Menuju konten utama

Di Balik Rasa Aman Semu Rasio Utang RI yang Masih 30 Persenan

Tolok ukur risiko utang Indonesia lebih kompleks. Klaim pemerintah bisa berubah drastis jika mempertimbangkan sejumlah aspek.

Di Balik Rasa Aman Semu Rasio Utang RI yang Masih 30 Persenan
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelum memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (11/3/2020). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama.

tirto.id - Utang Indonesia per Juli 2020 menyentuh angka Rp5.434,86 triliun setelah pada Desember 2019 tercatat Rp4.779,28 triliun. Itu artinya, dalam tujuh bulan terakhir, utang bertambah Rp655,58 triliun.

Penambahan utang ini sekilas dapat dimengerti: untuk memberi ruang bagi belanja negara. Belum lagi pandemi COVID-19 memang memaksa pemerintah meningkatkan belanja saat penerimaan turun.

Meski terus bertambah, pemerintah selalu menyatakan bahwa utang Indonesia masih dalam batas aman. Tolok ukur disebut aman adalah selama rasio utang atau Debt to GDP ratio tak melebihi 60% seperti UU Keuangan Negara.

“Pemerintah sependapat pengelolaan utang harus dilakukan dengan hati-hati. Bentuk kehati-hatian pemerintah tercermin dari bentuk kebijakan pembiayaan untuk mengendalikan rasio utang dalam batas aman,” ucap Sri Mulyani saat menyampaikan pandangan pemerintah terhadap pandangan fraksi atas RUU tentang P2 APBN TA 2019 sidang paripurna DPR RI, Selasa (25/8/2020).

Jika berpatokan pada standar itu, utang Indonesia tentu aman. Per Juli 2020, rasio utang pemerintah baru mencapai 33,63% PDB. Sampai akhir 2020, utang praktis dipandang aman meski Badan Kebijakan Fiskal (BKF) memperkirakan rasionya akan membengkak sampai 37,6% PDB.

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap mengatakan tolok ukur risiko utang sebenarnya lebih kompleks. Setidaknya klaim pemerintah bisa berubah drastis jika mempertimbangkan sejumlah aspek.

Menurut International Monetary Fund (IMF), rasio utang Indonesia tergolong paling kecil di antara berbagai negara. Jepang misal mencapai 238% PDB per 2019 dan diperkirakan naik menjadi 268% di 2020. Cina 52% per 2019 dan menjadi 64,1% per 2020. Thailand diperkirakan akan mencapai 46% per 2020. Sementara Malaysia lebih dekat pada titik nadir batas 60% PDB dengan posisi per Juni 2020, 53,2%.

Sekilas utang Indonesia paling aman di antara negara-negara itu. Namun indikator lain menunjukkan sebaliknya.

Menurut Asian Development Bank (ADB), rasio kepemilikan asing Jepang hanya 12,9% (Maret 2020). Cina hanya 6,45% (Juni 2020), Thailand 14,43% (Juni 2020) dan Malaysia 22,73% (Juni 2020). Sementara Indonesia 30,17% per Maret 2020. Angka ini turun dari Desember 2019 38,57%.

Turunnya rasio ini waktu itu disebabkan karena asing beramai-ramai melepas kepemilikan SBN-nya di tengah kepanikan pasar akibat COVID-19. Besarnya rasio itu membuat nilai tukar rupiah terguncang seiring berkurangnya pasokan valuta asing dan banyaknya aliran modal keluar yang berimbas pada perekonomian nasional.

“Permasalahan saat utang kebanyakan ada dimiliki asing, nilai tukar akan gampang terdepresiasi,” ucap Manap dihubungi, Rabu (26/8/2020).

Risiko utang Indonesia juga semakin menjadi-jadi saat sumber pembayaran utang Indonesia yang notabene dari pajak tidak sebaik negara lain. Data rasio penerimaan pajak (tax ratio) terhadap PDB OECD per 2018 menunjukkan rasio utang Jepang tertinggi, 31,4%, Cina 17%, Thailand 16,5%, dan Malaysia 12,2% PDB.

Sebaliknya Indonesia hanya 11,9%, terendah se-Asia Pasifik.

Tax ratio pun tercatat terus memburuk menjadi 10,7% (2019) dan diprediksi 9,1% (2020). Pada 2021 angkanya lebih jatuh lagi menjadi 8,25-8,63% (RAPBN 2021).

Tinggi-rendahnya penerimaan pajak menentukan seberapa besar kemampuan suatu negara untuk membayar utang termasuk imbal hasil tahunnya. Secara tidak langsung, kekurangan kemampuan membayar memiliki risiko suatu negara harus menerbitkan utang baru untuk membayar utang yang saat ini sedang berjalan.

Selain itu, dari sisi Debt to Service Ratio (DSR) atau rasio utang terhadap pendapatan Indonesia per Q1 2020 telah menyentuh 27,65%, naik signifikan dari Q4 2019 18%. DSR mengukur seberapa besar beban utang suatu negara. DSR yang semakin besar mengindikasikan risiko yang meningkat lantaran utang meningkat saat penerimaan dari ekspor menurun.

Belum lagi pemasukan dari perpajakan juga terus turun. “Karena tidak pernah tercapai penerimaan pajak. Kita artinya kan kekurangan uang terus dan harus mencetak utang,” ucap Manap.

Masih dari perkara kemampuan membayar, risiko lain yaitu beban pembayaran bunga utang. Dari sisi imbal hasil, biaya utang Indonesia tergolong mahal. Data ADB, Jumat (21/8/2020), untuk utang jangka waktu 10 tahun, imbal hasil Jepang hanya 0,03%, Cina 2,99%, Thailand 1,29%, dan Malaysia 2,5%. Sementara Indonesia 6,72% atau jadi yang tertinggi dalam daftar ADB.

Imbasnya, pemerintah harus membagi fokus belanja. Dari yang seharusnya bisa memaksimalkan anggaran untuk kesejahteraan, peningkatan kualitas SDM, sampai infrastruktur, menjadi bunga utang.

APBN pun merekam bagaimana bunga utang menjadi beban dalam belanja pemerintah. Per Juni 2020, belanja bunga utang menempati nominal belanja tertinggi dengan angka Rp157,6 triliun, mengalahkan belanja bantuan sosial (bansos) Rp99,4 triliun, modal Rp37,7 triliun, barang Rp99,2 triliun, pegawai Rp114,1 triliun, dan subsidi Rp70,8 triliun.

“Rasio 30% jadi tidak aman untuk Indonesia. Penerimaan tidak tercapai,” ucap Manap.

Baca juga artikel terkait UTANG INDONESIA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz