kewarganegaraan Turki. Tak heran, Jerman menjadi medan pertarungan elite-elite Ankara ketika pemilu.

Strategi politik penguasa Turki di Jerman tampaknya berjalan efektif. Buktinya pada pemilu Turki 2015, 60 persen pemilih Turki di Jerman memilih Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), partai penguasa yang dipimpin Erdogan. Begitu pula dengan Pemilu 2018 di mana 65,8 persen warga Turki memilih Erdogan.

Jika pajak masjid diterapkan, tentu DİTİB bakal merasakan dampak langsung kehilangan kontrol dan wewenang atas pendanaannya ke ratusan masjid yang terafiliasi dengan agenda politik penguasa Turki.

Dalam opininya yang dimuat media pro-pemerintah Daily Sabah, Aydin Enes Seydanlioğlu mengklaim rencana memajaki masjid di Jerman bermuatan politis dan bukan kehendak umat muslim Jerman. Ia menilai kebijakan ini adalah bagian dari proyek "Islam Jerman" agar muslim setempat lebih liberal dan sekuler. Selain itu, ia menyatakan kebijakan tersebut akan memutus ikatan kultur dan agama antara negara Turki dan orang-orang Turki yang tinggal di Jerman.

Masjid Bebas Berdiri dan Tidak Terdata

Laporan Deutsche Welle yang ditulis Christoph Strack menunjukkan betapa sulitnya menghitung secara akurat jumlah bangunan atau asosiasi masjid di Jerman.

Masjid memang terdaftar secara hukum, tetapi hanya berstatus asosiasi atau perkumpulan komunitas. Hukum Jerman tidak mempertimbangkan apakah masjid punya cabang atau berdiri secara independen. Hal yang sama juga terjadi pada kuil-kuil Buddha di Jerman, di mana Buddhisme tengah mengalami lonjakan penganut.

"Menurut konstitusi Jerman, tidak ada persyaratan pendaftaran untuk asosiasi keagamaan (Islam)," kata seorang peneliti Islam, Michael Blume. Artinya, lanjut Blume, "selama komunitas agama atau asosiasi keagamaan bukanlah lembaga publik, mereka tidak terdaftar".

Infografik Pajak Masjid di Jerman

Infografik Pajak Masjid di Jerman

Hal ini berbeda dengan bangunan gereja atau sinagog. Konstitusi sudah memuat aturan tentang hubungan antara gereja dan negara. Biro Statistik Federal Jerman pun tiap tahun merilis buku tahunan mengenai daftar gereja-gereja arus utama dan komunitas keagamaan terkait.

Selain itu, gereja Katolik, Protestan dan sinagog Yahudi di Jerman sudah dipungut pajak. Uang yang terkumpul akan disebar lagi ke otoritas agama terkait. Beberapa negara Eropa lainnya seperti Austria, Swedia, dan Italia, juga sudah menerapkan pajak gereja.

Merujuk keterangan Dewan Pusat Muslim di Jerman, per awal Oktober 2018 tercatat ada sekitar 2.500 masjid. Blume sendiri memperkirakan ada sekitar 2.600 sampai 2.700 tempat ibadah muslim. Menurut Blume, jumlah tersebut bisa saja lebih banyak karena adanya masjid-masjid independen yang tak menginduk pada masjid lain yang lebih besar dan banyak bangunan masjid yang tak terlihat seperti tempat ibadah.

Sedangkan Bundestag (parlemen Jerman) memperkirakan terdapat sekitar 2.350 sampai 2.750 masjid yang melayani total 4,4 sampai 4,7 juta umat muslim Jerman. Penduduk Jerman sendiri jumlahnya mencapai lebih dari 80 juta jiwa.

Karena sifatnya longgar dan tak melulu terafiliasi dengan organisasi masjid, para jamaah tak punya cukup dana untuk menyokong biaya rumah tangga masjid. Akankah penerapan pajak masjid oleh pemerintah Jerman menjadi solusi pendanaan sejumlah masjid secara mandiri sekaligus efektif membendung paham ekstrim dari pihak luar?

Baca juga artikel terkait RADIKALISME AGAMA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf