Menuju konten utama

Di Balik Melambungnya Harga Gula saat Pandemi Corona COVID-19

Ketua Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat menilai kelangkaan pasokan gula yang berimbas pada kenaikan harga merupakan dampak lemahnya tata kelola dan pengambilan keputusan.

Di Balik Melambungnya Harga Gula saat Pandemi Corona COVID-19
Warga antre untuk membeli gula pasir dalam Operasi Pasar di Kantor Kelurahan Sawojajar, Malang, Jawa Timur, Sabtu (14/3/2020). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

tirto.id - Harga gula konsumsi melonjak drastis di tengah pandemi virus Corona atau COVID-19. Ini terjadi usai pemerintah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan di sejumlah wilayah, khususnya Jabodetabek.

Berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) kenaikan terjadi di sejumlah provinsi. Harga gula konsumsi di DKI naik ke angka Rp19.200/kg, Banten Rp19.050, Jawa Timur Rp18.700, Jawa Barat 17.450.

Sementara kondisi lebih parah terjadi di luar Pulau Jawa. Gula konsumsi di Papua Barat mencapai Rp19.500, Maluku Rp20.000/kg, Kalimantan Barat Rp21.400/kg, dan Kalimantan Tengah Rp21.000/kg. Padahal harga eceran tertinggi gula konsumsi dipatok di angka Rp12.500/kg.

Harga gula yang terkerek naik juga dikeluhkan Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian, Gati Wibawaningsih. Ia menjelaskan, industri kecil operasionalnya terganggu karena harga gula untuk kebutuhan produksi naik.

“Bahkan ada pembatasan pembelian gula pasir maksimal 3 kg. Jika ingin membeli kemasan bulk besar, harus di distributor dan dalam jumlah yang besar sekali,” ujar Gati, Minggu (12/4/2020).

Gati melanjutkan, melambungnya harga gula konsumsi tak lepas dari minim dan langkanya pasokan gula rafinasi dan rawsugar sebagai bahan baku pembuat gula konsumsi itu. Gati mendapat laporan, harga bahan baku gula rafinasi juga mengalami kenaikan dari Rp9.000 menjadi Rp11.000.

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengklaim kenaikan harga gula yang terjadi di tengah masyarakat merupakan salah satu dampak dari penyebaran virus Corona di seluruh penjuru dunia.

“Saat ini hampir di seluruh daerah, harga gula pasir masih mengalami kenaikan hingga 47 persen dari Harga Eceran Tertinggi yaitu Rp 12.500 per kilogram,” kata Agus dalam keterangan resmi Kementerian Perdagangan, Kamis, (9/4/2020).

Pihak Kemendag menyebut, imbas penyebaran virus Corona membuat sejumlah negara menutup sementara akses perdagangannya. Salah satu yang terdampak adalah akses perdagangan pada negara mitra dagang yang biasa memasok gula rafinasi dan raw sugar ke Indonesia.

Sebaliknya, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menjelaskan lambannya proses perizinan impor oleh Kementerian Perdagangan justru menjadi salah satu biang keladi bencana penyediaan gula di tanah air.

Pria yang akrab disapa Buwas mengungkapkan permintaan impor gula yang diajukan pada akhir 2019, bahkan baru dikabulkan pada akhir Maret 2020, di mana lonjakan harga gula sudah terjadi di seluruh Indonesia.

"Ini juga baru bisa direalisasikan akhir Maret 2020. Karena begitu sulitnya birokrasi yang kami tempuh. Dan pada akhirnya kami tidak bisa menggiling gula untuk kebutuhan-kebutuhan tadi,” kata Buwas dalam rapat virtual dengan Komisi IV DPR RI, Kamis (9/4/2020).

Saking lambatnya proses perizinan impor itu, kata Buwas, Bulog sampai mengajukan permohonan izin impor gula konsumsi agar proses distribusinya ke masyarakat lebih cepat. Itu pun, kata Buwas, sudah sangat terlambat karena harga terlanjur naik dan pasokan gula di dalam negeri terlajur menipis.

"Karena kebutuhan sudah sangat mendesak, waktu itu harga gula sudah sangat naik, kami mengusulkan impor GKP pada Februari. Tapi itu ternyata tidak langsung bisa mudah turun. Karena itu juga melalui prosedur dan sulit sekali, yang pada akhirnya terlambat semua itu, sehingga stok di pasaran itu sudah tipis. Nah ini dampak dari pada mahalnya gula," jelas dia.

Akhirnya, kata Buwas, pada Rabu (8/4/2020), Kementerian Perdagangan menerbitkan Surat Perizinan Impor (SPI) atas 50.000 ton GKP untuk Bulog.

"Kami baru kemarin malam Surat Perizinan Impor (SPI) GKP kami yang 50.000 ton sudah turun dari Mendag. Baru kemarin malam pukul 23.00 WIB baru ditandatangani oleh Pak Mendag," kata Buwas menjelaskan.

Selain itu, 29.000 ton gula kristal mentah yang diimpor oleh anak usaha Bulog yakni Pabrik Gula (PG) PT Gendhis Multi Manis (GMM) juga telah mendarat di Jawa Tengah pada pekan lalu. Saat ini, raw sugar tersebut sedang diolah untuk menjadi GKP untuk dipasok ke pasar.

Pernyataan Buwas diperkuat oleh Ketua Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat. Menurutnya, kelangkaan pasokan gula yang berimbas pada kenaikan harga saat ini merupakan dampak lemahnya tata kelola dan pengambilan keputusan untuk memberikan persetujuan impor oleh Kemendag.

"Kalau itu sejak awal tata niaganya dikelola dengan baik, gak akan itu ada masalah seperti ini. Apalagi ada COVID-19 yang merebak seperti ini, berpengaruh juga. Kemudian tidak menutup kemungkinan harga di luar sana bisa naik lagi," kata Budi saat dihubungi reporter Tirto, Minggu (12/4/2020).

Ia melanjutkan, ibarat jatuh tertimpa tangga, keterlambatnya persetujuan impor dari Kemendag diperparah dengan krisis Corona. Sebab, sejumlah negara saat ini mulai membatasi aktivitas ekspornya dan lebih mengutamakan komoditas yang dimiliki untuk konsumsi dalam negeri.

Selain itu, kata Budi, dengan adanya pandemi Corona ini, harga bahan baku di negara asal juga ikut naik sehingga membuat proses impor jadi makin sulit.

Kalaupun sudah ada perusahaan yang sudah berhasil impor, kata dia, tak bisa otomatis menurunkan harga mengingat belum ada kejelasan kapan gula yang dipesan datang dan kapan bisa didistribusikan ke masyarakat.

"Kan yang perlu dimonitor itu kapan datang barangnya, kemudian kapan masuk ke pasar. Kan dia perlu waktu dari luar, butuh proses kalau itu raw sugar. Ada kebijakan berlapis lagi, izin lagi, ada lagi," keluh dia.

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah menilai kondisi ini akan berbahaya bagi masyarakat yang berada pada kelompok ekonomi bawah atau yang tergolong miskin.

Terlebih, kata Rusli, secara nasional kondisi ini bisa menyumbang inflasi yang bisa memberi dampak buruk bagi perekonomian nasional karena inflasi terjadi di tengah penurunan kondisi ekonomi masyarakat imbas Corona. Artinya kenaikan harga tidak diimbangi dengan kenaikan daya beli.

"Bahayanya akan jadi beban bagi pemerintah yang dia menyediakan bantuan, tapi bagi masyarakat yang terdampak. Kemudian yang kedua juga biaya bagi orang yang memang mampu yang harus beli gula dengan harga yang mahal,” kata dia.

Baca juga artikel terkait HARGA GULA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz