Menuju konten utama

Di Balik Pembunuhan di Sigi & Biadabnya Teroris MIT Ali Kalora

MIT terus menebar teror dari pegunungan. Aparat tak juga berhasil memberantas mereka. Warga biasa jadi korban.

Di Balik Pembunuhan di Sigi & Biadabnya Teroris MIT Ali Kalora
Petugas menunjukkan gambar dua orang yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) Teroris Poso yang menyerahkan diri di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (20/3/2020). ANTARAFOTO/Basri Marzuki/aww.

tirto.id - Tiga lelaki itu sedang berburu di kawasan Taman Nasional Lore Lindu saat bertemu gerombolan orang bersenjata. Mereka jadi tawanan. Kelompok itu bahkan mengetahui nama, jumlah anggota keluarga, bahkan lorong tempat si tawanan tinggal.

“Kalian pulang. Kalau kalian berani melapor, saya eksekusi kalian!” Dengan parang di leher dan senapan diarahkan ke kepala, ketiganya tak punya pilihan selain menuruti kemauan si pengancam. Nyawa mereka selamat hari itu.

Pengalaman mencekam ini dialami oleh warga yang berhadapan dengan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), tiga tahun lalu, sebagaimana diceritakan dosen antropologi Institut Agama Kristen Negeri Ambon Ferry Rangi kepada reporter Tirto, Senin (30/11/2020). Mereka adalah tetangga Ferry, dan MIT merupakan kelompok teroris yang bersumpah setia kepada ISIS tahun 2014 lalu, beroperasi di tiga kabupaten di Sulawesi Tengah: Sigi, Poso, dan Parigi Moutong.

Ferry bilang MIT bersembunyi di Taman Nasional Lore Lindu yang membentang dari Sigi hingga Poso. Dia bilang jika satu desa diteror, maka ketakutan dapat menular hingga ke desa tetangga.

Nasib tetangga Ferry jauh lebih beruntung ketimbang empat warga Dusun Lewonu, Kabupaten Sigi. Pada 27 November lalu, MIT membunuh Yasa, Naka, Pinu, dan Pedi yang masih satu keluarga. Dalam peristiwa yang sama mereka juga membakar tujuh bangunan, enam rumah warga dan satu rumah warga yang dijadikan pos pelayanan Gereja Bala Keselamatan Lembantongoa.

Warga yang ketakutan memilih mengungsi ke desa induk, Lembantongoa, yang jaraknya sekitar 2-3 jam menggunakan sepeda motor.

Kampung ini berada di kaki gunung, bagian timur berbatasan dengan Parigi Moutong sementara sisi utara dengan Poso. Dusun Lewonu juga termasuk bagian Kesatuan Pengelolaan Hutan Dolago Tanggunung. Secara administratif, wilayah KPH Dolago Tanggunung termasuk dalam area Kabupaten Parigi Moutong, Sigi, dan Kota Palu.

Ferry bilang di sini jalanan jelek, sinyal telepon seluler langka, dan tak ada puskesmas apalagi rumah sakit.

Penduduknya mayoritas petani yang menanam kakao, ubi jalar, dan komoditas lain. Kondisi ekonomi mereka relatif miskin. Lantai rumah masih banyak yang tanah, dan dindingnya sekadar seng. Selain bertani, para penduduk juga biasa berburu. Bila nahas, mereka bakal bertemu MIT di hutan, yang kini dipimpin oleh Ali Kalora.

MIT Menebar Teror

Ali Kalora melanjutkan kepemimpinan Santoso yang berhasil dibunuh dalam baku tembak pada 18 Juli 2016 dan Basri yang tertangkap beberapa bulan kemudian bersama istrinya. Ali Kalora mulai menebar teror sejak 2011 dan merupakan salah satu orang kepercayaan Santoso.

Saat masih dipimpin Santoso, Ali Kalora adalah penunjuk jalan. Hal ini menyebabkan dia paham betul medan pegunungan di tiga kabupaten tersebut.

Ferry mengatakan kecil kemungkinan MIT meninggalkan wilayah persembunyian/kekuasaan. Sebab, bila mereka mau ke Kabupaten Morowali, misalnya, maka harus menyeberangi laut. Ini tentu riskan; dapat ketahuan aparat.

Direktur Celebes Institute Adriany Badrah mengatakan kepada reporter Tirto, Senin, “teror dan kekerasan yang mereka lakukan semua ada tujuannya.” Dalam hal ini menunjukkan eksistensi telah melakukan “amaliyah terhadap kafir dan tagut.”

Area penyerangan dan penyangga MIT terbentang dari Poso Pesisir Selatan, Lembah Napu, hingga ke Sigi, katanya. Jika kelompok MIT masuk ke wilayah yang bukan fokus operasi aparat, maka tujuannya tak lain memecah konsentrasi.

Adriany mengatakan dari kasus penyerangan terakhir dan penyerangan-penyerangan lain sejak April lalu, MIT tampak juga menghemat amunisi karena membunuh korban dengan senjata tajam. Senjata api digunakan jika terdesak, semisal baku tembak dengan aparat, terutama Satgas Tinombala.

Satgas Tinombala, gabungan TNI-Polri yang dibentuk pada 10 Januari 2016, memang khusus untuk memberangus kelompok teroris ini. Satgas tak juga mencapai tujuan setelah beroperasi hampir lima tahun, ketika sang musuh krisis hampir di segala aspek, dari mulai makanan, persenjataan, hingga pendanaan.

Adriany bilang hal ini terjadi karena memang ada pembiaran. Indikatornya: aparat hanya patroli, sementara MIT jelas-jelas bergerilya.

“Mobilisasi pasukan begitu banyak, anggaran begitu luar biasa, bantuan TNI ada, TNI punya ilmu gerilya, bisa menangkap para pelaku serta orang-orang yang masuk dalam daftar pencarian, itu sudah cukup indikatornya. Jadi, memang ada pembiaran,” katanya.

Personel yang ditugaskan pun hanya bekerja selama 3-6 bulan. Meski barangkali persenjataan lebih lengkap dan personel jelas-jelas lebih banyak, mereka jadi tak berkutik menghadapi kelompok yang benar-benar menguasai medan.

Aparat bahkan tak sanggup menangani perekrutan dan penanaman ideologi MIT. Juli lalu disinyalir anggota MIT tersisa 14 orang, menurut Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Awi Setiyono.

Adriany bilang dalam merekrut anggota, Ali Kalora memanfaatkan relasi terdekat. Sepupu, keponakan, istri, atau kerabat lain dapat ikut bergabung. “Tidak ada sistem melintas teritori sambil gerilya, lalu merekrut. Tidak. Tapi relasi terdekatnya. Maka ketika penangkapan, mereka saling berkaitan.”

Relasi ini pula yang punya tugas menyuplai informasi dan kebutuhan lain jika tidak turut serta masuk hutan.

Akibatnya, masyarakat biasa terjepit di antara dua kelompok. Di satu sisi dicurigai sebagai kaki tangan Ali Kalora c.s. oleh aparat, di sisi lain dianggap mata-mata oleh MIT. Karena dalil itulah muncul kasus salah tembak oleh aparat terhadap Qidam (9 April 2020) dan Firman serta Syarifudin (2 Juni 2020).

“Tidak ada indikator yang jelas, [aparat] bahkan tak mengenal DPO.” Lian Gogali, Direktur Institut Mosintuwu, institusi yang meneliti sejarah kekerasan di Poso dan sekitarnya, menjelaskan faktor lain mengapa Satgas Tinombala tak juga berhasil kepada reporter Tirto, Senin.

Aparat bisa saja mencurigai warga berinteraksi dengan Ali Kalora c.s. jika misalnya berkebun di luar waktu yang ditentukan: pukul 9-15. ‘Aturan’ tak tertulis itu tak masuk akal, katanya, karena itu sama saja mengubah ritme kerja petani. Pada akhirnya, semua ini juga berdampak ke persoalan ekonomi sebab sekian hektare kebun terpaksa ditinggalkan.

Baik Adriany dan Lian sepakat bahwa teror MIT adalah teror atas nama agama yang dalam hal apa pun tak dapat dibenarkan dan harus diakhiri.

Dalam rangka itu, Kapolri Jenderal Idham Azis telah menginstruksikan kepada Satgas Tinombala untuk menindak tegas MIT. Dia menegaskan negara tidak boleh kalah dengan kelompok teror. “Jika ketemu lalu mereka melawan, tembak mati saja,” kata Idham, Senin. TNI pun turut mengerahkan pasukan.

Baca juga artikel terkait KASUS TERORISME atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino