Menuju konten utama

Di Balik Murkanya Jokowi di Pelabuhan

Presiden Joko Widodo kembali murka ketika mengetahui proses keluar masuk barang di Pelabuhan Belawan memerlukan tujuh hingga delapan hari. Inilah yang menyebabkan daya saing Indonesia kalah jika dibandingkan negara-negara tetangga.

Di Balik Murkanya Jokowi di Pelabuhan
Presiden Joko Widodo (ketiga kanan) melakukan peninjauan ke salah satu gudang usai meresmikan secara simbolis 11 Pusat Logistik Berikat (PLB) di Indonesia di Kawasan Industri Krida Bahari, Cakung, Jakarta Utara, Kamis (10/3). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/foc/16.

tirto.id - Masalah dwelling time kembali membuat Presiden Joko Widodo murka. Pada Selasa (13/9/2016), di depan tiga menterinya, Presiden meluapkan kemarahan ketika meresmikan Terminal Peti Kemas Pelabuhan Kalibaru di Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Presiden Jokowi marah karena ternyata masih ada terminal kontainer yang membutuhkan waktu lama untuk durasi bongkar-muat barang hingga 7-8 hari. Dwelling time merupakan masa tunggu sebuah kontainer di pelabuhan dari masuk hingga keluar.

“Mau bersaing kaya apa kita coba?” ujar Presiden Jokowi ketika memberikan sambutan di depan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Selain menyoroti proses bongkar muat memakan waktu lama di Pelabuhan Belawan, dia juga mengkritisi tiga pelabuhan yang dianggap puas dengan durasi hanya mencapai tiga hari lebih.

Marahnya Presiden Jokowi soal dwelling time memang bukan tanpa alasan. Sudah dua Menko Bidang Maritim digantinya karena persoalan ini. Kini, Presiden Jokowi pun memberikan instruksi kepada Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian agar membuat Satuan Tugas Penyelidikan dugaan pelanggaran pada proses bongkar muat barang.

Tujuannya, mencari faktor penyebab lambatnya proses bongkar muat barang di seluruh pelabuhan di Indonesia. Selain itu, Presiden Jokowi juga ingin mempercepat waktu bongkar muat di seluruh pelabuhan di Indonesia.

Sebetulnya alasan Presiden Jokowi marah bukan hanya mengenai durasi dwelling time yang sampai saat ini masih belum tuntas. Pada Desember tahun lalu, dia pun sudah mewanti-wanti jajarannya untuk tidak main-main mengenai dwelling time. Dalam rapat terbatas di Kantor Kepresidenan, Jokowi menekankan pentingnya dwelling time di era kompetensi saat ini.

“Sekali lagi kita tidak bisa main-main lagi dengan yang namanya efisiensi, dengan namanya dwell time, karena apapun kita telah memasuki era kompetisi, era persaingan antar negara yang memerlukan kecepatan, memerlukan efisiensi untuk meningkatkan daya saing, meningkatkan daya saing ekonomi kita. Begitu kita lambat, kita tidak efisien, kita akan ditinggal oleh negara-negara yang lain,” ujar Presiden Jokowi seperti dikutip dari setkab.go.id.

Pernyataan Presiden Jokowi bukan tanpa alasan. Berdasarkan survei Bank Dunia pada 2014, gara-gara lamanya waktu bongkar muat, biaya logistik nasional mencapai 24 persen. Biaya logistik itu juga yang rencananya akan diturunkan sebesar 16 persen pada tahun 2019. Untuk mencapai angka itu, tentunya Presiden Jokowi harus ekstra kerja keras menyuruh para pembantunya untuk segera membenahi waktu bongkar muat. Jika tidak, mimpi pemerintahan Jokowi mengenai Tol Laut untuk memenangkan persaingan perdagangan global bisa jadi tak sesuai harapan.

Dampak Biaya Logistik

Persoalan dwelling time memang menjadi fokus perhatian Presiden Jokowi berserta para jajarannya di kabinet kerja saat ini. Sebab, pemerintah sedang menargetkan perbaikan tata kelola sistem logistik nasional. Pemerintah masih berusaha untuk menekan biaya logistik agar industri dalam negeri memiliki daya saing. Biaya logistik nasional saat ini masih 24,5 persen dari PDB. Pemerintah pun berencana menekan biaya itu hingga 19 persen.

Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Perhubungan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Carmelita Hartoto, dwelling time sejatinya tidak akan menurunkan biaya logistik nasional jika tidak dimbangi dengan perbaikan sistem logistik itu sendiri. Dia menjelaskan, efisensi sistem logistik harus juga diimbangi oleh beberapa indikator, salah satunya adalah infrastruktur yang sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk segera diperbaiki sebagai salah satu bagian yang mendukung proses cepatnya proses bongkar muat barang.

“Jadi kalau mau ngomongin biaya logistik terkaitnya macam-macam, jadi mulai dari pelabuhannya, kemudian infrastruktur jalan, itu juga pengaruh dan juga kemacetan jalan juga pengaruh,” ujar Carmelita saat berbincang dengan tirto.id melalui sambungan telepon, pada Kamis (15/9/2016).

Apa yang diutarakan Carmelita memang benar adanya. Untuk memperbaiki sistem logistik, sebetulnya bisa diukur secara sederhana melalui Logistic Performance Index (LPI). Ada enam indikator yang mencerminkan tingkat efisiensi logistik sebuah negara, yaitu bea cukai, infrastruktur, pengapalan internasional (international shipment), kualitas dan kompetensi logistik, pelacakan dan pencatatan (tracking and tracing), dan ketepatan waktu (dwelling time). Saat ini, LPI Indonesia menunjukan kondisi yang belum kondusif dalam meningkatkan daya saing ekonomi.

Merujuk pada laporan The Logistics Performance Index Bank Dunia tahun 2014, Indonesia masih berada di urutan ke-53 dari 163 negara. Menduduki peringkat ke-5 di antara negara-negara ASEAN. Peringkat itu menunjukan masih adanya biaya logistik yang tinggi di Indonesia. Dampaknya, industri dalam negeri tak pernah dilirik dan tidak memiliki daya saing. Survei Bank Dunia juga menemukan bahwa pembeli dari luar negeri tidak terlalu memperhatikan produk berasal dari Indonesia. Mereka justru menyoroti waktu bongkar muat di pelabuhan dan juga kualitas barang.

Sementara LPI Indonesia selama empat tahun, yakni 2007, 2010, 2012 dan 2014, terlihat terjadi peningkatan. Pada tahun 2007, terjadi peningkatan sebesar 3,01, kemudian turun pada 2010 menjadi 2,76. Sedangkan pada tahun 2012, mengalami peningkatan menjadi 2,94 dan pada tahun 2014 naik menjadi 3,08.

Masih menurut data Bank Dunia, kinerja logistik Indonesia sejatinya berada di tengah di antara negara ASEAN -tanpa Brunei Darussalam. Lima negara itu adalah Malaysia, Thailand, Vietnam, Indonesia dan Filipina. Sementara Kamboja dan Laos, berada pada kategori partial performers. Dua negara dengan kinerja logistik sangat timpang adalah Singapura dan Myanmar. Dari empat kategori yang ditentukan Bank Dunia, Indonesia masuk ke dalam consistent performers karena skor LPI-nya melebihi 2,90. Kini, Indonesia masuk urutan ke 63 dengan skor LPI 2, 98.

Menurut Carmelita, guna mendukung berjalannya sistem tersebut, sejatinya pembangunan pelabuhan memang harus terintegrasi dengan andara, stasiun kereta dan kawasan iIndustri. “Kalau sekarang, pelabuhan-pelabuhan yang sudah kita punya itu ada di dalam kota. Jadi untuk diperluas lagi, dibikin lagi dekat dengan industri itu sudah sulit,” ujarnya.

Biaya Paling Mahal

Sejatinya, target produktivitas dan daya saing pembangunan ekonomi Indonesia sudah tertuang dalam butir keenam Nawacita yang digaungkan pemerintahan Presiden Jokowi. Dalam butir itu, Nawacita menjanjikan sejumlah infrastruktur strategis, mulai dari jalan di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Pembangunan juga meliputi pelabuhan, bandara hingga kawasan industri dan pasar.

Jadi sebuah hal yang wajar jika kini Presiden Jokowi menitikberatkan daya saing perekonomian Indonesia di mata dunia. Apalagi, Tol Laut digaungkan Presiden Jokowi menjadi indikator buat mencapai tujuan itu. Sebab dengan Tol Laut, biaya logistik yang tinggi bisa diminimalisir. Hal ini juga membuat Presiden Jokowi uring-uringan dan memfokuskan untuk membenahi bongkar muat barang di pelabuhan yang menjadi kendala perlambatan ekonomi.

Apalagi, biaya bongkar muat di Indonesia dinilai paling mahal se-ASEAN. Karena itu juga, pada Juni tahun lalu, Presiden Jokowi mengatakan lambatnya bongkar muat di pelabuhan menyebabkan kerugian negara hingga Rp780 triliun per tahun. Dalam laman resmi Sekretaris Kabinet, pembenahan waktu bongkar muat diharapkan mampu menekan kerugian negara sekitar $250 miliar atau setara dengan Rp3,125 triliun.

Senior Trade Specialist Bank Dunia, Henry Sandee, pernah menyebutkan bahwa ongkos logistik per 55 kilometer di Indonesia membutuhkan biaya sebesar $550. Jauh lebih mahal dibandingkan Malaysia yang hanya membutuhkan $300. Perbandingan biaya pengiriman per kontainer lebih kentara lagi, jika dibandingkan dengan Singapura. Di Negeri Singa Putih itu, biaya pengiriman satu kontainer dari Jakarta ke Singapura hanya menghabiskan $185. Sementara Indonesia untuk pengiriman antar pulau dari Jakarta ke Padang, ongkos yang dibutuhkan mencapai $600.

Tingginya biaya logistik itu, menurut Carmelita, bisa ditekan jika pengelolaan pelabuhan dikelola secara terintegrasi, termasuk juga tidak terus menaikan tarif pelabuhan. Dua hal itu menurut dia, menjadi bagian indikator untuk menurunkan biaya logistik nasional.

“Produktivitas tinggi, pengelolahan pelabuhan yang efisien, serta tarif pelabuhan yang tidak terus dinaikan akan secara langsung dapat menurunkan biaya logistik,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait DWELLING TIME atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Mild report
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti