Menuju konten utama

Di Balik Lakon Aji Narantaka dalam Pagelaran Wayang Jokowi

Dalam rangka ulang tahun partai dan perayaan kemenangan Jokowi-Ma'ruf, PDI Perjuangan mengadakan pergelaran wayang kulit dengan lakon Aji Narantaka.

Di Balik Lakon Aji Narantaka dalam Pagelaran Wayang Jokowi
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto memegang wayang kulit tokoh Gatotkaca saat acara Tasyakuran HUT ke-46 PDI Perjuangan di Tugu Proklamasi, Jakarta, Sabtu (20/7/2019). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj.

tirto.id - Setiap kemenangan pantas dirayakan. Setiap orang berhak melakukannya, termasuk para politikus. Di Indonesia, khususnya di Jawa, politikus gemar menggunakan simbol untuk berkomunikasi. Hal inilah yang mendorong pertunjukkan wayang yang penuh dengan simbol dan filosofi kerap digelar politikus.

Sabtu (20/7/2019), bertempat di Tugu Proklamasi, Jakarta, PDI Perjuangan menggelar pertunjukkan wayang dalam rangka tasyakuran ulang tahun partai, dan perayaan kemenangan Jokowi-Ma’ruf dalam palagan Pilpres 2019.

Lakon wayang yang dipentaskan pada malam itu adalah Aji Narantaka dengan tokoh utamanya Gatotkaca dan Dursala.

“Pada malam ini PDIP yang punya komitmen untuk mewujudkan Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan sebagaimana yang digagas Bung Karno, mengadakan wayangan sekaligus tasyakuran atas kepercayaan rakyat yang diberikan kepada PDIP dan pak Jokowi,” ucap Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto.

Bayangan dan Wujudnya

“Mewujudkan Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan” adalah slogan lawas khas para politikus, birokrat, dan siapa pun yang belum menemukan kosakata baru untuk memoles kerja-kerja administratif mereka.

Wayang, sepeti dicatat Sarah Anais Andrieu dalam Raga Kayu, Jiwa Manusia: Wayang Golek Sunda (2017) diduga berasal dari kata “bayang”, “bayangan”. Atau menurut etimologi yang lain berasal dari kata “hyang”, roh, leluhur.

“Ini dapat mengacu kepada dugaan bentuk wayang awal, yang berbentuk teater bayangan ritual yang bertujuan untuk berkomunikasi dengan roh-roh para leluhur,” tulisnya.

Namun, imbuh Andrieu, dokumentasi tentang asal kata ini terbatas. Bukti tertulis wayang yang pertama adalah sebuah prasasti dari Bali bertarikh abad ke-10 dan yang menyebutkan pertunjukkan lakon Bima Bungkus.

Lebih lanjut ia menerangkan jika kata “wayang” mengacu pada bayangan, sehingga ada wujud yang menimbulkan bayangan itu dalam ritual atau pertunjukkan.

Artinya, pertunjukkan wayang sebagai esensi ritual telah menjadi nama objek secara keseluruhan. Sebuah sinekdoke atau pars pro toto, yakni majas pertautan yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya.

“Hal ini saja sudah bisa menunjukkan bahwa wayang dipandang sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan, sebuah acara yang, selama berlangsungnya, keseluruhannya dan yang sebagian berinteraksi secara mutlak, demi membentuk sebuah gambaran, alusi, bahkan ilusi,” imbuhnya.

Berpijak pada uraian ini, pergelaran wayang termasuk yang digelar oleh PDIP untuk merayakan HUT partai dan kemenangan Jokowi-Ma’ruf tentu tak bisa dilepaskan dari konteks politik nasional yang terus berdenyut.

Mengacu catatan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 1: Batas-batas Pembaratan (2018), pertunjukkan wayang dan pemilihan lakon tak bisa digelar sembarangan alias tanpa alasan, atau tidak pada saat yang tidak tepat, karena selalu diartikan buruk.

Pasalnya, setiap budaya dalam tatanan masyarakat kuno hanya bersumber dari raja dan dari sana pula terpancar sinar-sinar yang mampu mempercantik dunia. Sastra dan seni lainnya termasuk wayang, hanya dapat terwujud di istana dan di sekitar lingkaran-lingkaran konsentrisnya.

“Dulu, apa yang dewasa ini cenderung dianggap ‘pertunjukan’—tari atau wayang kulit—sebenarnya bersifat ritual. Pergelaran—lebih tepat disebut ‘aktualisasi’—hanya diselenggarakan pada kesempatan tertentu, apabila suatu perubahan tatanan alami atau sosial yang mendalam mengharuskannya,” tulisnya.

Oleh sebab itu, konteks zaman tak bisa dicerabut dari pergelaran wayang. Dalam bukunya yang lain, Nusa Jawa Silang Budaya 3: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (2018), Lombard mengutip catatan G.J. Resink dalam From the Old Mahabharata to the New Ramayana Order (1975) yang memaparkan pergeseran tema dalam pertunjukkan wayang pasca-peristiwa 1965.

Orde Baru umumnya mengharamkan lakon-lakon Mahabharata yang mengisahkan pertarungan antara Pandawa dan Kurawa. Mereka lebih senang jika lakon-lakon yang ditampilkan diambil dari Ramayana karena ideologinya dianggap lebih positif dan membangun.

Hubungan antara wayang dan konteks peristiwa, barangkali bisa dipadankan dengan apa yang diungkapkan Sarah Anais Andrieu bahwa kehadiran wayang (bayangan) tak bisa dilepaskan dari wujud (peristiwa) yang melahirkannya.

Konstelasi Politik Kiwari

Lakon Aji Narantaka yang digelar PDIP mengisahkan pertarungan dua senapati, yakni antara Dursala dan Gatotkaca. Keduanya mewakili kubu Kurawa dan Pandawa, wakil dari pihak kejahatan dan kebaikan. Awalnya Gatotkaca terdesak dan sempat terluka, lalu diobati oleh Resi Seta dan diberi kesaktian Aji Narantaka sehingga mampu mengalahkan Dursala.

Medio 2017, lakon ini sempat ditampilkan untuk menghibur mantan Presiden Amerika, Barrack Obama, di Yogyakarta. Seperti dikutip detik.com, dalang Ki Sardjono menjelaskan bahwa lakon yang dimainkannya adalah penegasan bahwa kebenaran akan selalu menang melawan kejahatan, sebagaimana semua lakon dalam pewayangan.

Infografik Pagelaran Wayang PDIP

Infografik Pagelaran Wayang PDIP. tirto.id/Quita

“Ringkas cerita, siapapun yang memiliki niat yang baik, dilakukan dengan sepenuh hati, dengan semangat dan keyakinan, dia akan mendapat pertolongan,” ungkapnya.

Sementara menurut Darmoko, pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, lakon ini adalah pertarungan awalan atau latihan menjelang perang besar Barathayuda. Dua senapati yang berhadapan pun masih tergolong muda, dan Gatotkaca masih belum memiliki ilmu kekebalan sehingga sempat terluka.

Secara politis, imbuhnya, pertarungan ini adalah upaya saling unjuk perbawa, menghitung kekuatan, demi menghadapi perang yang lebih besar.

Ia menambahan, jika dikaitkan dengan konteks politik kiwari, lakon Aji Narantaka yang digelar oleh PDIP adalah cara partai tersebut mengekspresikan pengaruh dan kekuasaannya setelah berhasil memenangi pemilu, baik presiden maupun legislatif.

Kita tahu, dua bulan setelah pengumumam hasil Pilpres 2019 dilakukan, eskalasi ketegangan di masyarakat mulai menurun. Demikian juga di kalangan elite. Bagi-bagi kekuasaan pun belum selesai.

Baru-baru ini konstelasi politik nasional tengah bergeser. Jokowi dan Prabowo bertemu di MRT. Prabowo dan Megawati makan siang di Teuku Umar. Ada pula pertemuan terpisah antara para pimpinan partai politik koalisi Jokowi-Ma’ruf dalam Pilpres 2019. Publik seakan disuguhi tontonan politikus yang sedang unjuk pengaruh dan kewibawaan.

Masyarakat yang selama tahun-tahun terakhir terpolarisasi kiranya tak akan melihat ini sebagai persiapan menuju perang yang lebih besar. Sejumlah kekecewaan yang dilontarkan masyarakat di pelbagai kanal media sosial lebih menunjukkan bahwa mereka mencium gelagat perseteruan ini sebagai bagi-bagi jatah dan kekuasaan.

Jika hal itu benar-benar terjadi, sebuah pertanyaan klise menjadi relevan untuk diajukan: “Rakyat dapat apa?”

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Politik
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Windu Jusuf