Menuju konten utama

Di Balik Pernyataan "Bersayap" Jokowi Soal Oposisi Itu Mulia

Jokowi dinilai menyadari betul bila menampung seluruh parpol ke koalisinya, maka akan menyulitkan ia dalam membentuk kabinet.

Di Balik Pernyataan
Presiden terpilih Joko Widodo menyampaikan pidato pada Visi Indonesia di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat Minggu (14/7/2019). Joko Widodo menyampaikan visi untuk membangun Indonesia di periode kedua pemerintahannya diantaranya pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia, investasi, reformasi birokrasi dan efektifitas serta efisiensi alokasi dan penggunan APBN. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/pd.

tirto.id - Presiden terpilih Joko Widodo mengatakan menjadi oposisi merupakan hal yang mulia. Pernyataan ini ia sampaikan dalam pidatonya soal “Visi Indonesia” pada acara Syukuran Nasional 2019 di Sentul, Bagor, Minggu, 14 Juli 2019.

Jokowi juga menuturkan bahwa mendukung 'mati-matian' kandidat presiden boleh saja dilakukan. Menurut dia, mendukung dengan militansi diperbolehkan, tapi yang dilarang adalah menimbulkan dendam dan kebencian.

“Mendukung mati-matian kandidat boleh, dukung dengan militansi boleh. Menjadi oposisi itu juga mulia,” kata Jokowi di atas panggung.

Di sisi lain, dalam wawancara dengan Jakarta Post beberapa waktu lalu, Jokowi mengatakan kalau dia "terbuka kepada siapa saja yang ingin bekerja sama.” Hal itu ia tegaskan ketika ditanya kemungkinan masuknya Gerindra ke koalisi. Jawaban ini menegaskan kalau partai koalisi Jokowi membuka pintu, bukan hanya untuk Gerindra, tapi juga yang lain.

Namun, ucapan bahwa oposisi itu mulia seolah-olah Jokowi telah menutup pintu bagi partai pendukung Prabowo-Sandiaga untuk merapat. Setidaknya ada tiga partai yang malu-malu ingin bergabung yakni Partai Demokrat, PAN, dan terakhir Gerindra.

Gerindra sebagai partai pimpinan koalisi pengusung Prabowo-Sandiaga ini mulai melunak setelah pertemuan bertajuk rekonsiliasi antara Prabowo dengan Jokowi, pada Sabtu (15/7/2019).

Respons Dua Kubu

Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Arya Sinulingga membantah bila koalisinya telah menutup pintu bagi Prabowo dan partai-partai pendukungnya. Arya menyatakan, ucapan Jokowi itu menegaskan bahwa ia menerima apa pun pilihan Prabowo dan koalisinya usai Pilpres 2019.

“Jadi beliau mau menegaskan kalau pihak Gerindra dan lainnya mau ambil oposisi itu pun adalah hal yang mulia, tapi enggak ada kaitan kami tutup pintu. Pilihan apa pun mereka, kami hargai," kata Arya saat dihubungi reporter Tirto, Senin (15/7/2019).

Arya juga tak sependapat bahwa dengan pernyataan Jokowi itu sedikitnya membuat gembira partai politik yang telah memenangkan Jokowi-Ma'ruf pada Pilpres 2019. Sebab, kata Arya, soal jatah kursi menteri sepenuhnya adalah hak prerogatif Jokowi untuk menentukannya.

"Berapa jumlah partai juga kami enggak tahu, dan semua partai di koalisi berpegang teguh bahwa urusan menteri ini adalah urusan Jokowi," kata Arya menjelaskan.

Sementara Partai Amanat Nasional (PAN) sepakat dengan pernyataan Jokowi yang menyebut menjadi oposisi itu mulia. Sebab, kata Sekjen PAN Eddy Soeparno, berada di dalam atau di luar pemerintahan sama-sama terhormat asalkan bisa bermakna bagi kepentingan masyarakat.

PAN memang belum menyampaikan sikap resminya apakah akan menjadi oposisi atau justru menyeberang bergabung dengan koalisi Jokowi.

Saat dihubungi reporter Tirto, Senin (15/7/2019), Seoparno tak mau menerka-nerka apakah pernyataan Jokowi tersebut merupakan sinyal tertutupnya koalisi untuk Prabowo dan partai-partai pendukungnya.

"Saya tidak berani berspekulasi dan saya sepakat kami bicara kerja sama seluruh elemen anak bangsa untuk membangun negeri ini. Apalagi tantangan di bidang ekonomi sangat besar," ucap Eddy.

Hal senada diungkapkan Wakil Sekretaris Jenderal PAN Saleh Daulay. Ia tak mau ambil pusing bila memang Jokowi telah menutup pintu bagi partai pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Saleh mengklaim, meski tak masuk dalam pemerintahan, partai masih banyak kegiatan yang bisa dilakukan agar kepentingan rakyat dapat terjaga dengan baik. Termasuk melakukan kritik atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Menurut Saleh, bagi PAN berkoalisi juga bukanlah soal meminta jatah menteri semata. “Tidak berpikir ke arah itu. Orientasinya justru pada kepentingan lebih jauh. Bukan soal jatah kursi," ucap Saleh kepada reporter Tirto.

Koalisi Gemuk Sulitkan Jokowi

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai Jokowi menyadari betul bila ia menampung seluruh partai politik ke dalam koalisinya, maka akan menyulitkan dirinya dalam membentuk kabinet.

Sebab, kata Pangi, koalisi yang gemuk bisa membuat pusing Jokowi untuk menentukan jumlah kursi menteri, khususnya dari partai politik atau profesional yang beririsan dengan partai politik.

Tak hanya itu, kata Pangi, partai politik yang sejak awal telah mendukung dan berjuang untuk memenangkan Jokowi tentu akan meradang bila ada partai-partai yang baru menyeberang mendukung Jokowi dan mendapatkan jatah menteri.

“Wajar sekali mereka khawatir jatah kursi menteri pos strategis partai mereka terganggu,” ujar Pangi kepada reporter Tirto.

Bila koalisi gemuk, kata Pangi, tentu juga membuat Jokowi tak leluasa dalam menjalankan pemerintahannya. Pasalnya, tak mungkin berkoalisi bila berkedok mengutamakan kepentingan rakyat, tapi justru yang terjadi berkoalisi akan penuh syarat dari partai politik yang harus dipenuhi Jokowi.

"Kalau koalisi gemuk juga membuat masalah baru dan belum tentu juga ada jaminan di parlemen mereka bisa kondisikan dan amankan," kata Pangi.

"Ya kan semua yang bergabung pasti ada syarat, nah ini buat Pak Jokowi akan merasakan banyak konflik kepentingan bakal mengganggunya," kata Pangi menambahkan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo melihat Jokowi sadar bahwa banyak kepentingan di balik koalisi yang mendukungnya sejak awal.

Sebab, kata Karyono, bila ada partai yang baru bergabung, tentu saja Jokowi akan kelimpungan memenuhi syarat dari partai politik tersebut.

Menurut Karyono, baik koalisi maupun oposisi sama-sama memiliki kepentingan tertentu yang tak ada hubungannya dengan rakyat atau konstituennya.

"Keputusan untuk masuk kabinet atau tidak saya menduga ada korelasinya demgan posisioning politik pada Pemilu 2024 yang akan datang," ujar Karyono.

Baca juga artikel terkait KABINET JOKOWI-MARUF atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz