Menuju konten utama

Di Balik Pemangkasan Tunjangan Guru

Pemotongan anggaran tunjangan profesi guru sebesar Rp23,3 triliun menuai pro kontra. Pemerintah dinilai tidak peduli akan nasib guru. Padahal rencana tersebut memangkas kelebihan bujet yang berpotensi menjadi lahan empuk bagi para koruptor. Bagaimana nasib guru penerima TPG?

Di Balik Pemangkasan Tunjangan Guru
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) mendengarkan tanggapan fraksi saat rapat bersama Badan Anggaran di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (25/8). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani memutuskan untuk memangkas anggaran tunjangan profesi guru (TPG) sebesar Rp23,3 triliun dari total anggaran TPG sebesar Rp69,7 triliun pada APBN-P 2016. Anggaran sebesar Rp23,3 triliun itu dinilai terlalu besar untuk kebutuhan dana sertifikasi guru.

Asumsi kelebihan bujet ini merujuk pada data yang dimiliki Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Menurut data tersebut, jumlah guru bersertifikat yang berhak memperoleh TPG pada tahun 2015 sebanyak 1.300.758 orang. Jumlah itu kemudian menyusut menjadi 1.221.947 orang karena telah pensiun.

Sri Mulyani berharap, rencana pemerintah memangkas anggaran TPG ini tidak disalah tafsirkan sebagai bentuk ketidakpedulian pemerintah kepada para guru. Pemotongan ini murni dilakukan untuk menyesuaikan anggaran dengan data riil jumlah guru di lapangan.

Langkah Sri Mulyani tersebut menuai pro dan kontra. Bagi kelompok yang pro, keputusan pemerintah tersebut dinilai tepat, karena kelebihan bujet dapat berpotensi menjadi lahan empuk bagi para koruptor untuk mengembat uang negara.

Namun, tak sedikit yang mengkritik rencana pemotongan anggaran TPG tersebut. Para politisi di DPR langsung memanfaatkan isu ini sebagai pencitraan, seperti yang dilakukan Ketua DPR, Ade Komarudin.

Bagi politisi Partai Golkar ini, tidak seharusnya pemerintah memangkas anggaran tunjangan profesi guru, karena guru merupakan pahlawan tanpa jasa. Ia menyarankan, sebaiknya pemerintah memangkas anggaran sektor lain, termasuk gaji pejabat negara.

Sekilas, pembelaan Ade Komarudin mencerminkan suara para guru di penjuru nusantara. Sementara, rencana Sri Mulyani memotong anggaran seolah-solah tidak peduli terhadap jerih payah guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Namun, publik tentu bisa melihat lebih jernih terkait pro kontra pemangkasan anggaran TPG sebesar Rp23,3 triliun tersebut. Apalagi, dasar pemangkasan anggaran TPG ini berdasarkan data Kementerian Keuangan, meskipun berbeda dengan data yang dimiliki Kemendikbud.

Perlu Sinkronisasi Data

Pernyataan Sri Mulyani untuk memangkas anggaran tunjangan profesi guru sebesar Rp23,3 triliun mengkonfirmasi beberapa hal. Salah satunya soal tidak sinkronnya data yang dimiliki Kemenkeu dan Kemedikbud.

Data yang dimiliki Kememkeu menunjukkan bahwa jumlah guru bersertifikat pada tahun 2015 adalah 1.300.758 orang. Jumlah ini menyusut menjadi 1.221.947 orang karena sebagian sudah memasuki masa pensiun.

Sementara data yang dimiliki Kemendikbud berbeda. Misalnya, jumlah guru yang diangkat sampai dengan tahun 2015 sebanyak 1.755.010 orang, sedangkan yang tersertifikasi 1.638.240 orang. Artinya, jumlah guru yang tersertifikasi antara data yang dimiliki Kemenkeu dan Kemendikbud berbeda, selisihnya mencapai 416.473 guru.

Selain tidak sinkronnya data antarkementerian, pernyataan Sri Mulyani juga menjadi indikator bahwa ada ketidaktelitian dalam proses pembahasan anggaran yang dilakukan antara pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR. Karena itu, sudah selayaknya Banggar lebih jeli dan profesional dalam menyetujui usulan anggaran yang diajukan pemerintah.

Sementara, terkait perbedaan data di atas, tentu pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah sinkronisasi data antarkementerian, jangan sampai data yang disodorkan ke publik berbeda, sehingga membingungkan publik data mana yang bisa dijadikan acuan.

Khusus kasus pemotongan anggaran tunjangan profesi guru ini, DPR mewacanakan akan membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk menelusuri perbedaan jumlah guru tersertifikasi, sehingga pro kontra terkait pemotongan dana sertifikasi ini dapat diminimalisir, sebab jumlahnya sangat signifikan.

Ketua Komisi X DPR, Teuku Riefky Harsya meminta pemerintah untuk mengklarifikasi ulang data jumlah guru tersertifikasi di Indonesia. Teuku Riefky mengatakan, jumlah guru tersertifikasi yang dikemukakan Sri Mulyani dan Kemendikbud pada raker dengan Komisi X DPR berbeda. Karena itu, perbedaan sejumlah 416.473 guru ini perlu didalami karena jumlahnya sangat signifikan.

Bagaimana nasib guru penerima TPG?

Rencana pemerintah mengurangi anggaran TPG sebesar Rp23,3 triliun cukup meresahkan para guru. Namun, Kemendikbud sudah memastikan bahwa pengurangan anggaran Rp23,3 triliun tidak akan mengurangi hak guru penerima TPG, namun hanya mengurangi alokasi dana yang berpotensi tidak akan terserap.

Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Sumarna Surapranata mengatakan, pengurangan anggaran tersebut merupakan usulan Kemendikbud yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal melalui surat nomor 33130/A.A1.1/PR/2016 kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tentang Permohonan Penghentian Penyaluran Tunjangan Profesi Guru dan Tambahan Penghasilan Guru Tahun Anggaran 2016 bagi sebagian daerah.

“Surat tersebut disampaikan ke Kemenkeu berdasarkan hasil rekonsiliasi yang telah dilakukan pada bulan Mei 2016 antara Kemendikbud, Kemenkeu, dan Pemda. Jumlah guru PNSD yang menerima SK Tunjangan Profesi sesuai dengan persyaratan peraturan perundang-undangan sekitar 90 persen, sehingga ada kemungkinan dana tidak akan terserap,” ujarnya seperti dilansir laman resmi kementerian.

Pranata menjelaskan, beberapa faktor penyebab pengurangan anggaran, antara lain guru pemilik sertifikat profesi yang telah pensiun, mutasi, promosi, tidak dapat memenuhi beban mengajar 24 jam, dan tidak linier dengan sertifikat pendidiknya.

Terlepas dari pro kontra di atas, pemangkasan anggaran tunjangan profesi guru ini bukan hanya persoalan efisiensi semata, namun sebagai bentuk kejelian Kementerian Keuangan melihat adanya kelebihan bujet yang bisa saja dimanfaatkan oleh para perampok uang negara. Efisiensi anggaran juga perlu di tengah defisit yang sedang membayangi APBN.

Baca juga artikel terkait PEMOTONGAN APBN atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti