Menuju konten utama

Di Balik Nasib Garuda yang Selamat dari Jurang Kerugian

Setelah bertahun-tahun merugi, Garuda akhirnya untung dari layanan internet yang "disubsidi" oleh mitra bisnis.

Di Balik Nasib Garuda yang Selamat dari Jurang Kerugian
sebuah pesawat jet Boeing 737 Garuda Indonesia diparkir di apron di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Indonesia. AP / Dita Alangkara

tirto.id - “Garuda pembawa bendera Indonesia. Yang lahir dalam perang kemerdekaan kita. The flag carrier of Republik Indonesia. Sekarang dalam keadaan yang kalau bisa dibilang yah.. bangkrut.”

Kritik pedas dari calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto soal nasib Garuda Indonesia keluar saat Pidato Kebangsaan di Jakarta Convention Center (JCC) pada 14 Januari 2019 silam. Berselang tiga bulan, Garuda kembali jadi bahan untuk mengkritik pemerintah oleh Prabowo saat menggelar kampanye di Stadion Kridosono, Yogyakarta.

Baca juga: Kenapa Garuda Terus Merugi?

Kritik terhadap pemerintah soal Garuda juga dilontarkan oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Mereka menilai Garuda susah untung karena sering ditugaskan oleh pemerintah untuk melayani rute-rute yang tidak menguntungkan.

“Garuda dipaksa pemerintah untuk mengambil rute-rute baru, yang mana timbul karena ada bandara baru atau infrastruktur baru,” kata Haryadin Mahardika, Anggota Tim Ekonomi, Penelitian dan Pengembangan BPN, kepada Tirto.

Dosen dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini juga menambahkan kondisi semakin parah saat Garuda merespons dengan membeli pesawat secara jorjoran. Imbasnya, beban bisnis Garuda semakin membengkak.

Bisnis penerbangan memang tidak mudah. Selain padat modal, margin untung dari bisnis ini juga tipis hanya 3-5 persen. Belum lagi, aturan yang melekat maha ketat. Kinerja bisnis Garuda selam lima tahun terakhir cenderung tak stabil. Pada 2014, maskapai pelat merah ini membukukan rugi US$369 juta. Pada 2015 dan 2016, Garuda sempat meraup untung masing-masing US$78 juta dan US$9,36 juta.

Pada 2017, Garuda lagi-lagi merugi cukup besar hingga US$213 juta. Akhirnya, pada tahun lalu maskapai penerbangan BUMN ini berhasil meraup margin sangat tipis US$5,01 juta dolar atau 0,11 persen dari penjualan US$4,37 miliar.

Baca juga: Kisruh di Tubuh Garuda Indonesia

Banyak faktor yang membuat Garuda susah payah untuk bisa untung walau hanya secuil, di antaranya seperti meningkatnya biaya avtur, biaya bandara, biaya pemeliharaan, risiko kurs, dan lainnya. Selain itu, Garuda juga dianggap kurang efisien dalam operasional bisnis.

Salah satu yang dianggap tidak efisien adalah soal rute penerbangan. Rute-rute Garuda saat ini banyak yang tidak menguntungkan alias tekor. Mantan Dirut Garuda Pahala N. Mansury pernah mengungkapkan kondisi rute Garuda yang tekor, artinya biaya operasional yang keluar sangat jomplang dengan pendapatan.

Tahun lalu, Pahala menemukan sedikitnya 11 rute Garuda yang tekor, dan cukup signifikan menambah biaya operasional. Ia tidak menyebutkan apa saja rute itu. Namun yang pasti, rute yang dipangkas adalah rute domestik dan internasional.

“Pemangkasan dari sisi pendapatan justru positif, penutupan rute-rute itu bisa memungkinkan kondisi membaik 60 persen,” kata Pahala yang saat ini menjabat sebagai direktur keuangan di Pertamina dikutip dari Antara.

Restrukturisasi itu berhasil direalisasikan. Salah satu rute yang sudah dipangkas adalah rute Jakarta-London non-setop. Garuda efektif tak melayani rute Jakarta-London sejak 30 Oktober 2018, dan belum dibuka lagi sampai sekarang.

Dalam laporan tahunan 2018, rute yang tidak menguntungkan ini juga masuk dalam daftar risiko utama Garuda yang berpotensi berdampak terhadap pendapatan. Apalagi armada yang digunakan tidak tepat efektif.

Baca juga: Tiket Kompak Naik & Turun, Apakah Maskapai Penerbangan Kartel

Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia M Ikhsan Rosan mengakui masih ada rute yang tidak menguntungkan masih dilakoni oleh Garuda.

“Kami buka rute itu sesuai dengan feasibility-nya. Kalau untung kami terbang, kalau enggak kami cabut. Sekarang ini bukan zamannya lagi dipaksa masuk rute tertentu. Sudah enggak begitu lagi,” tutur Ikhsan kepada Tirto.

Sayangnya, Ikhsan tidak membeberkan rute-rute mana saja yang belum menguntungkan. Rute penerbangan Garuda saat ini terdiri dari 110 rute domestik (69 destinasi), dan 40 rute internasional (22 destinasi) mencakup lima kota tujuan internasional, hanya tujuan Shanghai yang mengalami kenaikan pendapatan dari 2017 ke 2018, selebihnya turun.

Namun, sebagai flag carrier atau maskapai pembawa bendera negara, pemerintah masih mendesak Garuda untuk terbang ke rute-rute tertentu. Contohnya, untuk rute Jakarta-Tasikmalaya.

Saat meresmikan Bandara Wiriadinata di Tasikmalaya, Presiden Jokowi memerintahkan Garuda untuk buka penerbangan dari Jakarta ke Tasikmalaya. Rute penerbangan dari Jakarta ke Tasikmalaya saat ini baru dilayani oleh Wings Air.

“Nanti kami harapkan Maret ada tambahan flight lagi. Saya akan perintah Garuda tambah satu [penerbangan] karena kelihatannya pasarnya menghendaki itu,” ujar Jokowi dikutip dari Antara.

pada Februari 2019.

Infografik Garuda Indonesia di Tahun 2018

undefined

Konsultan penerbangan dari CommunicAvia Gerry Soejatman menilai wajar apabila ada rute-rute Garuda yang tidak menguntungkan. Dalam industri penerbangan global, kondisi tersebut bukan hal yang aneh.

“Saya melihat rute-rute yang tidak menguntungkan di Garuda tersebut tidak begitu signifikan pengaruhnya. Garuda susah payah mencari untung itu lantaran operasionalnya belum efisien, masih mahal,” jelasnya.

Ketidakefisienan operasional itu bisa dilihat dari tingginya biaya untuk setiap kursi tersedia per kilometer (Cost per Available Seat Kilometer/CASK). Pada tahun lalu, CASK untuk rute domestik Garuda mencapai 7,40 cent dolar AS pada 2018.

Menurut Gerry, idealnya maskapai dengan layanan penuh (full service) yang efisien memiliki CASK sebesar 6-6,5 cent dolar AS. Angka tersebut memungkinkan mengingat CASK Garuda pada rute internasional saja bisa sampai 5,66 cent dolar AS.

Baca juga: Dolar Bikin Garuda & Maskapai Penerbangan Lain Megap-Megap

Lolos dari Kerugian Berkat Mitra Bisnis

Di tengah carut marut kondisi keuangan Garuda, manajemen Garuda bisa bernapas lega, kinerja keuangan Garuda 2018 tercatat positif. Garuda akhirnya meraup untung US$5,01 juta, padahal tahun sebelumnya sempat rugi US$213 juta.

Namun, bila ditelaah lebih dalam, laba bersih yang dibukukan Garuda bukan berasal dari bisnis utamanya melayani penerbangan. Kinerja positif Garuda terbantu dari pendapatan kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat yang nilainya cukup besar US$239,94 juta dari total pendapatan lain-lain senilai US$279 juta, mencakup klaim asuransi, keuntungan revaluasi properti, keuntungan pelepasan aset, dan lainnya.

Uang kompensasi itu berasal dari perjanjian kerja sama antara Garuda Indonesia Grup dan PT Mahata Aero Teknologi. Mahata menyediakan fasilitas free inflight connectivity atau internet gratis di pesawat. Garuda mendapatkan pemasukan dari slot iklan yang masuk dari layanan internet gratis yang disediakan oleh Mahata kepada Garuda.

“Mahata wajib membayar alokasi slot kepada Grup (Garuda) tahunan sejak penerbangan perdana... Sedangkan untuk iklan yang didapatkan oleh Mahata, Mahata wajib membayar alokasi slot kepada Grup tahunan sejak penerbangan perdana, atas pendapatan aktual yang diperoleh atas upaya Grup sebesar 95% dari total pendapatan aktual pada tahun ke-1, 94% dari total pendapatan aktual pada tahun ke-2, 92,5% dari total pendapatan aktual pada tahun ke-3 sampai dengan tahun ke-10,” jelas Garuda dalam laporan keuangan 2018.

Apabila tidak ada pendapatan lain-lain itu, kinerja Garuda dipastikan tetap memburuk. Pendapatan usaha tercatat US$4,37 miliar, sedangkan beban usaha US$4,57 miliar. Artinya, laba usaha Garuda semestinya masih minus US$206 juta.

Baca juga artikel terkait GARUDA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra